Minggu, 18 Oktober 2009

Khilafah akan Kembali!

The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.“ ( Goerge W. Bush)

Syabab.Com
- Keruntuhan Uni Sovyet yang dikenal sebagai peristiwa bersejarah dan menunjukkan superioritas Kapitalisme terhadap Komunisme, adalah titik lahirnya babak baru dunia. Meskipun Komunisme sempat menarik simpati selama 70 tahun, ia runtuh dan kehilangan kepercayaan dari pengikutnya ketika kalah berlomba dalam persenjataan melawan Amerika Serikat (AS). Pemikir Barat seperti Francis Fukuyama menyatakan bahwa runtuhnya komunisme adalah akhir dan puncak dari perjalanan pemikiran manusia, yaitu Kapitalisme, yang terbukti mampu mengalahkan Komunisme sebagai satu-satunya penantang.
Tidak lama setelah peristiwa 911, Amerika Serikat memicu perang global terhadap terror. Ia pun segera menginvasi Afganistan dan Iraq. Namun dalam kurun waktu 5 tahun pendudukan AS terhadap dua negara tersebut, AS ternyata tidak mampu mengontrol stabilitas keamanan di sana. Padahal, sebelum jatuhnya komunisme, dunia Islam tidak dianggap sebagai tantangan yang berarti terhadap Kapitalisme. Akan tetapi, serangan terhadap Islam secara fisik maupun ideologis mulai meningkat tajam. Ironisnya, serangan dunia kapitalis (dimana rakyatnya sendiri sebetulnya juga mulai meragukan ideologi ini) justru mempercepat suatu proses perubahan yang akan mencapai titik puncak.

Dunia Muslim: Masa Lalu dan Kini

Semasa tergulingnya kekhilafahan yang berpusat di Turki pada tahun 1924, dunia muslim dijajah selama puluhan tahun. Inggris berhasil menyiasati bangsa Arab untuk memberontak terhadap Turki dengan bantuan keluarga Saud. Pemikiran intelektual yang menyerang Khilafah dan Islam, serta ketidakmampuan ulama Khilafah di Turki untuk menyikapi revolusi industri dan perkembangan jaman modern, membuat banyak kalangan muslim meragukan apakah Islam masih bisa diterapkan. Pandangan ini membidani lahirnya gerakan politik (seperti Turki Muda) yang pada akhirnya berhasil menghapus Islam itu sendiri. Sementara itu Afrika Utara masih diduduki penjajah selama ratusan tahun sejak jaman Napoleon. Gerakan Restorasi Khilafah yang penuh dengan pengorbanan pun sempat terjadi di India, tapi gagal menjadi pergerakan global.

Situasi saat itu dibentangkan oleh David Fromkin, Profesor dan ahli sejarah ekonomi University of Chicago dengan kata-katanya, “Massive amounts of the wealth of the old Ottoman Empire were now claimed by the victors. But one must remember that the Islamic empire had tried for centuries to conquer Christian Europe and the power brokers deciding the fate of those defeated people were naturally determined that these countries should never be able to organize and threaten Western interests again. With centuries of mercantilist experience, Britain and France created small, unstable states whose rulers needed their support to stay in power. The development and trade of these states were controlled and they were meant never again to be a threat to the West. These external powers then made contracts with their puppets to buy Arab resources cheaply, making the feudal elite enormously wealthy while leaving most citizens in poverty”[1]

“Kekayaan luarbiasa dari bekas Imperium Ottoman telah terampas oleh pemenang perang. Tapi jangan lupa, bahwa Imperium Islam berusaha selama berabad-abad untuk menundukkan Eropa (yang Kristen). Itu sebabnya para pemegang kekuasaan yang baru sudah selayaknya memastikan bahwa rakyat bekas Imperium Islam yang kini terkotak dalam berbagai negeri tidak boleh lagi bisa terorganisir kembali dan membuat ancaman terhadap kepentingan dan keamanan Eropa lagi. Sebagai aktor merkantilis, Inggris dan Perancis mengulang sejarah dengan membuat negeri-negeri boneka yang pemimpin-pemimpinnya selalu tergantung kepadanya untuk bisa mempertahankan kekuasaan. Kemajuan dan perdagangan negeri-negeri tersebut akan selalu dikontrol sehingga tidak akan pernah bisa bangkit dan menjelma menjadi ancaman yang berarti. Kekuatan asing membuat kontrak yang murah dengan penguasa boneka di tanah Arab, yang mengakibatkan timbulnya golongan feudal yang kaya raya dan golongan rakyat biasa yang terpuruk dalam kemiskinan.[1]”

Ketika dianalisa, negeri-negeri baru yang lahir dari serpihan Khilafah Uthmani adalah konstruksi artifisial yang tidak memiliki sistem yang konsisten dan terpadu (koheren). Kita cermati bahwa masyarakat muslim menjadi terpecah dalam menentukan nilai apa yang selayaknya menjadi dasar pembentukan masyarakatnya. Sebagian dari mereka tetap mengambil konsep Islam, sedang yang lain mengambil konsep Kapitalisme dan juga Nasionalisme. Malahan, masalah seperti kemiskinan, pengangguran, pembangunan, dan sengketa sosial laki-laki dan perempuan diselesaikan dengan kebudayaan setempat dan juga keputusan dari suku masing-masing. Itu sebabnya negeri-negeri boneka yang didirikan oleh bekas penjajahnya tidak akan mungkin maju, karena sumber pandangan hidupnya bermacam-macam dan tidak didasari oleh consensus yang disepakati bersama. Akhirnya, sumber daya alam dan manusianya pun tidak diatur dengan dasar dan langkah yang benar. Padahal tanpa dasar atau rujukan utama, negara tidak akan bergerak maju secara mantap ke depan.

Terlepas dari serangan dan tekanan kaum penjajah, umat muslim ternyata tidak begitu saja menerima kapitalisme sebagai dasar Negeri-negeri mereka. Hal ini terutama ketika ada aspek-aspek kapitalisme yang bertentangan secara gamblang terhadap aqidah Islam. Meskipun segala daya upaya Barat telah kerahkan untuk menyebarluaskan budaya asingnya di tanah muslim, seperti ide-ide kebebasan, umat islam tidak begitu saja menanggalkan sistem sosial yang berdasarkan Islam dan masih mempertahankan sentimen keislaman. Malahan secara keyakinan, umat islam masih mempertahankannya dan tidak mengadopsi akidah dialektika materialistis maupun akidah sekularisme. Maka bisa dinyatakan bahwa umumnya umat islam tidak meninggalkan pandangan hidupnya, meski pemahaman umat terhadap Islam itu sendiri juga masih bermasalah.

Di sisi lain, meskipun umat ini lemah dalam kemampuannya menggali konsep-konsep dan prinsip-prinsip Islam yang murni, umat islam umumnya rindu untuk hidup dibawah naungan Islam kembali. Ambil contoh, Turki, sebagai satu-satunya Negara yang menghapus Islam sama sekali dari konstitusinya. Mustafa Kemal Ataturk berusaha untuk menghancurkan Islam di Turki dan dia pikir rakyat Turki benci terhadap tradisi keislaman. Kenyataannya, hanya dalam kurun beberapa dekade saja, tekanan terhadap rezim Turki mulai menguat dan di tahun 1950, rezim tersebut mulai menggunakan sentimen keislaman untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Di tahun 1970, Turki memiliki politisi yang duduk di kabinet, Necmettin Erbakan, seorang individu yang sudah terkenal dengan latar belakang keislaman.

Selama 12 tahun terakhir, rakyat Turki memilih pemerintah yang ‘Pro Islam’ bukan cuma sekali, tapi justru dua kali. Ini membuktikan bahwa sentimen keIslaman masih membara di Turki. Tidak kurang Menteri Negara Amerika Madeleine Albright di tahun 1997 menyesalkan ‘kemunduran Turki dari sekularisme.’ Itu sebabnya dinas militer Turki selalu membersihkan jajarannya dari setiap individu yang memiliki pengaruh atau terpengaruh dengan semangat keIslaman. Jadi, rakyat Turki tidak pernah mengadopsi Kapitalisme, yang telah lama sekali mendominasi sistem politik Turki, dan justru sekarang bergerak menuju untuk kembali ke Islam – suatu fakta yang berbeda sejak 1924. Turki hanya baru satu dari banyak contoh lainnya. Pengaruh Islam di Aljazair sedemikian dahsyatnya hingga timbulnya kemenangan FIS. Demikian pula,karena cintanya dengan Islam, rakyat Afganistan mendirikan sistem Emirat, meski bukan Khilafah, yang didasarkan pada Islam.

