Selasa, 09 Juni 2009

SUKSESI DAMAI MENUJU KEKUASAAN ISLAM

Ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan; bagaimana suksesi kekuasaan dalam pemerintahan demokrasi terjadi secara legal dan bagaimana cara meraih tampuk kekuasaan dalam sistem demokrasi?; barangkali banyak orang bisa menjawabnya. Dan jawaban mereka selalu; suksesi kekuasaan terjadi melalui mekanisme pemilihan umum, dan jika seseorang ingin meraih kekuasaan, maka ia harus menerjunkan diri dalam pemilu legislatif dan eksekutif (pilpres). Artinya, secara legal formal, suksesi kekuasaan harus terjadi melalui saluran pemilu dan parlemen. Atas dasar itu, siapa saja yang ingin meraih kekuasaan (baik eksekutif dan legislatif), maka ia harus masuk dalam mekanisme pemilu dan parlemen.

Namun, ketika seseorang ditanya; bagaimana suksesi kekuasaan terjadi dalam Islam dan bagaimana mekanisme meraih tampuk kekuasaan menurut Islam; banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan jawaban yang benar. Bahkan, mereka menyatakan bahwa kekuasaan Islam tidak mungkin bisa tegak, jika kaum Muslim tidak mengikuti mekanisme suksesi kekuasaan ala sistem demokrasi. Mereka bersikukuh dengan sebuah pendapat bahwa untuk menegakkan kekuasaan Islam, kaum Muslim harus berjuang melalui saluran-saluran suksesi yang sah dan demokratis, yakni terjun dalam pemilu dan parlemen; serta musyarakah dengan pemerintahan kufur. Sedangkan perjuangan di luar parlemen dan musyarakah, dianggap sebagai jalan ilegal, bahkan selalu diopinikan berdarah-darah, seram, dan menakutkan.

Lantas, bagaimana cara menegakkan kekuasaan Islam dalam sebuah masyarakat dan negara yang menerapkan demokrasi? Apakah perjuangan menegakkan kekuasaan Islam harus ditempuh melalui saluran demokrasi (pemilu dan parlemen)?

Filosofi Mengambil Alih Kepemimpinan Umat

Penerapan syari’at Islam secara sempurna dan menyeluruh hanya akan terwujud jika partai politik berhasil mendapatkan pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Ini bisa dimengerti karena, kekuasaan merupakan syarat mutlak untuk menerapkan syari’ah Islam. Selain itu, kekuasaan juga dibutuhkan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam yang akan mengatur seluruh urusan rakyat dengan syari’at Islam. Tanpa kekuasaan, penerapan syari’at Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat adalah kemustahilan. Atas dasar itu, kekuasaan merupakan prasyarat menuju terbentuknya pemerintahan dan penerapan syari’at Islam.

Atas dasar itu, seluruh partai politik Islam harus memfokuskan dirinya untuk meraih kekuasaan dari tangan rakyat. Sebab, kekuasaan adalah milik rakyat. Rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Ketika rakyat telah menyerahkan kekuasaannya kepada sebuah partai politik, maka partai politik tersebut telah berhasil memiliki kekuasaan (wewenang) untuk mengatur urusan rakyat. Pada saat yang sama, partai politik tersebut akan didukung oleh rakyat dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya.

Sebuah partai politik akan mendapatkan dukungan dari rakyat ketika pemikiran-pemikiran, standarisasi-standarisasi, dan tata nilai partai politik telah dimengerti dan disetujui oleh rakyat. Ketika pemikiran, standarisasi, dan tata nilai yang diemban oleh partai politik sejalan dengan pemikiran, standarisasi, dan tata nilai rakyat maka, partai politik pasti akan mendapatkan dukungan dari rakyat. Pada saat partai politik mendapatkan dukungan rakyat, tentu saja ia akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari rakyat. Dalam kondisi semacam ini, partai politik dianggap telah berhasil meraih kekuasaan dari rakyat.

