Kamis, 26 Maret 2009

Janji Kosong Para Caleg

Ahli etika Universitas Gadjah Mada (UGM) Haryatmoko menyampaikan : “Kampanye terbuka selama sepekan ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan pogram yang diusung para caleg dan parpol.” (Kompas, 23/3/2009)

Komentar:

1. DALAM SISTEM SEPERTI INI, aktor politik tidak berfikir program yang jelas, yang penting apa saja yang laku dijual.

2. Demokrasi sebagai sistem politik yang penuh make up, telah melahirkan ‘badut-badut politik’ yang hanya menjual akting. HANYA SISTEM POLITIK ISLAM yang bisa mwlahirkan politikus sejati, yang ikhlas, penuh dedikasi, bersih dan bertanggung jawab.

Pemilu yang Memilukan


Awal bulan April pemilu 2009 akan digelar di negeri ini. Layaknya hajatan, Pemilu memang membutuhkan biaya besar. Lihat saja total anggaran yang pernah diajukan KPU 31 Oktober 2007 yang lalu. Total dana yang dibutuhkan sebesar Rp 47,9 triliun. Ini baru anggaran KPU Pusat. Belum KPUD.

Pilkada Jatim 2008 saja menghabiskan dana Rp 830 miliar. Untuk daerah lain, Litbang Kompas mencatat, Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar; Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya tidak kurang dari Rp 500 miliar. Tentu ini belum biaya yang dikeluarkan masing-masing calon. Pasangan Karsa saja, dalam Pilkada Jatim yang lalu, misalnya, secara resmi menghabiskan Rp 1,3 triliun. Belum lagi pasangan-pasangan lain. Jadi, hajatan Pemilu ini nyata-nyata menguras dana tidak kurang dari triliunan rupiah.

Pemilu dan Pilkada juga melelahkan. Secara umum rakyat Indonesia harus mencoblos atau mecontreng 3 hari sekali dalam Pemilu atau Pilkada. Belum lagi kalau terjadi sengketa, konflik dan anarkisme akibat Pilkada.

Namun, sebagai ritual demokrasi, Pemilu tetap mutlak harus dijalankan. Sebab, sah-tidaknya praktik demokrasi ditentukan oleh Pemilu; tidak akan ada demokrasi tanpa Pemilu. Karena itu, semahal apapun dan sekalipun melelahkan Pemilu harus tetap berjalan. Begitulah. Namanya, juga ritual.

Pemilu selama ini diharapkan mampu membawa perubahan. Nyatanya, Pemilu dan demokrasi tidak membawa perubahan apapun. Janji-janji yang disampaikan oleh parpol peserta Pemilu, caleg, capres dan cawapres akhirnya terbukti hanya pepesan kosong. Wajar jika Pemilu pun nyaris diabaikan—jika tidak bisa dikatakan ditinggalkan—oleh rakyat. Rakyat sudah sadar, bahwa janji-janji perubahan itu hanya omong-kosong. Justru melalui wakil rakyat dan pemerintahan terpilih, produk undang-undang yang memiskinkan mereka pun lahir. UU Migas, UU SDA, UU Minerba, UU Penanaman Modal dan UU BHP adalah sedikit contoh dari produk mereka. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepentingan mereka.

Bahkan atas nama wakil rakyat dan penguasa mandataris rakyat, mereka mengundang dan menyambut negara-negara penjajah dengan bangga, justru untuk melestarikan kepentingan sang penjajah di negeri mereka. Para wakil rakyat dan penguasa itu tidak malu dan sungkan menunjukkan kesetiaannya pada titah tuannya. Meski untuk itu, rakyat dan negeri mereka harus menjadi tumbal dari kepatuhan mereka. Proyek perang melawan terorisme, liberalisasi ekonomi, liberalisasi ajaran Islam dan kehidupan masyarakat adalah contoh telanjang dari bukti kepatuhan mereka. Penangkapan ulama, pencekalan pembicara dan penggagalan proyek kemanusiaan pun tanpa malu mereka praktikkan demi memuaskan nafsu sang majikan. Ibarat jongos, apapun titah sang tuan, langsung dilaksanakan tanpa reserve sedikitpun.

Atas nama demokrasi dan kebebasan, kemaksiatan pun merajalela. Kumpul kebo, zina dan homoseksual marak di mana-mana. Ironisnya, tidak ada yang mempersoalkan. Namun, atas nama demokrasi dan kebebasan, perkawinan yang sah menurut syariah justru dipersoalkan. Atas nama demokrasi dan kebebasan, Ahmadiyah tetap dibiarkan bebas dan diawetkan. Penistaan agama, baik terhadap al-Quran, Nabi saw. hingga syariah pun seolah dibiarkan.