Apa yang kita saksikan sekarang adalah reaksi muslim sebagai satu tubuh dalam menyikapi serangan yang menimpa saudara-saudaranya. Meskipun muslim di Palestina sendiri sedang terjajah, mereka tetap menyuarakan solidaritas mereka dengan kaum muslim lainnya di Afganistan dan Iraq. Muslim merasa muak dengan konsep ‘kebebasan berpendapat’, yang sering dikutip sebagai tameng dalam melawan Islam, sebagaimana terlihat dari penerbitan komik tentang Nabi Muhammad Saw di Eropa.

Pertanyaannya, kalau nilai-nilai yang didambakan umat Islam ini, berbeda dari nilai-nilai asing yang diterapkan padanya, mengapa umat ini terikat dengan nilai-nilai asing tersebut dan membiarkan para penguasanya menerapkan nilai-nilai asing itu juga? Jawabannya, para penguasa di negeri-negeri muslim tidak mendasarkan kekuasaan mereka pada hubungan yang dekat dengan rakyatnya, tetapi dengan kekejaman dan siksaan untuk mengontrol rakyatnya. Hal ini sudah sedemikian jelas dan sudah berjalan sekian lama tanpa perubahan.

Menjurangnya jarak antara Umat dengan Penguasanya

Kalau kita lihat sejarah dunia Muslim dan rezim yang menguasainya, kita bisa lihat tren yang menunjukkan naiknya ketegangan antara para penguasa dengan rakyatnya, dimana umat Islam memegang konsep dan sentimen yang berbeda dengan yang diambil dan diterapkan oleh para penguasa. Di Pakistan, Pervez Musharraf berusaha memperkenalkan budaya Barat dengan konsep ‘enlightened moderation’ (moderat yang tercerahkan), yang ternyata ditolak mentah-mentah. Kita juga lihat bagaimana Turki menolak kerjasama militer dengan AS yang di iming-imingi bantuan senilai 20 trilyun dolar menjelang pecahnya perang Teluk kedua, karena rakyat Turki melihat kerjasama tersebut akan digunakan untuk membunuh Muslim di Iraq. Kita juga lihat bagaimana usaha penguasa Muslim untuk menormalisasi hubungan dengan Israel selalu gagal.

Perbedaan jarak antara penguasa dan rakyatnya tidak terjadi satu abad yang lau, dimana Jamal Abdul Nasser (pemimpin Mesir di tahun 60an) didukung penuh oleh rakyatnya. Dia dianggap pahlawan Arab karena dia berani mengambil alih Kanal Suez dari Inggris dan melawan Israel. Rakyat muslim percaya bahwa Jamal Abdul Nasser mewakili mereka. Muslim juga menyanjung Yasser Arafat sebagai singa Islam, dan Arafat juga bisa memanipulasi ratusan ribu pemuda muslim untuk berjihad melawan penjajah Israel. Hingga akhir 1980an, rakyat muslim di negeri Teluk pun tidak terlalu peduli dengan apa yang dilakukan penguasanya seperti Raja Fahd dan penguasa negeri Teluk lainnya, karena kesejahteraan minyak dan dukungan serta pengaruh ulama Saudi. Hal yang sama juga terlihat di belahan dunia muslim lainnya. Relasi antara para penguasa dan rakyatnya selalu lemah, dan rakyat menjadi apatis karena banyak sekali faktor. Kelemahan ini sempat tertutupi dengan nasionalisme Arabisme dan ide-ide asing seperti Ba’athisme dan Sosialisme. Di negeri-negeri Teluk, kesejahteraan ekonomi menutupi kesenjangan antara penguasa dan rakyat, yang mulai berakhir sejak jatuhnya Komunisme.

Dengan jatuhnya komunisme di tahun 1990, Islam menjadi fokus baru karena potensinya untuk menghadang kemajuan Kapitalisme. Bekas Sekjen NATO, Willie Claes menyatakan, “The Alliance has placed Islam as a target for its hostility in place of the Soviet Union.” (NATO menjadikan Islam sebagai target karena ia biang permusuhan di negeri-negeri bekas Uni Sovyet). Muslim bagaimanapun mampu membentengi diri mereka dari serangan budaya dan mempertahankan Din mereka. Pertentangan ini menyebabkan runtuhnya peradaban Barat di benak kaum muslimin.

Kini, kehancuran Peradaban Barat melahirkan perlawanan terhadap Islam. Amerika mulai menyadari bahwa penjajahan kultural sudah gagal dan sekarang membutuhkan pendudukan militer secara langsung. Paul Wolfowitz berkata dalam konferensi pers di Singapura, “It’s true that our war against terrorism is a war against evil people, but it is also ultimately a battle for ideals as well as a battle of minds.”[2] (Memang betul bahwa perang kami kobarkan melawan teror adalah perang melawan orang jahat, tetapi juga adalah perang gagasan dan perang pemikiran)

Karena umat muslim menolak pandangan Barat tentang kehidupan, umat secara alami tentu berharap untuk kembali ke penataan kehidupan secara Islam. Sementara itu para penguasa justru menolak dan menerapkan budaya dan agenda Barat, maka tidak heran kalau antara Penguasa dan Rakyat terjadi pertentangan sudut pandang yang sangat bertolak belakang.

Peristiwa yang terjadi 20 tahun terakhir mulai membuka kedok para penguasa dan menyatukan umat secara luarbiasa. Sebelum perang teluk, umat muslim tidak menyadari kebencian Amerika terhadap Islam. Para pemikir dan ulama di dunia muslim pun tidak menyadari pengkhianatan para penguasa dan tidak melihat Barat sebagai musuh. Namun sejak pecahnya perang Teluk yang pertama, sebagai alasan untuk melawan invasi Iraq terhadap Kuwait, kebencian Amerika dan pengkhianatan penguasa menjadi jelas terlihat. Rezim penguasa negeri Teluk kehilangan legitimasinya, ketika membiarkan tentara Amerika memasuki wilayah mereka dengan membangun pangkalan militer di Hijaz. Demikian pula ulama Saudi yang mendukung keberadaan tentara Amerika juga kehilangan legitimasi mereka. Muslim mulai melihat kesenjangan antara mereka dengan penguasa.

Sekarang kita bisa lihat bagaimana para penguasa muslim terperangkap secara politik: antara kepatuhan untuk melayani kepentingan Barat dan Amerika, dan ketakutan untuk dilucuti kekuasaannya oleh rakyatnya sendiri. Mereka tidak berani mengirim pasukan melawan Iraq karena sentimen rakyat; mereka menyetujui perang Teluk meski mendongkol; dan mereka selalu hidup dalam ketakutan terhadap perubahan. Muslim di seluruh dunia menolak usaha Amerika dan melihatnya sebagai permusuhan yang sudah selayaknya dilawan. Mereka juga melihat Penguasanya dengan kebencian dan tidak ingin diperintah lagi sebagaimana terlihat dengan Pervez Musharraf di Pakistan.

Awal dari kejatuhan para pengkhianat

Perilaku para penguasa pengkhianat mulai menunjukkan tanda-tanda untuk menyelamatkan diri mereka masing-masing. Yasser Arafat memerintahkan penembakan terhadap rakyatnya sendiri ketika mereka mendukung Usama bin Laden melawan perang Amerika di Afganistan. Tentara Yordania menyeberang perbatasan dan membunuhi tentara Israel dalam fase Intifadah kedua. Hamid Karzai memaksa untuk menggunakan tentara Amerika sebagai satpam ketimbang menggunakan rakyatnya sendiri sehingga bisa lolos dari berbagai ancaman pembunuhan. Pervez Musharraf pun selalu memerintahkan untuk mengosongkan jalan sebelum dia melewatinya, karena khawatir akan dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Raja Abdullah dari Yordania memerintahkan kehancuran kota Ma’an karena penduduknya berani melawan pemerintah. Menteri Luar Negeri Mesir sempat dilempari sandal ketika ia memasuki masjid Al Aqsa di tahun 2005 seusai rapat dengan Israel. Dan jangan lupa, kita selalu melihat sandiwara OKI dan KTT Puncak Liga Arab, dimana para perwakilan negeri-negeri tersebut tampak ‘garang’ melawan Amerika agar rakyatnya menjadi gembira. Bahkan di tahun 2002 ada usaha kudeta yang dilakukan oleh perwira Pakistan dan Yaman, yang digagalkan oleh kedatangan tentara Amerika- suatu contoh yang tentu tidak suka didengar oleh para penguasa muslim.