Sebuah negara baru akan lahir jika masyarakat telah mengadopsi pemahaman, standarisasi, dan tata nilai baru. Sebab, tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan). Sedangkan kepercayaan (trust) adalah dasar terbentuknya sebuah kekuasaan (negara). Jika kepercayaan kepada pemahaman, standarisasi dan tata nilai baru tumbuh di tengah-tengah masyarakat, maka rakyat pasti akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang membawa pemikiran, standarisasi, dan tata nilai tersebut.

Atas dasar itu, jika kita hendak membangun pemerintahan Islam langkah pertama adalah dengan jalan merebut kepercayaan umat. Kepercayaan umat akan didapatkan ketika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam telah menyatu pada rakyat. Dengan demikian meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara menanamkan pemahaman, standarisasi, dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat, hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu dengan partai.

Sayangnya, pemahaman mayoritas rakyat Islam tentang syari’at Islam sangatlah minim. Bahkan, mereka hampir-hampir tidak lagi mengenal Islam, kecuali sekedar dari simbol-simbol dan praktek-praktek ritualnya. Dalam kondisi seperti ini, perjuangan partai politik Islam untuk menyakinkan rakyat agar mereka mau menyerahkan kekuasaannya kepada partai politik Islam menjadi sangat berat. Sebab, rakyat belum menyatu dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Padahal tiga hal ini merupakan dasar bagi terbentuknya sebuah kepercayaan. Sedangkan kepercayaan umat merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan sebuah kekuasaan.

Atas dasar itu, tugas utama partai politik Islam adalah menyadarkan umat dengan syari’at Islam. Selain melakukan propaganda-propaganda tentang Islam, partai politik harus melibatkan diri dalam proses penyadaran umat terhadap pemahaman, standarisasi dan tata nilai Islam. Sebab, hanya dengan cara inilah umat akan percaya kepada partai politik Islam dan kekuasaan bisa diraih.

Diagram di bawah ini adalah gambaran bagaimana struktur kekuasaan (negara) terbentuk, dasar pembentuk kekuasaan, dan posisi partai politik Islam dalam mengambilalih kekuasaan.

Struktur Dan Pengambilalihan Kekuasaan

Kekuasaan (negara) terbentuk dari trust (kepercayaan/social contract). Sedangkan trust terbentuk dari pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Perubahan kekuasaan ditentukan oleh perubahan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Jika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai kufur sudah berganti menjadi menjadi islamiy, maka kekuasaan (negara) akan berubah.

Atas dasar itu, perubahan kekuasaan di manapun harus dimulai dengan cara mengubah pemahaman, standarisasi, dan tata nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Bila semesta pembicaraan adalah perubahan masyarakat tidak Islam menjadi masyarakat Islam, maka menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam merupakan sebuah kemestian.

Untuk itu, konsens partai politik Islam harusnya diarahkan untuk membentuk pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Sebab, dengan cara inilah trust sekuleristik bisa dihancurkan. Ketika trust telah hancur, maka rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam; dan pada saat itu muncullah kekuasaan Islam. Akan tetapi, selama proses edukasi umat dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam tidak dijalankan, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan (trust) dari rakyat.

Inilah dasar-dasar peralihan sebuah kekuasaan atau negara. Fakta perubahan kekuasaan semacam ini merupakan hasil kajian terhadap fakta dan sebab-sebab perubahan sebuah kekuasaan (negara) di manapun adanya.

Manhaj Rasulullah Dalam Meraih Kekuasaan

Meraih kekuasaan dari tangan umat adalah thariqah untuk menerapkan syari’ah Islam. Akan tetapi, cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj (metode) yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.

Di bawah ini adalah prinsip-prinsip dakwah Rasulullah Saw untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.

Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (amal jama’i) bukan individual. Perjuangan semacam ini bisa dituangkan dengan cara membentuk harakah, partai, maupun jama’ah yang bersendikan ‘aqidah Islam.

Ini didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para shahabat. Beliau Saw dan para shahabat merupakan gambaran factual sebuah perjuangan kolektif.