Ketika kepercayaan rakyat pada demokrasi dan Pemilu pada titik nadir, justru ada yang mencoba mencari peruntungan; mulai dari pengusaha, pengedar narkoba, maling hingga pengangguran, semuanya ingin mencoba mencari peruntungan dari hajatan demokrasi. Mereka semuanya mendaftarkan dirinya menjadi calon-calon anggota dewan yang terhormat.

Demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu hanyalah utopia. Memang betul mereka dipilih oleh rakyat, dan dari rakyat, tetapi jangan berharap mereka memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemilu sebagai proses perubahan juga hanyalah utopia. Nyatanya, Pemilu sudah berlangsung berkali-kali, tetapi nasib rakyat tidak pernah berubah. Inilah realitas demokrasi dan Pemilu, yang ternyata hanyalah fatamorgana. Dari jauh tampak indah, ternyata setelah dekat, semuanya hampa.

Namun, entah mengapa masih ada umat Islam yang belum jera, dan tetap percaya, padahal semuanya itu hampa dan terbukti sia-sia. Mahabenar Allah Yang berfirman:

Apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik perbuatannya yang buruk, lalu dia meyakini perbuatan itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? (QS Fathir [35]: 8).

Itulah gambaran yang dilukiskan Allah dalam al-Quran untuk mereka yang percaya pada jalan yang digariskan bukan oleh Allah, alias jalan setan. Namun, karena kepiawaian setan, jalan itu pun dihias sedemikian rupa sehingga seolah-olah indah dan baik. Untuk itu, berbagai dalih (hiyal) pun dibangun agar bisa menjustifikasi kebaikan semu itu. Semuanya itu konon demi kemaslahatan umat. Mereka lupa, atau sengaja melupakan peringatan Allah di dalam surah yang sama:

Siapa saja yang menghendaki kemuliaan, maka kemuliaan itu semuanya hanyalah milik Allah. (QS Fathir [35]: 10).

Dengan demikian, siapapun yang menginginkan negeri ini terhormat, keliru sekali jika menganggap Pemilu dan praktik demokrasi bisa mewujudkan semuanya. Yakinlah, semuanya itu utopis. Lihatlah apa yang dialami oleh Amerika dan negara-negara Uni Eropa saat ini. Belum cukupkah semuanya itu menjadi bukti?

Karena itu, tidak ada jalan lain, kecuali kembali kepada Allah, dengan cara mempraktikkan seluruh sistem-Nya. Hanya dengan itulah keberkahan dari langit dan bumi akan Allah turunkan:

Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (QS al-A’raf [7]: 96).

Inilah saatnya! Allahumma waffiqnâ wanshurnâ fî thâ’atika wa al-Muslimîn.[Hafidz Abdurrahman]

Nasyroh: Hukum Pemilu Legislatif dan Presiden

بسم الله الرحمن الرحيم

Hukum Pemilu Legislatif dan Presiden

Tidak lama lagi, Indonesia kembali akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) 2009. Pemilu kali ini selain untuk memilih anggota legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan Daerah, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD); juga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan anggota legislatif akan diselenggarakan pada 9 April 2009. Sedang pemilihan presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2009 untuk putaran pertama, dan pertengahan September 2009 untuk putaran kedua.

Di tingkat pusat, pemilu akan memilih anggota DPR dan DPD di mana keduanya akan secara bersama membentuk MPR. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 hasil amandemen ditetapkan bahwa wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Tentang kewenangan DPR, pada Pasal 11 ayat 2 disebutkan DPR melakukan persetujuan bersama Presiden dalam membuat perjanjian internasional, keuangan negara, dan perubahan atau pembentukan undang-undang. DPR membahas setiap rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan bersama pemerintah (Pasal 20). Jadi, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20A).

Dengan demikian, anggota legislatif memiliki tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, atau koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Sedangkan tugas Presiden, secara umum adalah melaksanakan Undang-Undang Dasar, menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang dibuat. Berdasarkan fakta ini, hukum tentang pemilu di Indonesia bisa dipilah menjadi dua, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Pemilu legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan hukum wakalah, yang hukum asalnya adalah mubah (boleh), berdasarkan hadits Nabi:

«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا» (رواه ابو داود و صححه).

Dari jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhumâ, dia berkata: Aku hendak berangkat ke Khaibar, lantas aku menemui Nabi SAW. Seraya beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar maka ambillah olehmu darinya lima belas wasaq” (HR. Abu Dawud yang menurutnya shahih).

Selain itu, dalam Bai’atul ‘Aqabah II, Rasulullah SAW meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu yang dipilih oleh mereka sendiri.

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: Dua pihak yang berakad yaitu, pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).

Bila semua rukun tersebut terpenuhi, maka yang menentukan apakah wakalah itu Islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil. Dalam konteks anggota legislatif, wakil rakyat di parlemen akan menjalankan tiga fungsi pokok, yaitu (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU, (2) melantik presiden/wakil presiden, dan (3) fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah. Melihat fungsi-fungsi tersebut, hukum wakalah terhadap ketiganya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.