Itu semua baru sedikit contoh yang menunjukkan mulai melemahnya kontrol kekuasaan yang dipegang para penguasa muslim. Maka para penguasa pun mulai menyadari bahwa mereka harus menerapkan apa yang rakyatnya dambakan, atau menghadapi perubahan. Ini pun juga disadari oleh Amerika dan Dunia.

Barat mempertahankan Ideologinya

Pengalaman sejarah Kapitalisme dalam mempertahankan eksistensi dan superioritasnya adalah dengan menetralisir pemikiran asing yang mengancamnya. Perang Dingin adalah contoh bagus. Pertahanan kapitalisme dilakukan dengan pembersihan politisi Amerika yang diduga merupakan simpatisan komunis yang dipimpin Senator McCarthy, propaganda anti komunis yang berlabel ‘red-scare’ (ancaman merah), dan persaingan penguasaan antariksa dan persenjataan. Inggris saat ini mempertahankan dirinya dengan memproduksi cerita bohong terhadap siapapun yang menentang ‘British Values’ (nilai-nilai Inggris) dengan melabelnya sebagai berbahaya, ekstrimis, radikal, fundamentalis, dan potensi teroris serta ancaman terhadap negara. Maka negara-negara Barat tidak segan untuk mentargetkan komunitas muslim rakyatnya dengan menyadap telpon, memonitor tingkah laku dan latar belakangnya, dan memenjarakan mereka meski hanya dengan dugaan bahkan ketika tidak terbukti melakukan kasus kriminalitas.

Perang Afganistan dan Iraq membuktikan kepada para pemikir bahwa Kapitalisme tidak mengakar di dunia Muslim, malahan cerita disambutnya serdadu AS oleh rakyat Iraq adalah cerita yang dibuat-buat oleh mesin propaganda AS sendiri. Maka bukan kebetulan apabila target utama ‘perang melawan teror’ adalah negeri-negeri dimana islam dipeluk oleh mayoritas penduduk dan menjadi dasar atas pemerintahan Islam masa depan, disamping itu juga merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam seperti gas dan minyak bumi.

Bukan juga suatu kebetulan, dimana dokumen Pentagon, Quadrennial Review terbitan tahun 2002 dan 2006, menjadikan muslim, negeri-negeri muslim, dan Islam dalam berbagai corak dan bentuknya adalah ancaman terhadap keamanan AS. Pejabat teras AS sendiri juga percaya bahwa ancaman ideologis terhadap supremasi Kapitalisme adalah ‘Islam yang terpolitisir’, dan AS serta sekutunya tidak bisa tinggal diam dan membiarkan umat muslim dunia merealisasikan tujuan politiknya dengan membangun Khilafah.

Maka, pembuat kebijakan politik senior seperti George W Bush ‘memperingatkan’ konsekuensi dari pembentukan kembali Khilafah. Bush dalam pidato kenegaraan bulan Oktober 2005 berkata, “The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.” (Kaum militan yakin bahwa dengan menguasai satu negara, ia mampu mengajak dan meraih dukungan seluruh umat muslim, menumbangkan rezim moderat, dan membentuk imperium radikal yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia).

Donald Rumsfeld, dalam invasi ke Iraq pun mengkonfirmasi, ”Iraq would serve as the base of a new Islamic Caliphate to extend throughout the Middle East and which would threaten the legitimate governments in Europe, Africa, and Asia. This is their plan. They have said so. We make a terrible mistake if we fail to listen and learn. It is for these reasons America has imposed a Viceroy of the Middle East because the Muslim rulers cannot be propped up by an outside force for much longer.” (Iraq akan menjadi pusat kekhilafahan Islam yang baru, yang akan menjadi ancaman terhadap pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Ini adalah rencana mereka. Mereka telah menyatakannya. Kita akan melakukan kesalahan fatal apabila kita gagal untuk gagal untuk belajar dan membuka kuping kita lebar-lebar. Inilah alasannya, Amerika telah menetapkan perwakilan tetap di Timur Tengah karena penguasa muslim sendiri tidak bisa didukung selamanya oleh kekuatan asing)

Umat Muslim kini siap untuk berubah, ia tolak pandangan Kapitalis, dan ingin hidup dibawah bendera Islam dalam lingkup negara dan masyarakat. Perasaannya telah menyatu dengan Islam dan terbukti ketika Barat menyerang Islam. Muslim di dunia tidak lagi melihat para penguasanya tidak lagi mewakili aspirasi mereka; bahkan jurang antara umat dan pemimpin semakin dalam. Kenyataan dan gejolak dunia yang terjadi sekarang, pada akhirnya akan mengarah pada perubahan kepemimpinan yang mewakili aspirasi umat itu sendiri. Fakta perubahan dan pengalaman sejarah mengatakan bahwa kita berdiri di ambang perubahan.

Apa yang memberikan motivasi kepada mereka yang akan menggerakkan terjadinya perubahan ini hingga rela bekerja secara ekstra keras, tidak lain adalah perasaan umat secara keseluruhan, dimana ia adalah sumber dukungan dan faktor penguat kepercayaan diri. Di dunia muslim, mereka adalah anggota jajaran angkatan bersenjatanya. Kita bisa lihat kudeta yang telah terjadi berkali-kali yang dipimpin oleh para perwira yang mendambakan perubahan. Pakistan, Qatar, Tunisia, Iraq, dan Afghanistan adalah contoh negeri-negeri yang para perwiranya dan tokoh-tokoh masyarakatnya yang berpengaruh telah mencoba untuk merubah kepemimpinan dalam waktu 12 tahun terakhir.

Berbagai cara dan usaha yang Barat tempuh untuk memecah belah Umat dan mereformasi Islam sehingga bisa menghentikan hembusan angin perubahan adalah bukti yang tidak terbantahkan di benak setiap muslim bahwa Kapitalisme sedang menguras seluruh daya dan upaya serta berjuang mati-matian mempertahankan dirinya. Di Barat, para politisi dan pemikir secara terbuka berani menghujat Islam; menyerang sisi politik dari Islam yang akan mengarah kepada sistem pemerintahan. Badan intelijen AS pun memperkirakan jangka waktu yang lama untuk menduduki dunia muslim dan menyiapkan mobilisasi kekuatan militer cepat tanggap (rapid mobile deployment forces). Tindakan dan rencana seperti ini menguatkan sinyalemen Nabi Muhammad saaw dalam hadith yang berbunyi:

“Ada kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada kekhalifahan berdasarkan tuntunan Nabi, maka dengan kehendak Allah, ia pun akan tetap ada, lalu Dia mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa yang zalim, maka dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian ada penguasa diktator, maka dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia pun mencabutnya, jika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada khilafah berdasarkan tuntunan Nabi. Lalu, beliau pun diam.” (Musnad Imam Ahmad (v/273)) [Rusydan/KCom/Syabab.Com]

ICW: Ada Tiga Nama Penghilang Ayat Tembakau

BANDAR LAMPUNG, TRIBUN -- Indonesia Corruption Watch (ICW) akan melaporkan sejumlah nama yang diindikasikan terlibat dalam penghilangan ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan DPR.

"Ada tiga nama yang kami kantongi, dari unsur legislatif dan eksekutif, yang terindikasi secara sengaja malakukan penghilangan ayat itu dan akan kami laporkan mulai Senin (19/10)," kata Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan, di Bandar Lampung, Minggu (18/10).

ICW akan melaporkan ketiga nama tersebut masing-masing kepada Badan Kehormatan DPR, Mabes Polri, dan KPK karena melihat adanya penghilangan secara bersama-sama oleh sejumlah pihak dengan konspirasi tertentu.

"Motivasinya sudah jelas, yaitu uang, dan kami melihat penghilangan ayat tentang tembakau ini jelas mengarah kepada unsur kesengajaan," kata dia.