Rasulullah Saw berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) shahabat yang memimpin para shahabat untuk meruntuhkan rejim kufur saat itu.[1]

Di sisi lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, akan tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaedah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Menegakkan sistem Islam adalah kewajiban yang tidak mungkin dipikul oleh gerakan individual, akan tetapi harus diemban oleh sebuah kelompok. Walhasil, adanya kelompok merupakan keniscayaan bagi berhasilnya perjuangan menegakkan sistem Islam.

Kelompok tersebut melakukan pembinaan (halaqah) anggota-anggotanya dengan tsaqafah Islam, selanjutnya melakukan interaksi dengan masyarakat. Ini ditujukan agar anggota kelompok tersebut memahami visi dan misi perjuangan, dan agar mereka melebur dengan ‘aqidah dan tsaqafah Islam. Namun, kelompok tidak hanya melakukan pembinaan untuk anggota-anggotanya saja, akan tetapi ia harus membina umat agar umat memahami Islam dan mau mendukung perjuangan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Dengan kata lain, partai Islam harus berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, yang dimulai dari (1) fase pembinaan, (2) fase berinteraksi dengan masyarakat, (3) fase mengambil alih kekuasaan melalui umat.

Rasulullah Saw membina para shahabat di rumah Arqam. Beliau juga melakukan halaqah di tempat-tempat yang telah ditentukan. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri shahabat. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan oleh beliau Saw juga ditujukan agar para shahabat mampu mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya.

Beliau dan para shabahat tidak henti-hentinya menyerang kebusukan ‘aqidah-‘aqidah dan pranata jahiliyyah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beliau dan para shahabat sering menyinggahi pasar-pasar, baitullah, dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat.

Partai politik Islam harus mempersiapkan pemikiran dan metode untuk menerapkan pemikiran tersebut kepada masyarakat sedetail dan serinci mungkin. Kelompok Islam tidak boleh hanya berbekal semangat belaka untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Kelompok Islam harus bisa menggambarkan secara detail dan rinci bagaimana sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri dan dalam negeri, sistem ekonomi, sistem hubungan social Islamiy dan lain-lain. Bahkan ia harus sudah mempersiapkan konstitusi Islam yang menggambarkan sistem Islam secara utuh.

Partai atau kelompok tersebut hanya mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari ‘aqidah dan hukum Islam. Partai tidak akan menerima pemikiran-pemikiran yang sudah disusupi oleh ideologi-ideologi, pranata, maupun tata nilai yang bertentangan dengan Islam. Partai politik Islam juga tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang tidak Islam; misalnya syarat bahwa partai harus mengakui paham-paham kufur, atau tidak boleh mengubah sistem yang ada dengan sistem Islam.

Al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya serta meninggalkan seluruh laranganNya, selagi mereka mampu.”[2]

Sedangkan Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi dalam kitabnya Madarik at-Tanziil wa Haqâiq at-Ta’wil, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta’at (al-istislaam wa al-tha’ah), yakni berserah diri kepadaNya dan ta’at kepada Allah atau Islam[3].

Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan memuliakan hari Sabtu sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas.[4] Selanjutnya Imam ath-Thabari menyatakan bahwa ta’wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang Mu’min untuk menolak semua perkara yang tidak lahir dari hukum Islam. Ayat ini juga memerintahkan kaum Muslim agar melaksanakan semua syari’at Islam dan melarang kaum Muslim untuk melenyapkan hukum-hukum Islam meskipun sebagian hukum saja.[5]

Inilah prinsip-prinsip dasar dalam memperjuangkan penerapan Islam di tengah-tengah kehidupan. Masalah ini harus dijadikan fokus perhatian oleh setiap gerakan Islam yang ingin berdakwah sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sungguh, apabila partai politik-partai politik Islam memperjuangkan Islam sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, tentu mereka akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Sebaliknya, jika mereka tidak berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, mereka akan menuai kegagalan.

