Minggu, 18 Oktober 2009

Khilafah akan Kembali!

The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.“ ( Goerge W. Bush)

Syabab.Com
- Keruntuhan Uni Sovyet yang dikenal sebagai peristiwa bersejarah dan menunjukkan superioritas Kapitalisme terhadap Komunisme, adalah titik lahirnya babak baru dunia. Meskipun Komunisme sempat menarik simpati selama 70 tahun, ia runtuh dan kehilangan kepercayaan dari pengikutnya ketika kalah berlomba dalam persenjataan melawan Amerika Serikat (AS). Pemikir Barat seperti Francis Fukuyama menyatakan bahwa runtuhnya komunisme adalah akhir dan puncak dari perjalanan pemikiran manusia, yaitu Kapitalisme, yang terbukti mampu mengalahkan Komunisme sebagai satu-satunya penantang.
Tidak lama setelah peristiwa 911, Amerika Serikat memicu perang global terhadap terror. Ia pun segera menginvasi Afganistan dan Iraq. Namun dalam kurun waktu 5 tahun pendudukan AS terhadap dua negara tersebut, AS ternyata tidak mampu mengontrol stabilitas keamanan di sana. Padahal, sebelum jatuhnya komunisme, dunia Islam tidak dianggap sebagai tantangan yang berarti terhadap Kapitalisme. Akan tetapi, serangan terhadap Islam secara fisik maupun ideologis mulai meningkat tajam. Ironisnya, serangan dunia kapitalis (dimana rakyatnya sendiri sebetulnya juga mulai meragukan ideologi ini) justru mempercepat suatu proses perubahan yang akan mencapai titik puncak.

Dunia Muslim: Masa Lalu dan Kini

Semasa tergulingnya kekhilafahan yang berpusat di Turki pada tahun 1924, dunia muslim dijajah selama puluhan tahun. Inggris berhasil menyiasati bangsa Arab untuk memberontak terhadap Turki dengan bantuan keluarga Saud. Pemikiran intelektual yang menyerang Khilafah dan Islam, serta ketidakmampuan ulama Khilafah di Turki untuk menyikapi revolusi industri dan perkembangan jaman modern, membuat banyak kalangan muslim meragukan apakah Islam masih bisa diterapkan. Pandangan ini membidani lahirnya gerakan politik (seperti Turki Muda) yang pada akhirnya berhasil menghapus Islam itu sendiri. Sementara itu Afrika Utara masih diduduki penjajah selama ratusan tahun sejak jaman Napoleon. Gerakan Restorasi Khilafah yang penuh dengan pengorbanan pun sempat terjadi di India, tapi gagal menjadi pergerakan global.

Situasi saat itu dibentangkan oleh David Fromkin, Profesor dan ahli sejarah ekonomi University of Chicago dengan kata-katanya, “Massive amounts of the wealth of the old Ottoman Empire were now claimed by the victors. But one must remember that the Islamic empire had tried for centuries to conquer Christian Europe and the power brokers deciding the fate of those defeated people were naturally determined that these countries should never be able to organize and threaten Western interests again. With centuries of mercantilist experience, Britain and France created small, unstable states whose rulers needed their support to stay in power. The development and trade of these states were controlled and they were meant never again to be a threat to the West. These external powers then made contracts with their puppets to buy Arab resources cheaply, making the feudal elite enormously wealthy while leaving most citizens in poverty”[1]

“Kekayaan luarbiasa dari bekas Imperium Ottoman telah terampas oleh pemenang perang. Tapi jangan lupa, bahwa Imperium Islam berusaha selama berabad-abad untuk menundukkan Eropa (yang Kristen). Itu sebabnya para pemegang kekuasaan yang baru sudah selayaknya memastikan bahwa rakyat bekas Imperium Islam yang kini terkotak dalam berbagai negeri tidak boleh lagi bisa terorganisir kembali dan membuat ancaman terhadap kepentingan dan keamanan Eropa lagi. Sebagai aktor merkantilis, Inggris dan Perancis mengulang sejarah dengan membuat negeri-negeri boneka yang pemimpin-pemimpinnya selalu tergantung kepadanya untuk bisa mempertahankan kekuasaan. Kemajuan dan perdagangan negeri-negeri tersebut akan selalu dikontrol sehingga tidak akan pernah bisa bangkit dan menjelma menjadi ancaman yang berarti. Kekuatan asing membuat kontrak yang murah dengan penguasa boneka di tanah Arab, yang mengakibatkan timbulnya golongan feudal yang kaya raya dan golongan rakyat biasa yang terpuruk dalam kemiskinan.[1]”