Ade berharap, pemerintah dan lembaga terkait harus membongkar dan menyelesaikan penghilangan ayat tersebut melalui jalur hukum. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum ke depan.

"Ini adalah sebuah konspirasi, siapa pun tidak bisa seenaknya melakukan penghilangan ayat dalam undang-undang, karena itu harus diusut tuntas," kata Ade Irawan.

Sesuai tatib DPR, UU Kesehatan dinyatakan selesai setelah pembahasan tingkat dua atau paripurna pengesahan sehingga tindakan perubahan, penambahan atau penghilangan pasal dan ayat di luar rapat paripurna merupakan tindakan ilegal.

Berdasar data yang terkumpul, hasil paripurna Pasal 113 UU tentang Kesehatan berisi tiga ayat, tetapi saat pengiriman kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan ternyata pasal itu hanya berisi dua ayat, dan Ayat 2 yang ikut disahkan paripurna ternyata hilang.

Penghapusan tersebut dilakukan tidak cermat dan tidak diikuti penghapusan pasal demi pasal. Dengan demikian, UU Kesehatan Pasal 113 yang berisi dua ayat masih memiliki tiga ayat penjelasan karena penjelasan dari Ayat 2 masih tetap ada dan tidak ikut dihapus.

Ayat yang dihapuskan itu berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya".(*)

“Misi” SBY di Balik Pilihan Demokrat Kuasai Komisi III


Dipilihnya Komisi III oleh Demokrat dalam pembagian jatah komisi tidaklah mengejutkan. Komisi yang menangani persoalan hukum, perundang-undangan, HAM, dan keamanan ini dinilai sangat sesuai dengan “misi” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melegalisasikan kekuasaannya.

Hal ini disampaikan pengamat politik Yudi Latif seusai diskusi di Gedung DPD, Rabu (14/10), menanggapi jatah komisi-komisi “basah” yang diperoleh Demokrat. “Kelihatannya, SBY ingin mempertahankan kekuasaannya berdasarkan kerangka legal. Oleh karena itu, mekanismenya harus berbasis legal dan dia pikir itu (Komisi III) yang perlu dia amankan,” ungkap Yudi.

Menurutnya, komisi hukum merupakan salah satu komisi strategis yang menangani konstitusi. Komisi ini dinilai sebagai pintu masuk berbagai kebijakan yang bisa menguntungkan dan merugikan pemerintah.

Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat Anas Urbaningrum sebelumnya mengatakan memilih Komisi III karena bercita-cita untuk konsisten meneruskan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. (kompas.com, 14/10/2009)

Koreksi Penting Untuk Pemerintahan Baru

Eep Saefulloh Fatah, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam kolom Analisis Politik Koran Kompas, ( 18/8) menulis tentang potensi kekeliruan pemerintah baru SBY ke depan. Menurutnya potensi kekeliruan dibentuk oleh sikap akomodatif Yudhoyono yang berlebihan. Mengakomodasi semua (23) partai peserta resmi koalisi penyokongnya ke dalam kabinet dan/atau pos-pos pemerintahan lainnya bisa mengabaikan kompetensi mereka. Termasuk berpotensi membatasi kemungkinan terbentuknya kabinet yang kompeten, profesional, dan punya integritas.

Potensi kekeliruan berikutnya dibentuk oleh cenderung lemahnya kepemimpinan Yudhoyono. Pertama, menjalankan politik balas budi secara berlebihan sebagaimana terlihat sejak 2004. Politik balas budi berlebihan telah terbukti meningkatkan kerepotan selama lima tahun terakhir. Kedua, tak bersikap tegas terhadap kasus-kasus konflik kepentingan dalam pemerintahannya sehingga membatasi efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Contoh terbaik soal ini adalah berlarut-larutnya penyelesaian lumpur di Sidoarjo. Ketiga, mengelola pemerintahan yang terlampau hati-hati, lamban, dan konservatif. Jangan lupa, SBY-Boediono cenderung satu karakter, tidak saling komplementer sebagaimana SBY-Kalla. Keduanya berpotensi menjadi rem (bukan rem dan gas) dan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan yang kurang sigap.

Analisis diatas cukup menarik. Namun yang sering dilupkan kalaupun potensi kekeliruan diatas bisa ditangani, pemerintah baru tetap akan berjalan atas dasar Sekuler-Kapitalisme . Justru inilah pangkal kekeliruan terbesar dari pemerintahan baru SBY. Ideologi Kapitalisme telah terbukti gagal selama ini untuk mensejahterakan rakyat dan membangun stabilitas politik yang mapan.

Kebijakan ekonomi Kapitalisme yang liberal yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan SBY atau yang sebelumnya justru semakin menambah penderitaan rakyat dan gagal menuntaskan kemiskinan. Meskipun jumlah kemiskinan diklaim menurun namun jumlahnya tetap puluhan juta , angka yang sangat besar . Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia jumlah penduduk miskin selama Maret 2009 turun 14,15 persen atau 2,43 juta jiwa, menjadi 32,53 juta jiwa.

Padahal didepan mata Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa yang seharusnya bisa digunakan untuk menuntaskan kemiskinan. Waktu lima tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mentuntaskan kemiskinan. Kapitalisme juga telah memberikan jalan bagi negara imperialis untuk mengobok-obok kekayaan alam Indonesia.

Ekonomi kapitalis terbukti lebih memihak kepada pemilik modal. Kasus bailout Bank Century memperkuat anggapan ini. Dengan alasan menyelamatkan Bank Century, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 triliun . Padahal, besaran injeksi dana yang diajukan ke DPR sebelumnya hanya Rp 1,3 triliun. Wapres Yusuf Kalla melah dengan tegas-tegas menyatakan ini adalah perampokan.

Tidak hanya itu menurut Drajat Wibowo pengamat ekonomi yang juga anggota DPR menduga pascapenyuntikan Century, LPS akan merugi.Dengan nilai ekuitas sekarang yang Rp 500 miliar, jika dijual dua tahun ke depan, Century hanya laku Rp 1,5-Rp 2 triliun. Setelah disuntik modal, harus ada divestasi setelah tiga tahun. Mungkin kerugiannya Rp 4-Rp 5 triliun. Bailout Century berpotensi menjadi BLBI jilid II ketika terjadi perampokan uang negara untuk kepentingan pemilik modal yang membebani rakyat hingga Rp 650 triliun.

Melanjutkan ideology capitalism bukan hanya pangkal kekeliruan tapi menjadi dosa besar pemerintah baru. Menerapkan ideology kapitalisme disamping merugikan rakyat, menghancurkan negara juga merupakan kemaksiatan yang terbesar karena berhukum pada hukum kufur. Padahal Allah SWT telah memerintahkan untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh.

Penerapan syariah Islam juga secara praktis akan menghentikan kemiskinan meluas ditengah masyarakat. Politik ekonomi syariah yang mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat (sandang,pangan, dan papan) akan menjamin kesejahteraan rakyat disamping pendidikan dan kesehatan gratis.

Hasil kekayaan alam yang melimpah dari tambang emas, perak, minyak, gas akan digunakan untuk kepentingan rakyat, karena berdasarkan syariah Islam merupakan pemilikan umum (al milkiyah al ‘amah) yang wajib dikelola negara dengan baik untuk kemashlahatan rakyat. Kebijakan ini akan menghentikan penjajahan negara-negara kapitalis di Indonesia.

Penerapan syariah Islam akan menghentikan terror terhadap umat Islam atas nama perang melawan terorisme. Perang melawan terorisme ala AS ini telah menjadikan Islam dan umat Islam sebagai obyek. Mulai dari stigma negative terhadap syariah Islam dan symbol-simbol Islam sampai pengawasan dakwah. Siapapun yang diberikan label sebagai teroris kemudian diperlakukan seenaknya oleh aparat, padahal belum terbukti atau ada kemungkinan keliru dalam penangkapan.

Berdasarkan syariah Islam tidak boleh ada hubungan apapun (ekonomi, politik, maupun militer) dengan negara imperialis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Status mereka adalah muhariban fi’lan karena telah memerangi secara langsung umat Islam dan membunuh umat Islam di berbagai kawasan dunia. Memutus hubungan dengan negara teroris ini akan menghentikan terorisme. Karena Amerika Serikatlah yang diduga keras menjadi mastermind dari berbagai tindak terror di dunia Islam .