Dari seluruh penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pemilu dan parlemen sekarang ini bukan jalan syar’i untuk memperjuangkan penerapan syari’at Islam. Akan tetapi, jalan syar’i untuk melakukan perubahan masyarakat adalah manhaj dakwah Rasulullah Saw. Wallahu al-Hadiy al-Muwaffiq ila Aqwam al-Thariq. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy –Lajnah Tsaqafiyyah HTI).


[1] Lihat Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, hal. 13-14.

[2] Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim, jld. I, hal. 247.

[3] Imam An Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil,juz 1, hal. 105

[4] Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsîr al-Qur’an, jld. II, hal. 337.

[5] Ibid, hal. 337.

Politisasi Agama

Isu kerudung istri capres dan cawapres segera menyulut perdebatan tentang politisasi agama. Isu ini digunakan untuk menyerang kesolehan lawan politik. Terutama berkembang di kalangan kaum santri di perkotaan maupun daerah pinggiran.Di sisi lain, penggunaan isu kerudung dan agama dianggap sebagai politisasi agama yang berbahaya karena mengancam Negara dan pluralitas, sikap sekterian dan eksklusif.

Kita tentu tidak setuju kalau agama hanya digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan pemilu. Apalagi kemudian setelah menang pemilu, agama ditinggalkan seperti yang selama ini terjadi. Elit-elit politik cendrung mendadak Islami menjelang pemilu. Mulai dari pakai kopiah – meskipun tidak selalu mencerminkan Islam-, sholat jum’at , sampai kunjungan ke pesantren dan majelis ta’lim. Setelah menang pemilu, wassalam.

Tentu juga sangat naïf, kalau penggunaan kerudung atau kesolehan individual para elit politik dijadikan satu-satunya dasar untuk pilihan politik. Kesolehan ritual para elit sangat penting , namun tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah bangsa dan Negara ini. Sebab, masalah bangsa dan Negara adalah persoalan system, yakni diterapkannya system kapitalisme. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara ini.

Kita membutuhkan bukan sekedar pemimpin yang soleh secara ritual. Tapi pemimpin yang mau mencampakkan ideology dan system kapitalisme menggantikannya dengan penerapan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Sekali lagi bukan berarti pemimpin yang sholeh secara ritual tidak baik, tapi tidak cukup.

Masalah system harus juga diselesaikan secara system. Di sinilah relevansi institusi Khilafah yang akan melegalkan penerapan syariah Islam dalam segenapa aspek kehidupan.Kita membutuhkan penerapan syariah Islam yang bukan sekedar simbol, tapi bukan berarti kita menolak symbol-simbol Islam. Kita membutuhkan symbol Islam sekaligus penerapan syariah Islam sejati yang menyeluruh .

Disisi lain kita juga mengecam sikap alergi syariah (syariahphobia) para elit sekuler. Tudingan serampangan, bahwa setiap penggunaan syariah Islam berarti politisasi agama adalah murahan. Menyempitkan agama dengan menganggap itu persoalan pribadi adalah keliru besar. Apalagi kalau itu ditujukan kepada Islam. Sebab syariah Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, politik, pendidikan dan aspek social lainnya. Pem’bonsai’an agama yang dilakukan para sekuleris justru membuat agama mandul untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.

Sekali lagi kita perlu menegaskan Negara ini hancur justru karena diterapkan ideology kapitalisme sekuler dan dicampakkannya syariah Islam. Syariah Islam berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna, mustahil mencelakakan manusia. Penerapan syariah Islam akan menyelamatkan bangsa dan Negara ini. Imam Al Ghozali telah mengingatkan kita dalam kitabnya Al Iqtishod fil I’tiqod tentang pentingnya agama menjadi asas bermasyarakat dan Negara sebagai pilar yang menjaga masyarakat dan agama.

Termasuk tudingan bahwa syariah Islam mengancam pluritas adalah kebohongan. Islam mengakui realita ada perbedaan suku, ras , warna kulit ditengah masyarakat untuk saling kenal mengenal (ta’aruf). Yang diharamkan Islam adalah ketika suku,ras, dan atau kebangsaan, menjadi ikatan tertinggi dan termulia yang menjadi dasar yang menyatukan. Apalagi kalau kemulian diukur berdasarkan suku, ras, atau kebangsaan.