Ketika dianalisa, negeri-negeri baru yang lahir dari serpihan Khilafah Uthmani adalah konstruksi artifisial yang tidak memiliki sistem yang konsisten dan terpadu (koheren). Kita cermati bahwa masyarakat muslim menjadi terpecah dalam menentukan nilai apa yang selayaknya menjadi dasar pembentukan masyarakatnya. Sebagian dari mereka tetap mengambil konsep Islam, sedang yang lain mengambil konsep Kapitalisme dan juga Nasionalisme. Malahan, masalah seperti kemiskinan, pengangguran, pembangunan, dan sengketa sosial laki-laki dan perempuan diselesaikan dengan kebudayaan setempat dan juga keputusan dari suku masing-masing. Itu sebabnya negeri-negeri boneka yang didirikan oleh bekas penjajahnya tidak akan mungkin maju, karena sumber pandangan hidupnya bermacam-macam dan tidak didasari oleh consensus yang disepakati bersama. Akhirnya, sumber daya alam dan manusianya pun tidak diatur dengan dasar dan langkah yang benar. Padahal tanpa dasar atau rujukan utama, negara tidak akan bergerak maju secara mantap ke depan.

Terlepas dari serangan dan tekanan kaum penjajah, umat muslim ternyata tidak begitu saja menerima kapitalisme sebagai dasar Negeri-negeri mereka. Hal ini terutama ketika ada aspek-aspek kapitalisme yang bertentangan secara gamblang terhadap aqidah Islam. Meskipun segala daya upaya Barat telah kerahkan untuk menyebarluaskan budaya asingnya di tanah muslim, seperti ide-ide kebebasan, umat islam tidak begitu saja menanggalkan sistem sosial yang berdasarkan Islam dan masih mempertahankan sentimen keislaman. Malahan secara keyakinan, umat islam masih mempertahankannya dan tidak mengadopsi akidah dialektika materialistis maupun akidah sekularisme. Maka bisa dinyatakan bahwa umumnya umat islam tidak meninggalkan pandangan hidupnya, meski pemahaman umat terhadap Islam itu sendiri juga masih bermasalah.

Di sisi lain, meskipun umat ini lemah dalam kemampuannya menggali konsep-konsep dan prinsip-prinsip Islam yang murni, umat islam umumnya rindu untuk hidup dibawah naungan Islam kembali. Ambil contoh, Turki, sebagai satu-satunya Negara yang menghapus Islam sama sekali dari konstitusinya. Mustafa Kemal Ataturk berusaha untuk menghancurkan Islam di Turki dan dia pikir rakyat Turki benci terhadap tradisi keislaman. Kenyataannya, hanya dalam kurun beberapa dekade saja, tekanan terhadap rezim Turki mulai menguat dan di tahun 1950, rezim tersebut mulai menggunakan sentimen keislaman untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di tahun 1970, Turki memiliki politisi yang duduk di kabinet, Necmettin Erbakan, seorang individu yang sudah terkenal dengan latar belakang keislaman.

Selama 12 tahun terakhir, rakyat Turki memilih pemerintah yang ‘Pro Islam’ bukan cuma sekali, tapi justru dua kali. Ini membuktikan bahwa sentimen keIslaman masih membara di Turki. Tidak kurang Menteri Negara Amerika Madeleine Albright di tahun 1997 menyesalkan ‘kemunduran Turki dari sekularisme.’ Itu sebabnya dinas militer Turki selalu membersihkan jajarannya dari setiap individu yang memiliki pengaruh atau terpengaruh dengan semangat keIslaman. Jadi, rakyat Turki tidak pernah mengadopsi Kapitalisme, yang telah lama sekali mendominasi sistem politik Turki, dan justru sekarang bergerak menuju untuk kembali ke Islam – suatu fakta yang berbeda sejak 1924. Turki hanya baru satu dari banyak contoh lainnya. Pengaruh Islam di Aljazair sedemikian dahsyatnya hingga timbulnya kemenangan FIS. Demikian pula,karena cintanya dengan Islam, rakyat Afganistan mendirikan sistem Emirat, meski bukan Khilafah, yang didasarkan pada Islam.