Walhasil kalau pemerintahan baru benar-benar ingin berpihak kepada rakyat, ideology kapitalisme harus ditinggalkan dan diganti dengan syariah Islam. Dengan syariah Islam, Allah SWT telah menjamin kita akan meraih keselamatan dan barakoh di dunia dan diakhirat.

Selasa, 09 Juni 2009

SUKSESI DAMAI MENUJU KEKUASAAN ISLAM

Ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan; bagaimana suksesi kekuasaan dalam pemerintahan demokrasi terjadi secara legal dan bagaimana cara meraih tampuk kekuasaan dalam sistem demokrasi?; barangkali banyak orang bisa menjawabnya. Dan jawaban mereka selalu; suksesi kekuasaan terjadi melalui mekanisme pemilihan umum, dan jika seseorang ingin meraih kekuasaan, maka ia harus menerjunkan diri dalam pemilu legislatif dan eksekutif (pilpres). Artinya, secara legal formal, suksesi kekuasaan harus terjadi melalui saluran pemilu dan parlemen. Atas dasar itu, siapa saja yang ingin meraih kekuasaan (baik eksekutif dan legislatif), maka ia harus masuk dalam mekanisme pemilu dan parlemen.

Namun, ketika seseorang ditanya; bagaimana suksesi kekuasaan terjadi dalam Islam dan bagaimana mekanisme meraih tampuk kekuasaan menurut Islam; banyak orang yang tidak bisa menjawabnya dengan jawaban yang benar. Bahkan, mereka menyatakan bahwa kekuasaan Islam tidak mungkin bisa tegak, jika kaum Muslim tidak mengikuti mekanisme suksesi kekuasaan ala sistem demokrasi. Mereka bersikukuh dengan sebuah pendapat bahwa untuk menegakkan kekuasaan Islam, kaum Muslim harus berjuang melalui saluran-saluran suksesi yang sah dan demokratis, yakni terjun dalam pemilu dan parlemen; serta musyarakah dengan pemerintahan kufur. Sedangkan perjuangan di luar parlemen dan musyarakah, dianggap sebagai jalan ilegal, bahkan selalu diopinikan berdarah-darah, seram, dan menakutkan.

Lantas, bagaimana cara menegakkan kekuasaan Islam dalam sebuah masyarakat dan negara yang menerapkan demokrasi? Apakah perjuangan menegakkan kekuasaan Islam harus ditempuh melalui saluran demokrasi (pemilu dan parlemen)?

Filosofi Mengambil Alih Kepemimpinan Umat

Penerapan syari’at Islam secara sempurna dan menyeluruh hanya akan terwujud jika partai politik berhasil mendapatkan pelimpahan kekuasaan dari rakyat. Ini bisa dimengerti karena, kekuasaan merupakan syarat mutlak untuk menerapkan syari’ah Islam. Selain itu, kekuasaan juga dibutuhkan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam yang akan mengatur seluruh urusan rakyat dengan syari’at Islam. Tanpa kekuasaan, penerapan syari’at Islam dalam kehidupan negara dan masyarakat adalah kemustahilan. Atas dasar itu, kekuasaan merupakan prasyarat menuju terbentuknya pemerintahan dan penerapan syari’at Islam.

Atas dasar itu, seluruh partai politik Islam harus memfokuskan dirinya untuk meraih kekuasaan dari tangan rakyat. Sebab, kekuasaan adalah milik rakyat. Rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Ketika rakyat telah menyerahkan kekuasaannya kepada sebuah partai politik, maka partai politik tersebut telah berhasil memiliki kekuasaan (wewenang) untuk mengatur urusan rakyat. Pada saat yang sama, partai politik tersebut akan didukung oleh rakyat dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya.

Sebuah partai politik akan mendapatkan dukungan dari rakyat ketika pemikiran-pemikiran, standarisasi-standarisasi, dan tata nilai partai politik telah dimengerti dan disetujui oleh rakyat. Ketika pemikiran, standarisasi, dan tata nilai yang diemban oleh partai politik sejalan dengan pemikiran, standarisasi, dan tata nilai rakyat maka, partai politik pasti akan mendapatkan dukungan dari rakyat. Pada saat partai politik mendapatkan dukungan rakyat, tentu saja ia akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari rakyat. Dalam kondisi semacam ini, partai politik dianggap telah berhasil meraih kekuasaan dari rakyat.

Sebuah negara baru akan lahir jika masyarakat telah mengadopsi pemahaman, standarisasi, dan tata nilai baru. Sebab, tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan). Sedangkan kepercayaan (trust) adalah dasar terbentuknya sebuah kekuasaan (negara). Jika kepercayaan kepada pemahaman, standarisasi dan tata nilai baru tumbuh di tengah-tengah masyarakat, maka rakyat pasti akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang membawa pemikiran, standarisasi, dan tata nilai tersebut.

Atas dasar itu, jika kita hendak membangun pemerintahan Islam langkah pertama adalah dengan jalan merebut kepercayaan umat. Kepercayaan umat akan didapatkan ketika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam telah menyatu pada rakyat. Dengan demikian meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara menanamkan pemahaman, standarisasi, dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat, hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu dengan partai.

Sayangnya, pemahaman mayoritas rakyat Islam tentang syari’at Islam sangatlah minim. Bahkan, mereka hampir-hampir tidak lagi mengenal Islam, kecuali sekedar dari simbol-simbol dan praktek-praktek ritualnya. Dalam kondisi seperti ini, perjuangan partai politik Islam untuk menyakinkan rakyat agar mereka mau menyerahkan kekuasaannya kepada partai politik Islam menjadi sangat berat. Sebab, rakyat belum menyatu dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Padahal tiga hal ini merupakan dasar bagi terbentuknya sebuah kepercayaan. Sedangkan kepercayaan umat merupakan pintu gerbang untuk mendapatkan sebuah kekuasaan.

Atas dasar itu, tugas utama partai politik Islam adalah menyadarkan umat dengan syari’at Islam. Selain melakukan propaganda-propaganda tentang Islam, partai politik harus melibatkan diri dalam proses penyadaran umat terhadap pemahaman, standarisasi dan tata nilai Islam. Sebab, hanya dengan cara inilah umat akan percaya kepada partai politik Islam dan kekuasaan bisa diraih.

Diagram di bawah ini adalah gambaran bagaimana struktur kekuasaan (negara) terbentuk, dasar pembentuk kekuasaan, dan posisi partai politik Islam dalam mengambilalih kekuasaan.

Struktur Dan Pengambilalihan Kekuasaan

Kekuasaan (negara) terbentuk dari trust (kepercayaan/social contract). Sedangkan trust terbentuk dari pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Perubahan kekuasaan ditentukan oleh perubahan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai. Jika pemahaman, standarisasi, dan tata nilai kufur sudah berganti menjadi menjadi islamiy, maka kekuasaan (negara) akan berubah.

Atas dasar itu, perubahan kekuasaan di manapun harus dimulai dengan cara mengubah pemahaman, standarisasi, dan tata nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat. Bila semesta pembicaraan adalah perubahan masyarakat tidak Islam menjadi masyarakat Islam, maka menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam merupakan sebuah kemestian.

Untuk itu, konsens partai politik Islam harusnya diarahkan untuk membentuk pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam. Sebab, dengan cara inilah trust sekuleristik bisa dihancurkan. Ketika trust telah hancur, maka rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam; dan pada saat itu muncullah kekuasaan Islam. Akan tetapi, selama proses edukasi umat dengan pemahaman, standarisasi, dan tata nilai Islam tidak dijalankan, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan (trust) dari rakyat.

Inilah dasar-dasar peralihan sebuah kekuasaan atau negara. Fakta perubahan kekuasaan semacam ini merupakan hasil kajian terhadap fakta dan sebab-sebab perubahan sebuah kekuasaan (negara) di manapun adanya.

Manhaj Rasulullah Dalam Meraih Kekuasaan

Meraih kekuasaan dari tangan umat adalah thariqah untuk menerapkan syari’ah Islam. Akan tetapi, cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj (metode) yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw.

Di bawah ini adalah prinsip-prinsip dakwah Rasulullah Saw untuk mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islamiy.