Manusia akan terkotak-kotak kalau ini terjadi. Ini juga akan mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam. Sebab ikatan yang paling mulia dan tertinggi adalah hablullah (tali Allah) yakni Al Qur’an. Atas dasar ikatan aqidah ini, Islam menyatukan manusia diseluruh dunia lintas bangsa, ras, dan warna kulit. Dalam Islam, ukuran kemulian seseorang dan sebuah bangsa adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT, apakah menjalankan aturan Allah SWT atau tidak. Siapapun bisa menjadi taqwa tidak peduli bangsa, warna kulit, atau jenis kelamin.

Secara historis terbukti khilafah Islam menjadi Negara adi daya yang menyatukan berbagai ras, warna kulit, bangsa, suku, termasuk berbagai agama. Islam tersebar ke berbagai kawasan dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Eropa hingga ke Asia. Pengakuan jujur tampak dari pernyataan Carleton, menurutnya : Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adi daya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya , dengan perbedaan kepercayaan dan suku (Carleton : “ Technology, Business, and Our Way of Life: What Next)

Syariah Islam juga bukan hanya untuk kebaikan muslim. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Kalau syariah Islam diterapkan akan memberikan kebaikan bukan hanya kepada muslim tapi non muslim. Jaminan kebutuhan pokok perindividu berlaku juga bagi non muslim. Termasuk jaminan pendidikan gratis, kesehatan gratis dan keamanan.

Terakhir, pantas kita menyimak T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam yang menyatakan: “Kala Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.” (Farid Wajdi)

Menuju Mahasiswa Muslim Sukses


Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Publikasi 09/04/2004

hayatulislam.net - Pengantar

Sukses dapat diartikan sebagai keadaan tercapainya tujuan atau cita-cita. Lawannya adalah gagal, yaitu keadaan tidak tercapainya suatu tujuan atau cita-cita. Sukses di sini masih memiliki arti umum, dalam arti bisa bernilai benar atau salah, tergantung pada pandangan hidup yang mendasari perumusan tujuan dan standar yang digunakan untuk menilai suatu kesuksesan dan kegagalan.
Seorang perampok misalnya, dapat dikatakan sukses bila dia berhasil merampok barang yang telah ditargetkannya. Sementara seorang petani, dikatakan sukses bila berhasil melakukan panen dengan hasil yang sesuai dengan harapannya. Jadi, “sukses” tidak selamanya identik dengan “benar”. Bisa saja seseorang merasa sukses, namun sebenarnya dia tidak berada di atas kebenaran. Dengan kata lain, hakikatnya dia telah gagal.Yang harus dicari adalah kesuksesan yang sejati, yaitu kesuksesan yang berada dalam jalur kebenaran. Ini hanya terwujud bila seseorang mencapai suatu tujuan yang didasarkan pada pandangan hidup dan standar yang benar. Dan di samping itu, kesuksesan itu harus diraih dengan cara yang benar pula, bukan dengan sembarang cara. Kesuksesan yang diraih lewat jalan yang tidak benar, sebenarnya adalah kesuksesan yang semu dan palsu, bukan kesuksesan yang hakiki.

Demikian pula kiranya dengan dunia mahasiswa. Tatkala seseorang ingin menjadi mahasiswa yang sukses dalam kuliahnya, maka pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah, apa tujuan dari kuliahnya? Standar-standar serta indikator-indikator apa yang dipakai untuk mengukur tercapainya tujuan itu? Apakah tujuan itu sudah didasarkan pada pandangan hidup yang benar?