Apa yang kita saksikan sekarang adalah reaksi muslim sebagai satu tubuh dalam menyikapi serangan yang menimpa saudara-saudaranya. Meskipun muslim di Palestina sendiri sedang terjajah, mereka tetap menyuarakan solidaritas mereka dengan kaum muslim lainnya di Afganistan dan Iraq. Muslim merasa muak dengan konsep ‘kebebasan berpendapat’, yang sering dikutip sebagai tameng dalam melawan Islam, sebagaimana terlihat dari penerbitan komik tentang Nabi Muhammad Saw di Eropa.

Pertanyaannya, kalau nilai-nilai yang didambakan umat Islam ini, berbeda dari nilai-nilai asing yang diterapkan padanya, mengapa umat ini terikat dengan nilai-nilai asing tersebut dan membiarkan para penguasanya menerapkan nilai-nilai asing itu juga? Jawabannya, para penguasa di negeri-negeri muslim tidak mendasarkan kekuasaan mereka pada hubungan yang dekat dengan rakyatnya, tetapi dengan kekejaman dan siksaan untuk mengontrol rakyatnya. Hal ini sudah sedemikian jelas dan sudah berjalan sekian lama tanpa perubahan.

Menjurangnya jarak antara Umat dengan Penguasanya

Kalau kita lihat sejarah dunia Muslim dan rezim yang menguasainya, kita bisa lihat tren yang menunjukkan naiknya ketegangan antara para penguasa dengan rakyatnya, dimana umat Islam memegang konsep dan sentimen yang berbeda dengan yang diambil dan diterapkan oleh para penguasa. Di Pakistan, Pervez Musharraf berusaha memperkenalkan budaya Barat dengan konsep ‘enlightened moderation’ (moderat yang tercerahkan), yang ternyata ditolak mentah-mentah. Kita juga lihat bagaimana Turki menolak kerjasama militer dengan AS yang di iming-imingi bantuan senilai 20 trilyun dolar menjelang pecahnya perang Teluk kedua, karena rakyat Turki melihat kerjasama tersebut akan digunakan untuk membunuh Muslim di Iraq. Kita juga lihat bagaimana usaha penguasa Muslim untuk menormalisasi hubungan dengan Israel selalu gagal.

Perbedaan jarak antara penguasa dan rakyatnya tidak terjadi satu abad yang lau, dimana Jamal Abdul Nasser (pemimpin Mesir di tahun 60an) didukung penuh oleh rakyatnya. Dia dianggap pahlawan Arab karena dia berani mengambil alih Kanal Suez dari Inggris dan melawan Israel. Rakyat muslim percaya bahwa Jamal Abdul Nasser mewakili mereka. Muslim juga menyanjung Yasser Arafat sebagai singa Islam, dan Arafat juga bisa memanipulasi ratusan ribu pemuda muslim untuk berjihad melawan penjajah Israel. Hingga akhir 1980an, rakyat muslim di negeri Teluk pun tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan penguasanya seperti Raja Fahd dan penguasa negeri Teluk lainnya, karena kesejahteraan minyak dan dukungan serta pengaruh ulama Saudi. Hal yang sama juga terlihat di belahan dunia muslim lainnya. Relasi antara para penguasa dan rakyatnya selalu lemah, dan rakyat menjadi apatis karena banyak sekali faktor. Kelemahan ini sempat tertutupi dengan nasionalisme Arabisme dan ide-ide asing seperti Ba’athisme dan Sosialisme. Di negeri-negeri Teluk, kesejahteraan ekonomi menutupi kesenjangan antara penguasa dan rakyat, yang mulai berakhir sejak jatuhnya Komunisme.