Perjuangan harus dilakukan secara kolektif (amal jama’i) bukan individual. Perjuangan semacam ini bisa dituangkan dengan cara membentuk harakah, partai, maupun jama’ah yang bersendikan ‘aqidah Islam.

Ini didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para shahabat. Beliau Saw dan para shahabat merupakan gambaran factual sebuah perjuangan kolektif.

Rasulullah Saw berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) shahabat yang memimpin para shahabat untuk meruntuhkan rejim kufur saat itu.[1]

Di sisi lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, akan tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaedah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Menegakkan sistem Islam adalah kewajiban yang tidak mungkin dipikul oleh gerakan individual, akan tetapi harus diemban oleh sebuah kelompok. Walhasil, adanya kelompok merupakan keniscayaan bagi berhasilnya perjuangan menegakkan sistem Islam.

Kelompok tersebut melakukan pembinaan (halaqah) anggota-anggotanya dengan tsaqafah Islam, selanjutnya melakukan interaksi dengan masyarakat. Ini ditujukan agar anggota kelompok tersebut memahami visi dan misi perjuangan, dan agar mereka melebur dengan ‘aqidah dan tsaqafah Islam. Namun, kelompok tidak hanya melakukan pembinaan untuk anggota-anggotanya saja, akan tetapi ia harus membina umat agar umat memahami Islam dan mau mendukung perjuangan untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam.

Dengan kata lain, partai Islam harus berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, yang dimulai dari (1) fase pembinaan, (2) fase berinteraksi dengan masyarakat, (3) fase mengambil alih kekuasaan melalui umat.

Rasulullah Saw membina para shahabat di rumah Arqam. Beliau juga melakukan halaqah di tempat-tempat yang telah ditentukan. Pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada diri shahabat. Tidak hanya itu, pembinaan yang dilakukan oleh beliau Saw juga ditujukan agar para shahabat mampu mendakwahkan Islam kepada masyarakatnya.

Beliau dan para shabahat tidak henti-hentinya menyerang kebusukan ‘aqidah-‘aqidah dan pranata jahiliyyah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beliau dan para shahabat sering menyinggahi pasar-pasar, baitullah, dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat.

Partai politik Islam harus mempersiapkan pemikiran dan metode untuk menerapkan pemikiran tersebut kepada masyarakat sedetail dan serinci mungkin. Kelompok Islam tidak boleh hanya berbekal semangat belaka untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat.

Kelompok Islam harus bisa menggambarkan secara detail dan rinci bagaimana sistem pemerintahan, peradilan, politik luar negeri dan dalam negeri, sistem ekonomi, sistem hubungan social Islamiy dan lain-lain. Bahkan ia harus sudah mempersiapkan konstitusi Islam yang menggambarkan sistem Islam secara utuh.

Partai atau kelompok tersebut hanya mendakwahkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari ‘aqidah dan hukum Islam. Partai tidak akan menerima pemikiran-pemikiran yang sudah disusupi oleh ideologi-ideologi, pranata, maupun tata nilai yang bertentangan dengan Islam. Partai politik Islam juga tidak boleh tunduk dengan syarat-syarat yang tidak Islam; misalnya syarat bahwa partai harus mengakui paham-paham kufur, atau tidak boleh mengubah sistem yang ada dengan sistem Islam.

Al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh. Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Dalam menafsirkan ayat ini Imam Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari’at Islam, mengerjakan seluruh perintahNya serta meninggalkan seluruh laranganNya, selagi mereka mampu.”[2]

Sedangkan Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi dalam kitabnya Madarik at-Tanziil wa Haqâiq at-Ta’wil, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah diri dan ta’at (al-istislaam wa al-tha’ah), yakni berserah diri kepadaNya dan ta’at kepada Allah atau Islam[3].

Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan memuliakan hari Sabtu sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian dijawab oleh Allah dengan ayat di atas.[4] Selanjutnya Imam ath-Thabari menyatakan bahwa ta’wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang Mu’min untuk menolak semua perkara yang tidak lahir dari hukum Islam. Ayat ini juga memerintahkan kaum Muslim agar melaksanakan semua syari’at Islam dan melarang kaum Muslim untuk melenyapkan hukum-hukum Islam meskipun sebagian hukum saja.[5]

Inilah prinsip-prinsip dasar dalam memperjuangkan penerapan Islam di tengah-tengah kehidupan. Masalah ini harus dijadikan fokus perhatian oleh setiap gerakan Islam yang ingin berdakwah sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw. Sungguh, apabila partai politik-partai politik Islam memperjuangkan Islam sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, tentu mereka akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Sebaliknya, jika mereka tidak berjuang sejalan dengan manhaj dakwah Rasulullah Saw, mereka akan menuai kegagalan.

Dari seluruh penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa pemilu dan parlemen sekarang ini bukan jalan syar’i untuk memperjuangkan penerapan syari’at Islam. Akan tetapi, jalan syar’i untuk melakukan perubahan masyarakat adalah manhaj dakwah Rasulullah Saw. Wallahu al-Hadiy al-Muwaffiq ila Aqwam al-Thariq. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy –Lajnah Tsaqafiyyah HTI).


[1] Lihat Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyyah, hal. 13-14.

[2] Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhim, jld. I, hal. 247.

[3] Imam An Nasafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil,juz 1, hal. 105

[4] Imam ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsîr al-Qur’an, jld. II, hal. 337.

[5] Ibid, hal. 337.

Politisasi Agama

Isu kerudung istri capres dan cawapres segera menyulut perdebatan tentang politisasi agama. Isu ini digunakan untuk menyerang kesolehan lawan politik. Terutama berkembang di kalangan kaum santri di perkotaan maupun daerah pinggiran.Di sisi lain, penggunaan isu kerudung dan agama dianggap sebagai politisasi agama yang berbahaya karena mengancam Negara dan pluralitas, sikap sekterian dan eksklusif.

Kita tentu tidak setuju kalau agama hanya digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan pemilu. Apalagi kemudian setelah menang pemilu, agama ditinggalkan seperti yang selama ini terjadi. Elit-elit politik cendrung mendadak Islami menjelang pemilu. Mulai dari pakai kopiah – meskipun tidak selalu mencerminkan Islam-, sholat jum’at , sampai kunjungan ke pesantren dan majelis ta’lim. Setelah menang pemilu, wassalam.

Tentu juga sangat naïf, kalau penggunaan kerudung atau kesolehan individual para elit politik dijadikan satu-satunya dasar untuk pilihan politik. Kesolehan ritual para elit sangat penting , namun tidaklah cukup untuk menyelesaikan masalah bangsa dan Negara ini. Sebab, masalah bangsa dan Negara adalah persoalan system, yakni diterapkannya system kapitalisme. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara ini.

Kita membutuhkan bukan sekedar pemimpin yang soleh secara ritual. Tapi pemimpin yang mau mencampakkan ideology dan system kapitalisme menggantikannya dengan penerapan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Sekali lagi bukan berarti pemimpin yang sholeh secara ritual tidak baik, tapi tidak cukup.

Masalah system harus juga diselesaikan secara system. Di sinilah relevansi institusi Khilafah yang akan melegalkan penerapan syariah Islam dalam segenapa aspek kehidupan.Kita membutuhkan penerapan syariah Islam yang bukan sekedar simbol, tapi bukan berarti kita menolak symbol-simbol Islam. Kita membutuhkan symbol Islam sekaligus penerapan syariah Islam sejati yang menyeluruh .

Disisi lain kita juga mengecam sikap alergi syariah (syariahphobia) para elit sekuler. Tudingan serampangan, bahwa setiap penggunaan syariah Islam berarti politisasi agama adalah murahan. Menyempitkan agama dengan menganggap itu persoalan pribadi adalah keliru besar. Apalagi kalau itu ditujukan kepada Islam. Sebab syariah Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, politik, pendidikan dan aspek social lainnya. Pem’bonsai’an agama yang dilakukan para sekuleris justru membuat agama mandul untuk menyelesaikan persoalan masyarakat.

Sekali lagi kita perlu menegaskan Negara ini hancur justru karena diterapkan ideology kapitalisme sekuler dan dicampakkannya syariah Islam. Syariah Islam berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna, mustahil mencelakakan manusia. Penerapan syariah Islam akan menyelamatkan bangsa dan Negara ini. Imam Al Ghozali telah mengingatkan kita dalam kitabnya Al Iqtishod fil I’tiqod tentang pentingnya agama menjadi asas bermasyarakat dan Negara sebagai pilar yang menjaga masyarakat dan agama.