Berkaitan dengan fungsi legislasi, harus diingatkan bahwa setiap muslim yang beriman kepada Allah SWT, wajib taat kepada syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali menerapkan hukum syariah Allah SWT. Allah SWT telah menegaskan,

إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ

Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. (TQS. Yusuf [12]: 40)

Allah Swt juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah dengan taat pada syariat-Nya,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (TQS. Al Ahzab[33]: 36).

Tidak boleh seorang muslim mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang telah diharamkan-Nya. Tentang hal ini, At-Tirmidzi, dalam kitab Sunan-nya, telah mengeluarkan hadits dari ’Adi bin Hatim –radhiya-Llahu ’anhu— berkata: ’Saya mendatangi Nabi saw. ketika baginda sedang membaca surat Bara’ah:

اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ

”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam.” (TQS. At-Taubah [9]: 31)

Seraya bersabda: ’Mereka memang tidak beribadah kepadanya, tetapi jika mereka menghalalkan sesuatu untuknya, mereka pun menghalalkannya; jika mereka mengharamkan sesuatu untuknya, maka mereka pun mengharamkannya.”

Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam. Bahkan dapat dikategorikan perbuatan menyekutukan Allah SWT. Seorang muslim wajib terikat kepada syariah Allah, wajib mengambil hukum dari wahyu Allah semata, dan menolak undang-undang atau peraturan buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular atau yang bertentangan dengan syariah Islam tidak diperbolehkan, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.

Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak diperbolehkan, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariat Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasar pada kaedah syara’ yang menyatakan:

(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)

“Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan kepada perbuatan haram adalah juga haram”

Adapun wakalah dalam konteks pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah dibolehkan, selama tujuannya adalah untuk amar makruf dan nahi mungkar (menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran). Wakalah dalam konteks ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariat Islam. Maka, pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan tadi dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’iy. Bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.

2. Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekular menjadi sistem Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.

3. Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.

4. Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas

Ini berkaitan dengan hukum pemilu legislatif yang berbeda dengan pemilu presiden. Jika dalam pemilu legislatif bisa disamakan dengan hukum wakalah, lain halnya dengan pemilu presiden. Status presiden dan wakil presiden bukanlah wakil rakyat, sehingga kepadanya tidak bisa diberlakukan fakta wakalah. Dalam hal ini lebih tepat dikaitkan dengan fakta akad pengangkatan kepala negara (nashb al-ra’is) yang hukumnya terkait dengan dua hal, yaitu person dan sistem.

Terkait dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat in’iqad, yaitu sejumlah keadaan yang akan menentukan sah dan tidaknya seseorang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah (1) Muslim; (2) Baligh; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil atau tidak fasik; dan (7) Mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara. Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, cukup membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.

Adapun tentang sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi dari akidah seorang kepala negara yang muslim. Tambahan lagi, dalam Islam, memang tugas utama kepala negara adalah untuk menjalankan syariah Islam dan memimpin rakyat dan negaranya dengan sistem Islam. Hanya dengan cara itu saja segala tujuan mulia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan tercapai. Memimpin dengan sistem selain Islam tidak akan menghasilkan kebaikan, tapi justru menghasilkan kerusakan dan bencana. Maka, tidak boleh hukumnya memilih presiden yang akan menjalankan sistem sekular. Siapa saja yang memimpin tidak dengan sistem Islam, oleh Allah SWT disebut sebagai fasik dan dzalim; bahkan bila secara i’tiqadi dengan tegas menolak syariat Islam, dinyatakan sebagai kafir. Allah SWT berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (TQS. al-Maidah [5]: 44)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (TQS. al-Maidah [5]: 45)

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan, siapa saja yang tidak berhukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik.” (TQS. al-Maidah [5]: 47)

Wahai kaum muslimin:

Maka, sikap yang semestinya harus ditunjukkan oleh setiap muslim dalam menghadapi pemilu ini adalah:

1. Tidak memilih calon yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan di atas. Tidak mendukung usahanya, termasuk tidak mendukung kampanyenya dan mengucapkan selamat saat yang bersangkutan berhasil memenangkan pemilihan.

2. Melaksanakan syariat Islam secara utuh dan menyeluruh dengan konsisten. Serta berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam melalui perjuangan yang dilakukan sesuai dengan thariqah dakwah Rasulullah saw melalui pergulatan pemikiran (as-shirâul fikriy) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangannya itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang secara nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya syariah dan khilafah; serta sebaliknya menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru berjuang untuk mengokohkan sistem sekular.

3. Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa atas setiap aktivitas dan kebijakan mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidak terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan. Tidak boleh ada rasa putus asa dalam perjuangan. Dengan pertolongan Allah, insya Allah perubahan ke arah Islam bisa dilakukan asal perjuangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, khususnya dalam usaha mewujudkan tegaknya kembali khilafah guna melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayah al- Islâmiyah). Yaitu kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan kepemimpinan seorang khalifah yang akan menyatukan umat dan negeri-negeri Islam untuk kembali menjadi umat terbaik serta memenangkan Islam di atas semua agama dan ideologi yang ada. Kesatuan umat itulah satu-satunya yang akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan itu kerahmatan (Islam) akan terwujud di muka bumi. Dengan kekuatan itu pula kemuliaan Islam dan keutuhan wilayah negeri-negeri muslim bisa dijaga dari penindasan dan penjajahan negeri-negeri kafir sebagaimana yang terjadi di Irak dan Afghanistan.

4. Memilih kepala negara yang mampu menjamin negeri ini tetap independen (merdeka) dari cengkraman penjajah. Dengan kata lain, memilih kepala negara yang mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan malah sebaliknya membiarkan negeri ini dalam cengkeraman dan dominasi kekuatan asing di segala bidang. Juga harus mampu meletakkan keamanan negeri ini semata di tangan umat Islam, bukan di tangan warga negara asing. Tidak membiarkan pengaruh negara penjajah ke dalam institusi tentara dan polisi, apalagi mengijinkan negara asing membuat pangkalan militer di wilayah negeri ini. Sesungguhnya Allah SWT melarang muslim tunduk pada kekuatan kafir.

وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS. An-Nisa[4]: 141).

Akhirnya, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri ini terus dipimpin oleh penguasa dzalim dengan sistem sekular dan mengabaikan syariah Islam yang membuat negeri ini terus terpuruk; ataukah sebaliknya memilih pemimpin yang amanah dan menegakkan syariat Islam sehingga kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan benar-benar akan terwujud. Begitu juga, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri-negeri muslim tetap tercerai-berai seperti sekarang dan tenggelam dalam kehinaan; atau sebaliknya berusaha keras agar bisa menyatu sehingga izzul Islam wal muslimin juga benar-benar terwujud

Karena itu, umat Islam di Indonesia sebagai pemegang kekuasaan hendaknya memperhatikan momentum pemilu ini. Bahwa Pemilu ini tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan sistem sekular. Umat Islam harus berusaha untuk menegakkan sistem Islam dan menghentikan sistem sekular, serta berusaha mewujudkan seorang kepala negara yang mempunyai syarat dan ketentuan Islam sebagaimana dijelaskan di atas, yang akan menegakkan sistem Islam dan menyatukan negeri-negeri di bawah naungan khilafah.

Wahai umat Islam, inilah saatnya, ambillah langkah yang benar! Salah mengambil langkah berarti turut melanggengkan kemaksiatan. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya; dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (TQS. Al-Anfal [8]: 24)

19 Rabi’ul Awwal 1430 H/16 Maret 2009

Hizbut Tahrir Indonesia

Demokrasi , Alat Perjuangan Syariah ?

HTI-Press. Pro kontra tentang demokrasi dan Islam terus bergulir ditengah umat, apalagi menjelang pemilu. Bagaimana Islam mensikapi Demokrasi ? Sejauhmana demokrasi bisa dijadikan alat perjuangan untuk penegakan syariah Islam ? Masalah ini akan dijelaskan Ustadz Muhammad Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini. (redaksi)

Menurut Ustadz, bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap Demokrasi?

Harus diakui, demokrasi kini telah menjadi sistem politik yang paling banyak dianut di dunia. Ini karena hampir semua negara, termasuk negeri – negeri muslim semenjak runtuhnya kekhilafahan Utsmani pada 1924, menganut sistem politik ini. Tapi penerimaan dunia Islam terhadap demokrasi tidaklah mulus. Bila kita ringkas, kiranya ada tiga kelompok sikap. Pertama, yang mengatakan tidak ada masalah dengan demokrasi. Islam bukan saja menerima ajaran demokrasi, bahkan mereka mengatakan Islam adalah agama yang sangat demokratis seperti tampak pada anjuran untuk bermusyawarah dan sebagainya. Kedua, pandangan yang menolak sama sekali demokrasi. Sebagai anak kandung sekularisme, demokrasi dikatakan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Sementara kelompok ketiga mengatakan bahwa demokrasi memang bukan ajaran Islam, tapi Islam bisa memberikan nilai-nilai dalam demokrasi. Dari kalangan mereka muncul istilah demokrasi yang Islami. Perbedaan ini muncul karena masing-masing memahami demokrasi dalam perspektif yang berbeda-beda.

Dalam menyikapi demokrasi mestinya kita harus kembali kepada inti dari paham demokrasi itu sendiri, yakni kedaulatan rakyat dimana makna praktis dari kedaulatan adalah hak membuat hukum. Dari sini jelas bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan Allah, bukan di tangan rakyat atau wakil rakyat.