Antara Fakta Dan Idealita

Dunia saat ini –termasuk Dunia Islam-- dicengkeram oleh ideologi kapitalisme, yang berasaskan ide sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan termasuk juga pendidikan, akan terwarnai dan terpola oleh ideologi asing tersebut. Dalam sebuah sistem kehidupan yang menerapkan atau terpengaruh dengan ideologi ini, sistem pendidikan akan senantiasa bersifat sekuleristik. Pendidikan tidak akan memberikan ruang yang cukup bagi agama, sebab agama bukanlah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan Tuhan, sementara hubungan manusia dengan manusia lainnya, seperti aspek politik, ekonomi, budaya, tidaklah diatur oleh agama.

Karena itu, dapat dilihat bahwa out put sistem pendidikan seperti ini, hanya akan menjadi manusia yang pandai dalam ilmu pengetahuan, namun dangkal dalam pemahaman agama. Para alumnus sistem ini akan menjadi manusia yang sekuleristik, materialistik, oportunistik, dan individualistik. Dikatakan sekuleristik, karena dia akan meletakkan agama dalam posisi terbatas yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya. Sementara aspek interaksi sosial yang luas, dianggapnya tidak perlu diatur dengan agama. Bersifat materialistik, karena tujuan hidupnya hanya mengejar kesenangan duniawi semata, seperti harta benda, jabatan, dan sebagainya, namun lupa akan tujuan akhiratnya. Dikatakan oportunistik, karena cara dia mengukur segala tindakannya adalah berdasarkan manfaat belaka, atau untung rugi, bukan berdasarkan ketentuan halal-haram.Dan bersifat individualistik, karena dia akan menjadi orang yang hanya mementingkan diri sendiri, serta kurang menaruh kepedulian dan perhatian kepada orang lain. Memang manusia seperti ini akan bisa hidup, namun jelas bukan hidup yang benar.

Dalam sistem sekuleristik seperti ini, sukses tidaknya seorang mahasiswa tentunya hanya akan diukur berdasarkan indikator-indikator akademik semata yang kering dari sentuhan nilai dan norma agama. Mahasiswa tetap dikatakan sukses setelah dia menyelesaikan studinya dalam waktu sekian tahun, dengan indeks prestasi sekian, meskipun dia dangkal atau bahkan bodoh dalam pemahaman agamanya. Apakah manusia seperti ini yang dikehendaki Islam? Cukupkah kesuksesan mahasiswa muslim hanya diukur dengan indikator-indikator akademik semata yang cenderung sekuleristik itu?

Sesungguhnya Islam telah menetapkan tujuan dalam sebuah proses pendidikan, yang hanya bisa dicapai bila sebuah sistem pendidikan didasarkan pada ideologi Islam, bukan ideologi kapitalisme seperti yang ada saat ini. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah terbentuknya kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) yang dibekali dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan (Lihat Muqaddimah Dustur, Taqiyyuddin An Nabhani, hal. 414). Memiliki kepribadian Islam, berarti seseorang mempunyai pola pikir (aqliyah) yang Islami, yaitu dia akan menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar untuk menilai segala pemikiran yang ada. Di samping itu, dia mempunyai pola jiwa/sikap (nafsiyah) yang Islami, yaitu mempunyai kecenderungan perasaan yang Islami dan memenuhi segala kebutuhannya dengan standar Syariat Islamiyah, baik kebutuhan jasmaninya (al hajat al ‘udlwiyah), seperti makan dan minum, maupun kebutuhan naluriahnya (al gharizah), yang meliputi naluri beragama (gharizah tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), dan naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau’), beserta segala penampakan (mazhahir) yang muncul dari ketiga naluri tersebut.

Adapun ilmu dan pengetahuan yang menjadi bekal hidup, adalah segala jenis ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat, seperti sains dan teknologi beserta segala macam ilmu cabang dan terapannya. Namun demikian, Aqidah Islamiyah harus dijadikan standar dalam hal pengambilan atau pengamalannya. Segala ilmu yang sesuai Aqidah Islamiyah saja yang boleh diambil dan diamalkan. Yang bertentangan dengan Aqidah Islamiyah haram untuk diambil dan diamalkan. Dari segi pengetahuan dan studi, Islam memang membolehkan segala macam ilmu, meskipun bertentangan dengan Islam. Tetapi dari segi pengambilan/pengamalan dan i’tiqad (keyakinan), Islam hanya membolehkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan Islam, bukan yang lain. (Ibid., hal. 413).