Termasuk tudingan bahwa syariah Islam mengancam pluritas adalah kebohongan. Islam mengakui realita ada perbedaan suku, ras , warna kulit ditengah masyarakat untuk saling kenal mengenal (ta’aruf). Yang diharamkan Islam adalah ketika suku,ras, dan atau kebangsaan, menjadi ikatan tertinggi dan termulia yang menjadi dasar yang menyatukan. Apalagi kalau kemulian diukur berdasarkan suku, ras, atau kebangsaan.

Manusia akan terkotak-kotak kalau ini terjadi. Ini juga akan mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam. Sebab ikatan yang paling mulia dan tertinggi adalah hablullah (tali Allah) yakni Al Qur’an. Atas dasar ikatan aqidah ini, Islam menyatukan manusia diseluruh dunia lintas bangsa, ras, dan warna kulit. Dalam Islam, ukuran kemulian seseorang dan sebuah bangsa adalah ketaqwaannya kepada Allah SWT, apakah menjalankan aturan Allah SWT atau tidak. Siapapun bisa menjadi taqwa tidak peduli bangsa, warna kulit, atau jenis kelamin.

Secara historis terbukti khilafah Islam menjadi Negara adi daya yang menyatukan berbagai ras, warna kulit, bangsa, suku, termasuk berbagai agama. Islam tersebar ke berbagai kawasan dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Eropa hingga ke Asia. Pengakuan jujur tampak dari pernyataan Carleton, menurutnya : Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adi daya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya , dengan perbedaan kepercayaan dan suku (Carleton : “ Technology, Business, and Our Way of Life: What Next)

Syariah Islam juga bukan hanya untuk kebaikan muslim. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Kalau syariah Islam diterapkan akan memberikan kebaikan bukan hanya kepada muslim tapi non muslim. Jaminan kebutuhan pokok perindividu berlaku juga bagi non muslim. Termasuk jaminan pendidikan gratis, kesehatan gratis dan keamanan.

Terakhir, pantas kita menyimak T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam yang menyatakan: “Kala Konstantinopel dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.” (Farid Wajdi)

Menuju Mahasiswa Muslim Sukses


Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
Publikasi 09/04/2004

hayatulislam.net - Pengantar

Sukses dapat diartikan sebagai keadaan tercapainya tujuan atau cita-cita. Lawannya adalah gagal, yaitu keadaan tidak tercapainya suatu tujuan atau cita-cita. Sukses di sini masih memiliki arti umum, dalam arti bisa bernilai benar atau salah, tergantung pada pandangan hidup yang mendasari perumusan tujuan dan standar yang digunakan untuk menilai suatu kesuksesan dan kegagalan.
Seorang perampok misalnya, dapat dikatakan sukses bila dia berhasil merampok barang yang telah ditargetkannya. Sementara seorang petani, dikatakan sukses bila berhasil melakukan panen dengan hasil yang sesuai dengan harapannya. Jadi, “sukses” tidak selamanya identik dengan “benar”. Bisa saja seseorang merasa sukses, namun sebenarnya dia tidak berada di atas kebenaran. Dengan kata lain, hakikatnya dia telah gagal.Yang harus dicari adalah kesuksesan yang sejati, yaitu kesuksesan yang berada dalam jalur kebenaran. Ini hanya terwujud bila seseorang mencapai suatu tujuan yang didasarkan pada pandangan hidup dan standar yang benar. Dan di samping itu, kesuksesan itu harus diraih dengan cara yang benar pula, bukan dengan sembarang cara. Kesuksesan yang diraih lewat jalan yang tidak benar, sebenarnya adalah kesuksesan yang semu dan palsu, bukan kesuksesan yang hakiki.

Demikian pula kiranya dengan dunia mahasiswa. Tatkala seseorang ingin menjadi mahasiswa yang sukses dalam kuliahnya, maka pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah, apa tujuan dari kuliahnya? Standar-standar serta indikator-indikator apa yang dipakai untuk mengukur tercapainya tujuan itu? Apakah tujuan itu sudah didasarkan pada pandangan hidup yang benar?

Antara Fakta Dan Idealita

Dunia saat ini –termasuk Dunia Islam-- dicengkeram oleh ideologi kapitalisme, yang berasaskan ide sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan termasuk juga pendidikan, akan terwarnai dan terpola oleh ideologi asing tersebut. Dalam sebuah sistem kehidupan yang menerapkan atau terpengaruh dengan ideologi ini, sistem pendidikan akan senantiasa bersifat sekuleristik. Pendidikan tidak akan memberikan ruang yang cukup bagi agama, sebab agama bukanlah sesuatu yang penting dalam kehidupan. Agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan Tuhan, sementara hubungan manusia dengan manusia lainnya, seperti aspek politik, ekonomi, budaya, tidaklah diatur oleh agama.

Karena itu, dapat dilihat bahwa out put sistem pendidikan seperti ini, hanya akan menjadi manusia yang pandai dalam ilmu pengetahuan, namun dangkal dalam pemahaman agama. Para alumnus sistem ini akan menjadi manusia yang sekuleristik, materialistik, oportunistik, dan individualistik. Dikatakan sekuleristik, karena dia akan meletakkan agama dalam posisi terbatas yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhannya. Sementara aspek interaksi sosial yang luas, dianggapnya tidak perlu diatur dengan agama. Bersifat materialistik, karena tujuan hidupnya hanya mengejar kesenangan duniawi semata, seperti harta benda, jabatan, dan sebagainya, namun lupa akan tujuan akhiratnya. Dikatakan oportunistik, karena cara dia mengukur segala tindakannya adalah berdasarkan manfaat belaka, atau untung rugi, bukan berdasarkan ketentuan halal-haram.Dan bersifat individualistik, karena dia akan menjadi orang yang hanya mementingkan diri sendiri, serta kurang menaruh kepedulian dan perhatian kepada orang lain. Memang manusia seperti ini akan bisa hidup, namun jelas bukan hidup yang benar.

Dalam sistem sekuleristik seperti ini, sukses tidaknya seorang mahasiswa tentunya hanya akan diukur berdasarkan indikator-indikator akademik semata yang kering dari sentuhan nilai dan norma agama. Mahasiswa tetap dikatakan sukses setelah dia menyelesaikan studinya dalam waktu sekian tahun, dengan indeks prestasi sekian, meskipun dia dangkal atau bahkan bodoh dalam pemahaman agamanya. Apakah manusia seperti ini yang dikehendaki Islam? Cukupkah kesuksesan mahasiswa muslim hanya diukur dengan indikator-indikator akademik semata yang cenderung sekuleristik itu?

Sesungguhnya Islam telah menetapkan tujuan dalam sebuah proses pendidikan, yang hanya bisa dicapai bila sebuah sistem pendidikan didasarkan pada ideologi Islam, bukan ideologi kapitalisme seperti yang ada saat ini. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah terbentuknya kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) yang dibekali dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan (Lihat Muqaddimah Dustur, Taqiyyuddin An Nabhani, hal. 414). Memiliki kepribadian Islam, berarti seseorang mempunyai pola pikir (aqliyah) yang Islami, yaitu dia akan menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar untuk menilai segala pemikiran yang ada. Di samping itu, dia mempunyai pola jiwa/sikap (nafsiyah) yang Islami, yaitu mempunyai kecenderungan perasaan yang Islami dan memenuhi segala kebutuhannya dengan standar Syariat Islamiyah, baik kebutuhan jasmaninya (al hajat al ‘udlwiyah), seperti makan dan minum, maupun kebutuhan naluriahnya (al gharizah), yang meliputi naluri beragama (gharizah tadayyun), naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), dan naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau’), beserta segala penampakan (mazhahir) yang muncul dari ketiga naluri tersebut.

Adapun ilmu dan pengetahuan yang menjadi bekal hidup, adalah segala jenis ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk kehidupan bermasyarakat, seperti sains dan teknologi beserta segala macam ilmu cabang dan terapannya. Namun demikian, Aqidah Islamiyah harus dijadikan standar dalam hal pengambilan atau pengamalannya. Segala ilmu yang sesuai Aqidah Islamiyah saja yang boleh diambil dan diamalkan. Yang bertentangan dengan Aqidah Islamiyah haram untuk diambil dan diamalkan. Dari segi pengetahuan dan studi, Islam memang membolehkan segala macam ilmu, meskipun bertentangan dengan Islam. Tetapi dari segi pengambilan/pengamalan dan i’tiqad (keyakinan), Islam hanya membolehkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan Islam, bukan yang lain. (Ibid., hal. 413).