Adanya anjuran musyawarah dalam Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Bila kita telaah sungguh-sungguh nyata sekali bahwa musyawarah bukanlah satu-satunya jalan pengambilan keputusan. Dalam masalah tasyri’ (penetapan hukum), keputusan diambil dengan cara merujuk kepada sumber hukum yakni al Quran dan As Sunnah atau ijtihad. Musyawarah hanya dilakukan dalam teknis pelaksanaan suatu perkara. Rasulullah bermusyawarah dengan para shahabat tentang dimana mereka harus menghadapi pasukan kafir Quraisy dalam perang Uhud, apakah di dalam atau di luar kota Madinah. Rasul tidak bermusyawarah tentang apakah jihad itu wajib atau tidak.

Salah satu unsur penting dari demokrasi adalah pemilu. Bagaimana sikap HT sendiri terhadap pemilu, Ustadz?

Memang di dalam Islam juga ada pemilu, yakni untuk pemilihan kepala negara atau khalifah dan pemilihan wakil rakyat dalam majelis ummat. Sesuai dengan prinsip bahwa kekuasaan di tangan rakyat (al-sultotu lil ummah), maka khalifah dipilih umat. Tidak seorang pun bisa menjadi seorang khalifah kecuali jika dipilih dan dibaiat oleh umat. Baiat adalah satu-satunya metode pengangkatan (thariqah in’iqadz) dalam sistem khilafah. Adapun metode pemilihan (thariqah intikhab) khalifah bisa dilakukan melalui pemilihan langsung (one man one vote), bisa juga melalui ahl al-halli wa al-aqd atau majelis umat yang menjadi perwakilan dari umat.

Pada dasarnya pemilihan anggota legislatif sebagai wakil rakyat adalah akad perwakilan (wakalah), sementara hukum wakalah menurut syariat Islam adalah mubah. Sementara keabsahan wakalah itu tergantung pada rukun-rukunnya; jika rukun-rukun tersebut sempurna, maka wakalah tersebut juga sah, dan jika rukun-rukun itu tidak terpenuhi, maka tidak sah. Rukun wakalah adalah adanya akad atau keterkaitan antara ijab dan qabul, dua orang yang melakukan akad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl), perkara yang diwakilkan (al umuur al muawakkal biha), serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shîghat at-tawkîl). Semuanya harus sesuai dengan ketentuan Islam Bila semua rukun terpenuhi, maka yang akan menentukan kemudian apakah wakalah ini Islami atau tidak adalah pada amal atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh wakil. Bila yang dilakukan oleh wakil adalah menghentikan sekularisme dan menegakkan sistem Islam, maka ini adalah wakalah Islami. Tapi bila sebaliknya, tentu tidak Islam dan harus ditolak.

Bila pandangan Islam terhadap Demokrasi seperti itu, menurut Ustadz, apakah Demokrasi bisa dijadikan jalan perjuangan menegakkan syariah Islam? Seperti apa peluang dan gambarannya?

Bisa, asal seseorang yang berjuang untuk tegaknya syariah melalui jalan itu memenuhi syarat dan ketentuan, yaitu, a). Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekuler, yang akan berjuang untuk menjalankan fungsi muhasabah. Bukan legislasi. Dan dalam proses pemilihan tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekuler; b) Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari perjuangan itu, yaitu untuk menegakkan sistem Islam, mengubah sistem sekuler menjadi sistem Islam, dan membebaskan negeri ini dari pengaruh dan dominasi negara asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, c) Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam. d) Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.

Kalau Demokrasi dijadikan jalan perjuangan penegakan syariah, adakah bahaya yang bisa muncul? Kalau ada seperti apa bahaya itu?

Masuknya seorang muslim yang bertaqwa di parlemen dalam sistem demokrasi sekuler ini akan sangat berguna dalam satu kondisi, yakni ketikat mereka menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah dalam rangka melakukan perubahan mendasar (taghyiir), menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam, mengoreksi penguasa, menjelaskan kebobrokan sistem sekuler itu dan menyadarkan umat akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam dan selalu berjuang melakukan amar makruf dan nahi mungkar.

Bila itu tidak dilakukan, maka keberadaan mereka di parlemen justru bisa menimbulkan menjadi bahaya besar, antara lain: a) Keberadaan mereka di parlemen justru akan digunakan pemerintah yang sedang berkuasa dan partai-partai sekuler sebagai justifikasi untuk melawan umat Islam yang berusaha melakukan perubahan mendasar (taghyiir), bahwa mereka juga muslim, dan faktanya mereka juga terlibat dan rela terhadap sistem tersebut; c) Mereka akan menimpakan tanggungjawab kerusakan dan kedzaliman yang lahir dari sistem sekuler itu kepada umat Islam, padahal seharusnya yang bertanggungjawab adalah kaum sekuler saja. d) Jika para wakil rakyat yang duduk di parlemen itu bisa melakukan perbaikan parsial, pada dasarnya itu merupakan salah satu bentuk tambal sulam terhadap baju tua, yang sebenarnya wajib diganti semuanya. Tambal sulam hanya akan memperpanjang usia sistem yang rusak, dan memalingkan perasaan umat Islam sehingga justru malah tidak terdorong untuk melakukan perubahan mendasar dengan cepat.