Dengan jatuhnya komunisme di tahun 1990, Islam menjadi fokus baru karena potensinya untuk menghadang kemajuan Kapitalisme. Bekas Sekjen NATO, Willie Claes menyatakan, “The Alliance has placed Islam as a target for its hostility in place of the Soviet Union.” (NATO menjadikan Islam sebagai target karena ia biang permusuhan di negeri-negeri bekas Uni Sovyet). Muslim bagaimanapun mampu membentengi diri mereka dari serangan budaya dan mempertahankan Din mereka. Pertentangan ini menyebabkan runtuhnya peradaban Barat di benak kaum muslimin.

Kini, kehancuran Peradaban Barat melahirkan perlawanan terhadap Islam. Amerika mulai menyadari bahwa penjajahan kultural sudah gagal dan sekarang membutuhkan pendudukan militer secara langsung. Paul Wolfowitz berkata dalam konferensi pers di Singapura, “It’s true that our war against terrorism is a war against evil people, but it is also ultimately a battle for ideals as well as a battle of minds.”[2] (Memang betul bahwa perang kami kobarkan melawan teror adalah perang melawan orang jahat, tetapi juga adalah perang gagasan dan perang pemikiran)

Karena umat muslim menolak pandangan Barat tentang kehidupan, umat secara alami tentu berharap untuk kembali ke penataan kehidupan secara Islam. Sementara itu para penguasa justru menolak dan menerapkan budaya dan agenda Barat, maka tidak heran kalau antara Penguasa dan Rakyat terjadi pertentangan sudut pandang yang sangat bertolak belakang.

Peristiwa yang terjadi 20 tahun terakhir mulai membuka kedok para penguasa dan menyatukan umat secara luarbiasa. Sebelum perang teluk, umat muslim tidak menyadari kebencian Amerika terhadap Islam. Para pemikir dan ulama di dunia muslim pun tidak menyadari pengkhianatan para penguasa dan tidak melihat Barat sebagai musuh. Namun sejak pecahnya perang Teluk yang pertama, sebagai alasan untuk melawan invasi Iraq terhadap Kuwait, kebencian Amerika dan pengkhianatan penguasa menjadi jelas terlihat. Rezim penguasa negeri Teluk kehilangan legitimasinya, ketika membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz. Demikian pula ulama Saudi yang mendukung keberadaan tentara Amerika juga kehilangan legitimasi mereka. Muslim mulai melihat kesenjangan antara mereka dengan penguasa.

Sekarang kita bisa lihat bagaimana para penguasa muslim terperangkap secara politik: antara kepatuhan untuk melayani kepentingan Barat dan Amerika, dan ketakutan untuk dilucuti kekuasaannya oleh rakyatnya sendiri. Mereka tidak berani mengirim pasukan melawan Iraq karena sentimen rakyat; mereka menyetujui perang Teluk meski mendongkol; dan mereka selalu hidup dalam ketakutan terhadap perubahan. Muslim di seluruh dunia menolak usaha Amerika dan melihatnya sebagai permusuhan yang sudah selayaknya dilawan. Mereka juga melihat Penguasanya dengan kebencian dan tidak ingin diperintah lagi sebagaimana terlihat dengan Pervez Musharraf di Pakistan.

Awal dari kejatuhan para pengkhianat

Perilaku para penguasa pengkhianat mulai menunjukkan tanda-tanda untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Yasser Arafat memerintahkan penembakan terhadap rakyatnya sendiri ketika mereka mendukung Usama bin Laden melawan perang Amerika di Afganistan. Tentara Yordania menyeberang perbatasan dan membunuhi tentara Israel dalam fase Intifadah kedua. Hamid Karzai memaksa untuk menggunakan tentara Amerika sebagai satpam ketimbang menggunakan rakyatnya sendiri sehingga bisa lolos dari berbagai ancaman pembunuhan. Pervez Musharraf pun selalu memerintahkan untuk mengosongkan jalan sebelum dia melewatinya, karena khawatir akan dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Raja Abdullah dari Yordania memerintahkan kehancuran kota Ma’an karena penduduknya berani melawan pemerintah. Menteri Luar Negeri Mesir sempat dilempari sandal ketika ia memasuki masjid Al Aqsa di tahun 2005 seusai rapat dengan Israel. Dan jangan lupa, kita selalu melihat sandiwara OKI dan KTT Puncak Liga Arab, dimana para perwakilan negeri-negeri tersebut tampak ‘garang’ melawan Amerika agar rakyatnya menjadi gembira. Bahkan di tahun 2002 ada usaha kudeta yang dilakukan oleh perwira Pakistan dan Yaman, yang digagalkan oleh kedatangan tentara Amerika- suatu contoh yang tentu tidak suka didengar oleh para penguasa muslim.