Dengan demikian, dapat diringkas bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan: 1). Pembentukan kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), dan 2) Penguasaan berbagai ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan.

Dari sinilah seharusnya seorang mahasiswa muslim menetapkan indikator-indikator kesuksesannya, sebab dia bukan sekedar beridentitas mahasiswa, tetapi juga seorang muslim. Identitas keislaman ini tentu tak boleh dia tanggalkan dalam segala kiprahnya di dunia, termasuk kiprahnya dalam menuntut ilmu di perguruan tinggi.


Kiat Mahasiswa Muslim Sukses

Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa seorang mahasiswa muslim yang sukses dapat dicirikan dengan dengan 2 (dua) indikator: Pertama, Dimilikinya kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah), Kedua, Dikuasainya ilmu pengetahuan yang menjadi bidang studinya. Seorang mahasiswa muslim yang sukses, dengan demikian, adalah mahasiswa yang berhasil memiliki kedua indikator tersebut secara bersamaan. Jadi mahasiswa yang hanya menguasai pengetahuan yang menjadi objek studinya, namun dangkal dalam pemahaman Islamnya, hakikatnya adalah mahasiswa yang gagal. (Meskipun menurut ukuran konvensional yang sekuleristik, dia adalah mahasiswa yang “sukses”!).

Untuk memiliki kepribadian Islam, pada prinsipnya seorang mahasiswa harus mempelajari Islam secara mendalam. Dia harus menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai landasan berpikirnya, yang dengannya dia dapat berpikir Islami dengan menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar untuk menilai segala pemikiran yang ada. Dia harus juga menjadikan Syariat Islamiyah –yang lahir dari Aqidah Islamiyah—sebagai standar untuk menetapkan kecenderungannya dan memenuhi segala kebutuhannya. Salah satu karakter muslim yang berkepribadian Islam, untuk konteks sekarang, adalah mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kondisi umat. Kondisi umat Islam di seluruh dunia yang kini dikuasai oleh ideologi kapitalisme yang kafir, harus membuatnya terhentak dan tersadar dengan keadaran yang penuh dan menyeluruh untuk turut serta dalam proses perubahan menuju kondisi yang Islami. Secara konkret, muslim yang peduli dengan keadaan umat itu akan mengindentifikasikan dirinya sebagai seorang pengemban dakwah (hamilud dakwah), sebab metode Islam untuk mengubah kondisi tak Islami menjadi Islami tak lain adalah dengan jalan mengemban dakwah Islamiyah (hamlud dakwah al islamiyah).

Untuk menguasai ilmu pengetahuan yang menjadi objek studinya, seorang mahasiswa harus sukses secara akademik. Kusman Shadik (1996) memaparkan kiat-kiat praktis untuk mencapai sukses akademik di IPB, khususnya di TPB:

One. Kepercayaan Diri

Menumbuhkan kepercayaan diri bahwa Anda punya potensi besar untuk meraih sukses di IPB, merupakan langkah awal yang perlu dimiliki. Kepercayaan diri ini tentunya adalah kepercayaan yang didasarkan pada adanya potensi intelektual yang nyata, bukan kepercayaan diri palsu yang tidak didasarkan pada potensi intelektual yang nyata atau hanya sekedar berdasarkan ilusi kosong. Rasa percaya diri akan berpola positif apabila ditunjang oleh usaha yang gigih agar potensi intelektual yang ada ini dapat teraktualisai secara optimal dalam kegiatan perkuliahan.

Two. Kesehatan

Beban studi yang tidak ringan jelas memerlukan dukungan faktor kesehatan. Karena itu, suatu hal yang penting diperhatikan adalah masalah kesehatan tubuh. Berupayalah Anda memiliki kesehatan tubuh yang selalu prima agar Anda dapat mencapai hasil optimal dalam menyelesaikan beban kuliah, responsi, dan praktikum. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan cara rajin berolahraga, mengkonsumsi makanan bergizi, dan beristirahat secara cukup.

Three. Metode Belajar

Metode belajar di IPB sangat berbeda dibandingkan dengan masa SMU. Di TPB ini seorang mahasiswa dituntut bukan hanya sekedar “bisa”, tetapi dituntut sampai pada tingkat “memahami”. Proses mencapai pemahaman adalah mengkaitkan setiap informasi dengan fakta, atau mengkaitkan fakta dengan informasi. Faktor terpentingnya, adalah informasi. Karenanya, informasi (tentang mata kuliah) harus selalu ditambah. Penambahan informasi selain dari diktat kuliah dapat dilakukan melalui sarana perpustakaan yang ada, terutama buku ajar yang dijadikan sebagai referensi buku diktat tiap mata kuliah. Buku-buku tersebut selain dapat memperluas konsep dasar dari mata kuliah yang bersangkutan juga dapat melatih Anda untuk mengerjakan bentuk-bentuk soal yang biasanya disertakan pada akhir tiap bab. Buku ajar ini hampir semuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Karenanya, kemampuan bahasa Inggris merupakan salah satu penunjang kesuksesan akademik di IPB, terutama setelah kuliah di fakultas. Jadwalkan waktu belajar dengan baik dan belajarlah secara teratur, meskipun waktu ujian atau kuiz masih jauh.

d. Ujian

Ujian merupakan momen penting yang menentukan keberhasilan mahasiswa dalam suatu mata kuliah. Dalam menghadapi ujian di TPB perlu diperhatikan beberapa hal berikut:

• Perasaan tenang dan percaya diri merupakan komponen utama dalam menghadapi ujian. Hindarkan perasaan stress, gugup, atau gelisah yang hanya akan menghancurkan konsentrasi dan menggerogoti daya berpikir kita yang sesungguhnya. Karenanya, berdoalah yang khusyu’ sebelum ujian.

• Memantapkan secara sempurna tentang topik yang akan diujikan. Yang ideal, pemantapan atau penguasaan mata kuliah hendaknya dilakukan secara bertahap. Bukan secara dadakan atau instan dengan gaya “SKS” (Sistem Kebut Semalam). Penumpukan informasi dalam volume besar dalam waktu yang singkat sangat tidak efektif dan hanya akan memberikan beban yang berlebihan (over-loaded) terhadap otak.

• Mengenal lebih dini tentang format soal ujian untuk tiap mata kuliah yang biasanya berbeda-beda antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya. Untuk mengetahui hal ini dapat dilihat pada berkas ujian pada tahun sebelumnya. Hubungan yang baik dengan kakak kelas dalam hal ini tentu akan sangat membantu.

•Mempersiapkan langkah teknis ujian akhir dengan baik, seperti KTM, pulpen, minimal 2 buah, kalkulator apabila ujian tersebut diperkenankan untuk menggunakan kalkulator. Meskipun sepertinya sepele, namun bila tidak disiapkan secara apik dan cermat, akan bisa mempengaruhi mental kita dalam mengerjakan soal ujian.

Semua yang telah disampaikan di atas yang berkenaan dengan kiat sukses dalam meraih prestasi akademik di IPB khususnya TPB, kiranya dapat dijadikan sebagai bahan masukan agar waktu, tenaga, dan potensi yang ada dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.


Penutup

Kiranya menjadi mahasiswa muslim yang sukses memang merupakan dambaan. Namun sekali lagi perlu diperhatikan benar, apa indikator “kesuksesan” yang digunakan. Jangan sampai Anda merasa menjadi sukses, padahal sebenarnya gagal. Mahasiswa muslim yang sukses adalah mahasiswa berhasil meraih 2 (dua) hal sekaligus: Pertama, Menjadi muslim yang berkepribadian Islam, dan Kedua, Meraih kesuksesan secara akademik.

Selain itu, seorang mahasiswa yang berkepribadian Islam juga dituntut untuk peduli terhadap keadaan umat, dengan jalan turut serta memikul tanggung jawab dakwah Islamiyah demi terwujudnya tatanan umat dan masyarakat yang Islami.
[ ]