Kalau melihat partai-partai yang mengklaim berjuang melalui demokrasi, menurut Ustadz sejauh mana mereka memperjuangkan syariah Islam? Atau jangan-jangan selama ini tidak ada yang memperjuangkan syariah Islam?

Dari segi platform, ada. Hanya saja perjuangan seperti itu memang tidak mudah. Hasil perolehan suaranya dalam pemilu lalu jauh di bawah partai sekuler. Sehingga kekuatan politiknya juga kecil. Akibatnya, gagasan-gagasan politiknya tidak bisa direalisasikan karena kalah suara. Oleh karena itu, partai-partai Islam tidak boleh menjadikan pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menegakkan syariat Islam, sedemikian sehingga seolah-olah hidup matinya tergantung pada pemilu. Parpol Islam harus sungguh-sungguh melaksanakan semua fungsi parpol, terutama fungsi edukasi agar secepatnya terwujud kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat. Juga, wajib melakukan kritik terhadap penguasa atas kebijakan dzalim yang tidak sesuai dengan syariah, serta mengungkap makar jahat negara asing di negeri ini dan negara dunia Islam yang lain. Hanya melalui cara ini, kekuatan politik Islam untuk mewujudkan perubahan mendasar tadi bisa dibentuk.

Ada anggapan bahwa demokrasi itu bisa dijadikan alat atau strategi untuk perjuangan penegakan syariah, bagaimana Ustadz menilai anggapan ini?

Jika yang dimaksud dengan penerapan syariat itu adalah penerapan syariat secara parsial, hal itu sudah bisa diwujudkan. Misalnya adanya ketentuan hukum waris, nikah talak rujuk dan cerai serta perkara ahwâl syakhshiyyah (perdata), UU Zakat, UU Perbankan Syariah dan lainnya. Tapi bila yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam secara kaffah tentu ini belum terwujud. Mengapa? Karena partai politik yang mengikuti pemilu harus mengakui, tunduk, dan terikat dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagian orang beranggapan, bila sistem perundang-undangan diubah, misalnya mengikuti prinsip the winner takes all, di mana pemenang pemilu selain berhak membentuk pemerintahan juga berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan, maka perjuangan untuk menerapkan syariat Islam bisa ditempuh melalui parlemen. Tampaknya logis, tapi faktanya pemerintahan sekuler yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan pernah mentolelir keberhasilan sebuah partai Islam dalam pemilu yang bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair di awal tahun 1992, juga Hamas di Palestina membuktikan hal itu.

Selama ini HT selalu mengkritisi dan menolak demokrasi, tapi ada sebagian orang yang menganggap HT justru mendapat manfaat dari demokrasi. Karena dengan demokrasi HT leluasa mengkampanyekan ide-idenya. Bagaimana tanggapan Ustadz?

Pertama, harus dipahami bahwa sebagai bagian dari warga negara ini, anggota HT mempunyai hak dan sekaligus kewajiban untuk turut serta berusaha membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Hak dan kewajiban ini tidak boleh dihalangi bahkan semestinya diberi jalan. Karenanya, bila sekarang HT mendapatkan tempat untuk menyebarkan ide-idenya, ya memang semestinya seperti itu. Ini tidak ada urusannya dengan demokrasi. Karenanya, HT tidak merasa berutang budi terhadap demokrasi, dan akan tetap menuntut supaya syariah Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan sistem sekuler, termasuk demokrasi itu sendiri.

Ada anggapan, karena Demokrasi sudah mendunia dan diadospi oleh hampir semua negara, maka perjuangan syariah tidak bisa tidak harus melalui jalan Demokrasi itu. Muncul pertanyaan, kalau tidak dengan Demokrasi lalu dengan apa? Bagaimana Ustadz menanggapi anggapan dan pertanyaan itu?

Memang ada yang mengambil demokrasi bukan dari segi paham tapi sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Demorasi dianggap sebagai jalan yang paling baik dalam mewujudkan cita-cita politik. Tidak ada cara lain selain demokrasi. Persis seperti pertanyaan tadi, bila tidak melalui cara demokrasi lantas menggunakan apa?

Sikap seperti ini menunjukkan kelemahan, sekaligus ketidakberdayaan kita akibat telah masuk pada apa yang disebut jebakan intelektual (intelectual trap). Padahal sesungguhnya masih ada jalan lain. Itu yang kita sebut sebagai thariqah dakwah Rasulullah. Ini metode perjuangan yang Islami, dan insha Allah akan bisa menghantarkan pada terwujudkanya cita-cita politik kita, yakni tegaknya kembali kehidupan Islam.