Dengan demikian, dapat diringkas bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan: 1). Pembentukan kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), dan 2) Penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan.

Dari sinilah seharusnya seorang mahasiswa muslim menetapkan indikator-indikator kesuksesannya, sebab dia bukan sekedar beridentitas mahasiswa, tetapi juga seorang muslim. Identitas keislaman ini tentu tak boleh dia tanggalkan dalam segala kiprahnya di dunia, termasuk kiprahnya dalam menuntut ilmu di perguruan tinggi.


Kiat Mahasiswa Muslim Sukses

Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa seorang mahasiswa muslim yang sukses dapat dicirikan dengan dengan 2 (dua) indikator: Pertama, Dimilikinya kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), Kedua, Dikuasainya ilmu pengetahuan yang menjadi bidang studinya. Seorang mahasiswa muslim yang sukses, dengan demikian, adalah mahasiswa yang berhasil memiliki kedua indikator tersebut secara bersamaan. Jadi mahasiswa yang hanya menguasai pengetahuan yang menjadi objek studinya, namun dangkal dalam pemahaman Islamnya, hakikatnya adalah mahasiswa yang gagal. (Meskipun menurut ukuran konvensional yang sekuleristik, dia adalah mahasiswa yang “sukses”!).

Untuk memiliki kepribadian Islam, pada prinsipnya seorang mahasiswa harus mempelajari Islam secara mendalam. Dia harus menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya, yang dengannya dia dapat berpikir Islami dengan menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar untuk menilai segala pemikiran yang ada. Dia harus juga menjadikan Syariat Islamiyah –yang lahir dari Aqidah Islamiyah—sebagai standar untuk menetapkan kecenderungannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Salah satu karakter muslim yang berkepribadian Islam, untuk konteks sekarang, adalah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kondisi umat. Kondisi umat Islam di seluruh dunia yang kini dikuasai oleh ideologi kapitalisme yang kafir, harus membuatnya terhentak dan tersadar dengan keadaran yang penuh dan menyeluruh untuk turut serta dalam proses perubahan menuju kondisi yang Islami. Secara konkret, muslim yang peduli dengan keadaan umat itu akan mengindentifikasikan dirinya sebagai seorang pengemban dakwah (hamilud dakwah), sebab metode Islam untuk mengubah kondisi tak Islami menjadi Islami tak lain adalah dengan jalan mengemban dakwah Islamiyah (hamlud dakwah al islamiyah).

Untuk menguasai ilmu pengetahuan yang menjadi objek studinya, seorang mahasiswa harus sukses secara akademik. Kusman Shadik (1996) memaparkan kiat-kiat praktis untuk mencapai sukses akademik di IPB, khususnya di TPB:

One. Kepercayaan Diri

Menumbuhkan kepercayaan diri bahwa Anda punya potensi besar untuk meraih sukses di IPB, merupakan langkah awal yang perlu dimiliki. Kepercayaan diri ini tentunya adalah kepercayaan yang didasarkan pada adanya potensi intelektual yang nyata, bukan kepercayaan diri palsu yang tidak didasarkan pada potensi intelektual yang nyata atau hanya sekedar berdasarkan ilusi kosong. Rasa percaya diri akan berpola positif apabila ditunjang oleh usaha yang gigih agar potensi intelektual yang ada ini dapat teraktualisai secara optimal dalam kegiatan perkuliahan.

Two. Kesehatan

Beban studi yang tidak ringan jelas memerlukan dukungan faktor kesehatan. Karena itu, suatu hal yang penting diperhatikan adalah masalah kesehatan tubuh. Berupayalah Anda memiliki kesehatan tubuh yang selalu prima agar Anda dapat mencapai hasil optimal dalam menyelesaikan beban kuliah, responsi, dan praktikum. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan cara rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan bergizi, dan beristirahat secara cukup.