Itu semua baru sedikit contoh yang menunjukkan mulai melemahnya kontrol kekuasaan yang dipegang para penguasa muslim. Maka para penguasa pun mulai menyadari bahwa mereka harus menerapkan apa yang rakyatnya dambakan, atau menghadapi perubahan. Ini pun juga disadari oleh Amerika dan Dunia.

Barat mempertahankan Ideologinya

Pengalaman sejarah Kapitalisme dalam mempertahankan eksistensi dan superioritasnya adalah dengan menetralisir pemikiran asing yang mengancamnya. Perang Dingin adalah contoh bagus. Pertahanan kapitalisme dilakukan dengan pembersihan politisi Amerika yang diduga merupakan simpatisan komunis yang dipimpin Senator McCarthy, propaganda anti komunis yang berlabel ‘red-scare’ (ancaman merah), dan persaingan penguasaan antariksa dan persenjataan. Inggris saat ini mempertahankan dirinya dengan memproduksi cerita bohong terhadap siapapun yang menentang ‘British Values’ (nilai-nilai Inggris) dengan melabelnya sebagai berbahaya, ekstrimis, radikal, fundamentalis, dan potensi teroris serta ancaman terhadap negara. Maka negara-negara Barat tidak segan untuk mentargetkan komunitas muslim rakyatnya dengan menyadap telpon, memonitor tingkah laku dan latar belakangnya, dan memenjarakan mereka meski hanya dengan dugaan bahkan ketika tidak terbukti melakukan kasus kriminalitas.

Perang Afganistan dan Iraq membuktikan kepada para pemikir bahwa Kapitalisme tidak mengakar di dunia Muslim, malahan cerita disambutnya serdadu AS oleh rakyat Iraq adalah cerita yang dibuat-buat oleh mesin propaganda AS sendiri. Maka bukan kebetulan apabila target utama ‘perang melawan teror’ adalah negeri-negeri dimana islam dipeluk oleh mayoritas penduduk dan menjadi dasar atas pemerintahan Islam masa depan, disamping itu juga merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi.

Bukan juga suatu kebetulan, dimana dokumen Pentagon, Quadrennial Review terbitan tahun 2002 dan 2006, menjadikan muslim, negeri-negeri muslim, dan Islam dalam berbagai corak dan bentuknya adalah ancaman terhadap keamanan AS. Pejabat teras AS sendiri juga percaya bahwa ancaman ideologis terhadap supremasi Kapitalisme adalah ‘Islam yang terpolitisir’, dan AS serta sekutunya tidak bisa tinggal diam dan membiarkan umat muslim dunia merealisasikan tujuan politiknya dengan membangun Khilafah.

Maka, pembuat kebijakan politik senior seperti George W Bush ‘memperingatkan’ konsekuensi dari pembentukan kembali Khilafah. Bush dalam pidato kenegaraan bulan Oktober 2005 berkata, “The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.” (Kaum militan yakin bahwa dengan menguasai satu negara, ia mampu mengajak dan meraih dukungan seluruh umat muslim, menumbangkan rezim moderat, dan membentuk imperium radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia).

Donald Rumsfeld, dalam invasi ke Iraq pun mengkonfirmasi, ”Iraq would serve as the base of a new Islamic Caliphate to extend throughout the Middle East and which would threaten the legitimate governments in Europe, Africa, and Asia. This is their plan. They have said so. We make a terrible mistake if we fail to listen and learn. It is for these reasons America has imposed a Viceroy of the Middle East because the Muslim rulers cannot be propped up by an outside force for much longer.” (Iraq akan menjadi pusat kekhilafahan Islam yang baru, yang akan menjadi ancaman terhadap pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Ini adalah rencana mereka. Mereka telah menyatakannya. Kita akan melakukan kesalahan fatal apabila kita gagal untuk gagal untuk belajar dan membuka kuping kita lebar-lebar. Inilah alasannya, Amerika telah menetapkan perwakilan tetap di Timur Tengah karena penguasa muslim sendiri tidak bisa didukung selamanya oleh kekuatan asing)