Ustadz, sebagian orang memandang bahwa perjuangan melalui Demokrasi akan lebih cepat mencapai hasil, sementara perjuangan penerapan syariah melalui penegakan Khilafah jelas membutuhkan waktu yang panjang, bagaimana tanggapan Ustadz?

Lama atau sebentar sebenarnya sangat relatif. Fakta membuktikan justru cara-cara konvensional yang dilakukan selama ini telah gagal menghasilkan perubahan yang diinginkan. Lihatlah, perubahan Orde Baru tidak terjadi melalui pemilu meski telah diadakan berulang kali selama 30 tahun. Perubahan besar baru terjadi melalui gerakan reformasi yang hanya beberapa bulan. Tapi karena reformasi juga tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan pasca reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan dibanding sebelumnya. Bila sebelum reformasi tatanan negeri ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga masih tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali, dan jumlah orang miskin makin meninggi dan sebagainya. Maka tak heran, bila upaya memerdekakan negeri ini tak kunjung berhasil, meski sudah lebih dari 50 tahun kita berharap. Andai kita dari dulu sungguh-sungguh menyiapkan langkah-langkah yang benar bagi perubahan fundamental yang dicita-citakan, mungkin kita tidak memerlukan waktu sepanjang ini.

Perjuangan Rasul saw. dalam mengubah dunia di mulai di Makkah dan berbuah setelah hijrah ke Madinah. Tapi fase ini tidak mungkin terjadi, bila Rasul tidak menempuh fase pengkaderan dan pembinaan di Makkah yang memang memakan waktu cukup lama yaitu 13 tahun. Waktu sepanjang itu diperlukan untuk menanamkan fikrah Islam di tengah jamaah. Dan setelah hijrah ke Madinah, dakwah Rasul mencapai perkembangan luar biasa. Setelah itu orang-orang berbondong-bondong masuk Islam. Bila perjuangan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan metode atau thariqah yang dicontohkan oleh Rasulullah sejak negeri ini merdeka, Insha Allah perjuangan akan cepat berhasil dan negeri ini tidak perlu terpuruk seperti sekarang ini.

Ada pandangan, dengan tidak ikutnya HTI dalam pemilu itu merupakan penggembosan (tikaman) terhadap perjuangan politik umat?

HTI adalah jamaah dakwah yang berjuang secara politis untuk tegaknya sistem Islam. Melalu kegiatan pembinaan dan pengkaderan yang dilakukan oleh HTI telah terlahir ribuan kader dakwah. Ini akan mendorong terciptanya kesadaran politik umat, yang dengan kesadaran itu memungkinkan adanya tuntutan dari umat untuk terjadinya perubahan politik ke arah Islam. HTI juga melakukan kritik dan koreksi terhadap kebijakan penguasa yang bertentangan dengan ajaran Islam, membongkar makar jahat negara penjajah dan menjelaskan berbagai solusi atas persoalan yang dihadapi umat dengan cara Islam. Jadi bagaimana bisa HTI dituduh melakukan penggembosan perjuangan politik umat?

Juga ada pandangan bahwa kalau HTI tidak terlibat dalam pemilu, berarti hanya menjadi penonton?

Salah besar. Tudingan semacam ini baru benar bila HTI memang tidak melakukan apa-apa. Padahal, faktanya HTI telah secara aktif berdakwah, melakukan pembinaan dan pengkaderan umat melalui berbagai cara (uslub) dan sarana (wasilah) di seluruh penjuru tanah air. Ribuan forum baik dalam bentuk seminar, diskusi, pengajian, tablig akbar, maupun bentuk yang lebih bersifat personal telah terselenggara tiap minggunya. Belum lagi bahan terbitan yang dikeluarkan oleh HTI baik berupa buletin jumat al Islam dengan tiras lebih dari 1 juta eksemplar, al Waie, Media Umat, makalah dan sebagainya yang tersebar dibaca dan dikaji oleh umat. Diyakini melalui pembinaan itu umat menjadi sadar mengenai hak, peran dan tanggungjawabnya sebagai muslim. Dan kesadaran itu berpengaruh besar pada aspek ekonomi, politik praktis dan lainnya. HTI juga telah melakukan banyak sekali kontak dengan para tokoh umat, tokoh politik, media massa dan lainnya untuk mendorong peningkatan peran mereka dalam perjuangan ini. Disamping itu, HTI juga sangat aktif melakukan kritik dan koreksi terhadap penguasa atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan hukum-hukum syara’, serta mengungkap konspirasi asing —yang dilancarkan oleh negara-negara penjajah— di negeri ini dan negeri di dunia Islam yang lain. Dengan seabreg kegiatan politik semacam itu, bagaimana bisa HTI disebut hanya sebagai penonton?

Kepada siapa HT akan memberikan suaranya dalam pemilu?