Three. Metode Belajar

Metode belajar di IPB sangat berbeda dibandingkan dengan masa SMU. Di TPB ini seorang mahasiswa dituntut bukan hanya sekedar “bisa”, tetapi dituntut sampai pada tingkat “memahami”. Proses mencapai pemahaman adalah mengkaitkan setiap informasi dengan fakta, atau mengkaitkan fakta dengan informasi. Faktor terpentingnya, adalah informasi. Karenanya, informasi (tentang mata kuliah) harus selalu ditambah. Penambahan informasi selain dari diktat kuliah dapat dilakukan melalui sarana perpustakaan yang ada, terutama buku ajar yang dijadikan sebagai referensi buku diktat tiap mata kuliah. Buku-buku tersebut selain dapat memperluas konsep dasar dari mata kuliah yang bersangkutan juga dapat melatih Anda untuk mengerjakan bentuk-bentuk soal yang biasanya disertakan pada akhir tiap bab. Buku ajar ini hampir semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Karenanya, kemampuan bahasa Inggris merupakan salah satu penunjang kesuksesan akademik di IPB, terutama setelah kuliah di fakultas. Jadwalkan waktu belajar dengan baik dan belajarlah secara teratur, meskipun waktu ujian atau kuiz masih jauh.

d. Ujian

Ujian merupakan momen penting yang menentukan keberhasilan mahasiswa dalam suatu mata kuliah. Dalam menghadapi ujian di TPB perlu diperhatikan beberapa hal berikut:

• Perasaan tenang dan percaya diri merupakan komponen utama dalam menghadapi ujian. Hindarkan perasaan stress, gugup, atau gelisah yang hanya akan menghancurkan konsentrasi dan menggerogoti daya berpikir kita yang sesungguhnya. Karenanya, berdoalah yang khusyu’ sebelum ujian.

• Memantapkan secara sempurna tentang topik yang akan diujikan. Yang ideal, pemantapan atau penguasaan mata kuliah hendaknya dilakukan secara bertahap. Bukan secara dadakan atau instan dengan gaya “SKS” (Sistem Kebut Semalam). Penumpukan informasi dalam volume besar dalam waktu yang singkat sangat tidak efektif dan hanya akan memberikan beban yang berlebihan (over-loaded) terhadap otak.

• Mengenal lebih dini tentang format soal ujian untuk tiap mata kuliah yang biasanya berbeda-beda antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Untuk mengetahui hal ini dapat dilihat pada berkas ujian pada tahun sebelumnya. Hubungan yang baik dengan kakak kelas dalam hal ini tentu akan sangat membantu.

•Mempersiapkan langkah teknis ujian akhir dengan baik, seperti KTM, pulpen, minimal 2 buah, kalkulator apabila ujian tersebut diperkenankan untuk menggunakan kalkulator. Meskipun sepertinya sepele, namun bila tidak disiapkan secara apik dan cermat, akan bisa mempengaruhi mental kita dalam mengerjakan soal ujian.

Semua yang telah disampaikan di atas yang berkenaan dengan kiat sukses dalam meraih prestasi akademik di IPB khususnya TPB, kiranya dapat dijadikan sebagai bahan masukan agar waktu, tenaga, dan potensi yang ada dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.


Penutup

Kiranya menjadi mahasiswa muslim yang sukses memang merupakan dambaan. Namun sekali lagi perlu diperhatikan benar, apa indikator “kesuksesan” yang digunakan. Jangan sampai Anda merasa menjadi sukses, padahal sebenarnya gagal. Mahasiswa muslim yang sukses adalah mahasiswa berhasil meraih 2 (dua) hal sekaligus: Pertama, Menjadi muslim yang berkepribadian Islam, dan Kedua, Meraih kesuksesan secara akademik.

Selain itu, seorang mahasiswa yang berkepribadian Islam juga dituntut untuk peduli terhadap keadaan umat, dengan jalan turut serta memikul tanggung jawab dakwah Islamiyah demi terwujudnya tatanan umat dan masyarakat yang Islami.
[ ]