Umat Muslim kini siap untuk berubah, ia tolak pandangan Kapitalis, dan ingin hidup dibawah bendera Islam dalam lingkup negara dan masyarakat. Perasaannya telah menyatu dengan Islam dan terbukti ketika Barat menyerang Islam. Muslim di dunia tidak lagi melihat para penguasanya tidak lagi mewakili aspirasi mereka; bahkan jurang antara umat dan pemimpin semakin dalam. Kenyataan dan gejolak dunia yang terjadi sekarang, pada akhirnya akan mengarah pada perubahan kepemimpinan yang mewakili aspirasi umat itu sendiri. Fakta perubahan dan pengalaman sejarah mengatakan bahwa kita berdiri di ambang perubahan.

Apa yang memberikan motivasi kepada mereka yang akan menggerakkan terjadinya perubahan ini hingga rela bekerja secara ekstra keras, tidak lain adalah perasaan umat secara keseluruhan, dimana ia adalah sumber dukungan dan faktor penguat kepercayaan diri. Di dunia muslim, mereka adalah anggota jajaran angkatan bersenjatanya. Kita bisa lihat kudeta yang telah terjadi berkali-kali yang dipimpin oleh para perwira yang mendambakan perubahan. Pakistan, Qatar, Tunisia, Iraq, dan Afghanistan adalah contoh negeri-negeri yang para perwiranya dan tokoh-tokoh masyarakatnya yang berpengaruh telah mencoba untuk merubah kepemimpinan dalam waktu 12 tahun terakhir.

Berbagai cara dan usaha yang Barat tempuh untuk memecah belah Umat dan mereformasi Islam sehingga bisa menghentikan hembusan angin perubahan adalah bukti yang tidak terbantahkan di benak setiap muslim bahwa Kapitalisme sedang menguras seluruh daya dan upaya serta berjuang mati-matian mempertahankan dirinya. Di Barat, para politisi dan pemikir secara terbuka berani menghujat Islam; menyerang sisi politik dari Islam yang akan mengarah kepada sistem pemerintahan. Badan intelijen AS pun memperkirakan jangka waktu yang lama untuk menduduki dunia muslim dan menyiapkan mobilisasi kekuatan militer cepat tanggap (rapid mobile deployment forces). Tindakan dan rencana seperti ini menguatkan sinyalemen Nabi Muhammad saaw dalam hadith yang berbunyi:

“Ada kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada kekhalifahan berdasarkan tuntunan Nabi, maka dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada, lalu Dia mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa yang zalim, maka dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa diktator, maka dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada khilafah berdasarkan tuntunan Nabi. Lalu, beliau pun diam.” (Musnad Imam Ahmad (v/273)) [Rusydan/KCom/Syabab.Com]

ICW: Ada Tiga Nama Penghilang Ayat Tembakau

BANDAR LAMPUNG, TRIBUN -- Indonesia Corruption Watch (ICW) akan melaporkan sejumlah nama yang diindikasikan terlibat dalam penghilangan ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan DPR.

"Ada tiga nama yang kami kantongi, dari unsur legislatif dan eksekutif, yang terindikasi secara sengaja malakukan penghilangan ayat itu dan akan kami laporkan mulai Senin (19/10)," kata Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, di Bandar Lampung, Minggu (18/10).

ICW akan melaporkan ketiga nama tersebut masing-masing kepada Badan Kehormatan DPR, Mabes Polri, dan KPK karena melihat adanya penghilangan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak dengan konspirasi tertentu.

"Motivasinya sudah jelas, yaitu uang, dan kami melihat penghilangan ayat tentang tembakau ini jelas mengarah kepada unsur kesengajaan," kata dia.

Ade berharap, pemerintah dan lembaga terkait harus membongkar dan menyelesaikan penghilangan ayat tersebut melalui jalur hukum. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum ke depan.

"Ini adalah sebuah konspirasi, siapa pun tidak bisa seenaknya melakukan penghilangan ayat dalam undang-undang, karena itu harus diusut tuntas," kata Ade Irawan.

Sesuai tatib DPR, UU Kesehatan dinyatakan selesai setelah pembahasan tingkat dua atau paripurna pengesahan sehingga tindakan perubahan, penambahan atau penghilangan pasal dan ayat di luar rapat paripurna merupakan tindakan ilegal.

Berdasar data yang terkumpul, hasil paripurna Pasal 113 UU tentang Kesehatan berisi tiga ayat, tetapi saat pengiriman kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan ternyata pasal itu hanya berisi dua ayat, dan Ayat 2 yang ikut disahkan paripurna ternyata hilang.

Penghapusan tersebut dilakukan tidak cermat dan tidak diikuti penghapusan pasal demi pasal. Dengan demikian, UU Kesehatan Pasal 113 yang berisi dua ayat masih memiliki tiga ayat penjelasan karena penjelasan dari Ayat 2 masih tetap ada dan tidak ikut dihapus.

Ayat yang dihapuskan itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya".(*)

“Misi” SBY di Balik Pilihan Demokrat Kuasai Komisi III


Dipilihnya Komisi III oleh Demokrat dalam pembagian jatah komisi tidaklah mengejutkan. Komisi yang menangani persoalan hukum, perundang-undangan, HAM, dan keamanan ini dinilai sangat sesuai dengan “misi” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melegalisasikan kekuasaannya.

Hal ini disampaikan pengamat politik Yudi Latif seusai diskusi di Gedung DPD, Rabu (14/10), menanggapi jatah komisi-komisi “basah” yang diperoleh Demokrat. “Kelihatannya, SBY ingin mempertahankan kekuasaannya berdasarkan kerangka legal. Oleh karena itu, mekanismenya harus berbasis legal dan dia pikir itu (Komisi III) yang perlu dia amankan,” ungkap Yudi.

Menurutnya, komisi hukum merupakan salah satu komisi strategis yang menangani konstitusi. Komisi ini dinilai sebagai pintu masuk berbagai kebijakan yang bisa menguntungkan dan merugikan pemerintah.

Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat Anas Urbaningrum sebelumnya mengatakan memilih Komisi III karena bercita-cita untuk konsisten meneruskan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. (kompas.com, 14/10/2009)

Koreksi Penting Untuk Pemerintahan Baru

Eep Saefulloh Fatah, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam kolom Analisis Politik Koran Kompas, ( 18/8) menulis tentang potensi kekeliruan pemerintah baru SBY ke depan. Menurutnya potensi kekeliruan dibentuk oleh sikap akomodatif Yudhoyono yang berlebihan. Mengakomodasi semua (23) partai peserta resmi koalisi penyokongnya ke dalam kabinet dan/atau pos-pos pemerintahan lainnya bisa mengabaikan kompetensi mereka. Termasuk berpotensi membatasi kemungkinan terbentuknya kabinet yang kompeten, profesional, dan punya integritas.

Potensi kekeliruan berikutnya dibentuk oleh cenderung lemahnya kepemimpinan Yudhoyono. Pertama, menjalankan politik balas budi secara berlebihan sebagaimana terlihat sejak 2004. Politik balas budi berlebihan telah terbukti meningkatkan kerepotan selama lima tahun terakhir. Kedua, tak bersikap tegas terhadap kasus-kasus konflik kepentingan dalam pemerintahannya sehingga membatasi efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Contoh terbaik soal ini adalah berlarut-larutnya penyelesaian lumpur di Sidoarjo. Ketiga, mengelola pemerintahan yang terlampau hati-hati, lamban, dan konservatif. Jangan lupa, SBY-Boediono cenderung satu karakter, tidak saling komplementer sebagaimana SBY-Kalla. Keduanya berpotensi menjadi rem (bukan rem dan gas) dan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan yang kurang sigap.

Analisis diatas cukup menarik. Namun yang sering dilupkan kalaupun potensi kekeliruan diatas bisa ditangani, pemerintah baru tetap akan berjalan atas dasar Sekuler-Kapitalisme . Justru inilah pangkal kekeliruan terbesar dari pemerintahan baru SBY. Ideologi Kapitalisme telah terbukti gagal selama ini untuk mensejahterakan rakyat dan membangun stabilitas politik yang mapan.

Kebijakan ekonomi Kapitalisme yang liberal yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan SBY atau yang sebelumnya justru semakin menambah penderitaan rakyat dan gagal menuntaskan kemiskinan. Meskipun jumlah kemiskinan diklaim menurun namun jumlahnya tetap puluhan juta , angka yang sangat besar . Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia jumlah penduduk miskin selama Maret 2009 turun 14,15 persen atau 2,43 juta jiwa, menjadi 32,53 juta jiwa.

Padahal didepan mata Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa yang seharusnya bisa digunakan untuk menuntaskan kemiskinan. Waktu lima tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mentuntaskan kemiskinan. Kapitalisme juga telah memberikan jalan bagi negara imperialis untuk mengobok-obok kekayaan alam Indonesia.

Ekonomi kapitalis terbukti lebih memihak kepada pemilik modal. Kasus bailout Bank Century memperkuat anggapan ini. Dengan alasan menyelamatkan Bank Century, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 triliun . Padahal, besaran injeksi dana yang diajukan ke DPR sebelumnya hanya Rp 1,3 triliun. Wapres Yusuf Kalla melah dengan tegas-tegas menyatakan ini adalah perampokan.

Tidak hanya itu menurut Drajat Wibowo pengamat ekonomi yang juga anggota DPR menduga pascapenyuntikan Century, LPS akan merugi.Dengan nilai ekuitas sekarang yang Rp 500 miliar, jika dijual dua tahun ke depan, Century hanya laku Rp 1,5-Rp 2 triliun. Setelah disuntik modal, harus ada divestasi setelah tiga tahun. Mungkin kerugiannya Rp 4-Rp 5 triliun. Bailout Century berpotensi menjadi BLBI jilid II ketika terjadi perampokan uang negara untuk kepentingan pemilik modal yang membebani rakyat hingga Rp 650 triliun.

Melanjutkan ideology capitalism bukan hanya pangkal kekeliruan tapi menjadi dosa besar pemerintah baru. Menerapkan ideology kapitalisme disamping merugikan rakyat, menghancurkan negara juga merupakan kemaksiatan yang terbesar karena berhukum pada hukum kufur. Padahal Allah SWT telah memerintahkan untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh.

Penerapan syariah Islam juga secara praktis akan menghentikan kemiskinan meluas ditengah masyarakat. Politik ekonomi syariah yang mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang,pangan, dan papan) akan menjamin kesejahteraan rakyat disamping pendidikan dan kesehatan gratis.

Hasil kekayaan alam yang melimpah dari tambang emas, perak, minyak, gas akan digunakan untuk kepentingan rakyat, karena berdasarkan syariah Islam merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah) yang wajib dikelola negara dengan baik untuk kemashlahatan rakyat. Kebijakan ini akan menghentikan penjajahan negara-negara kapitalis di Indonesia.

Penerapan syariah Islam akan menghentikan terror terhadap umat Islam atas nama perang melawan terorisme. Perang melawan terorisme ala AS ini telah menjadikan Islam dan umat Islam sebagai obyek. Mulai dari stigma negative terhadap syariah Islam dan symbol-simbol Islam sampai pengawasan dakwah. Siapapun yang diberikan label sebagai teroris kemudian diperlakukan seenaknya oleh aparat, padahal belum terbukti atau ada kemungkinan keliru dalam penangkapan.

Berdasarkan syariah Islam tidak boleh ada hubungan apapun (ekonomi, politik, maupun militer) dengan negara imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Status mereka adalah muhariban fi’lan karena telah memerangi secara langsung umat Islam dan membunuh umat Islam di berbagai kawasan dunia. Memutus hubungan dengan negara teroris ini akan menghentikan terorisme. Karena Amerika Serikatlah yang diduga keras menjadi mastermind dari berbagai tindak terror di dunia Islam .

Walhasil kalau pemerintahan baru benar-benar ingin berpihak kepada rakyat, ideology kapitalisme harus ditinggalkan dan diganti dengan syariah Islam. Dengan syariah Islam, Allah SWT telah menjamin kita akan meraih keselamatan dan barakoh di dunia dan diakhirat.