HTI tidak dalam kedudukan untuk menyebut salah satu parpol atau individu yang layak didukung. HTI hanya menyebut kriteria dan syarat-syarat, yang kalau dipenuhi oleh calon legislatif, maka dia boleh dipilih, yakni: a) Pencalonannya didasarkan pada ajaran Islam yang dilakukan melalui partai politik berasas Islam di mana asas itu harus tercermin dalam fikrah yang diadopnya baik menyangkut politik dalam dan luar negeri, sistem pemerintahan, ekonomi, sosial dan pendidikan. Semua fikrah itu tergambar dengan jelas hingga siapa saja dengan mudah bisa mempelajarinya. Juga harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam kehidupan berpartainya sehari-hari, dalam konteks hubungannya dengan anggota dan dalam hubungannya dengan yang lain dalam kehidupan berparlemen, termasuk dalam soal materi kampanye, strategi dan tatacara yang dilakukan. b) Tujuannya adalah untuk melakukan fungsi fungsi muhasabah, bukan legislasi; menghentikan sistem sekuler dan menggantinya dengan sistem Islam. Mewujudkan kehidupan Islam dimana di dalamnya diterapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah. c) Bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mewujudkan tujuan ini, tegas dan terbuka, tanpa rasa takut dan malu.

Minggu, 15 Maret 2009

Komentar Politik

Intelektual China: Iran Dorong Perdamaian Dunia
By Republika Newsroom
Minggu, 15 Maret 2009 pukul 05:32:00

BEIJING -- Direktur Jenderal Biro Nasional bagi Peningkatan Bahasa China, Shoe Lin, mengatakan Sabtu bahwa Republik Islam Iran adalah pelopor perdamaian dan kedamaian di dunia.

Dalam wawancara eksklusif dengan IRNA, Shoe mengatakan tak diragukan bahwa peradaban dan kebudayaan Iran sangat cemerlang dan menarik bagi semua bangsa di dunia.

Saat menyoroti peradaban dan kebudayaan yang berurat-berakar di Iran, ia mengatakan bangsa Iran sepanjang sejarah sejak dulu selalu dianggap sebagai penganjur perdamaian dan kedamaian.

Ada kesamaan antara kedua bangsa itu dalam berbagai bidang kebudayaan dan sejarah, katanya.

Pertukaran mahasiswa dalam bidang bahasa China dan Persia tampaknya dapat membantu meningkatkan dan membina hubungan budaya antara kedua bangsa, katanya.

Komentar Politik :

Seharusnya seluruh intelektual muslim bersikap demikian mendorong perjuangan penegakan khilafah Islamiyah. Karena hanya khilafahlah yang akan mampu mewujudkan perdamaian dunia yang sebenarnya. Menggantikan peraban "sampah" kapitalisme-sekulatisme.

Adhyaksa: 15.000 Orang Meninggal Tiap Tahun Akibat Narkoba


Menegpora Adhyaksa Dault mengatakan sekitar 15.000 orang di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat pengaruh narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).

“Belum lagi HIV/AIDS (pertumbuhannya) seperti tsunami sosial, dikarenakan kasus yang terdeteksi saat ini baru kulit luarnya,” kata dia dalam sebuah acara di Palu, Sabtu malam.

Ketika menyampaikan sambutan pada acara “Pengukuhan Kader Pemuda Bersih Narkoba dan HIV Aids” tingkat Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang dihadiri sekitar 1.000 pelajar dan mahasiswa setempat, Adhyaksa mengatakan kedua masalah tersebut harus menjadi perhatian serius semua elemen masyarakat.

Proses penanggulangannya, menurut dia, perlu dilakukan secara bersama dan terus-menerus, karena dampaknya dapat melemahkan bangsa ini.

Ia juga mengatakan, salah satu pintu masuk narkoba adalah melalui rokok.

Karena itu, katanya mengimbau, bagi para pemuda, pelajar, dan mahasiswa yang belum merokok janganlah mendekatinya. Juga, kepada mereka yang telah terlanjur menjadi perokok, agar segera menghentikannya.

“Apalagi anak sekolah sangat rawan terjerumus narkoba, sehingga memerlukan pengawasan diri yang kuat serta oleh orang tua dan keluarganya sendiri,” katanya.

Sebelumnya, Gubernur Sulteng HB Paliudju melaporkan bahwa daerahnya sangat rawan dengan peredaran narkoba, karena merupakan “daerah terbuka” yang memudahkan orang-orang dari provinsi tetangga dan provinsi lainnya masuk-keluar.

Bahkan, kata Gubernur dalam sambutan tertulis yang dibacakan Asisten II Setprov Sulteng, Nadjib Godal, penggunaan narkoba di daerahnya dewasa ini telah melebihi lima persen dari total generasi muda yang ada.

Karena itu, Gubernur Paliudju mengajak semua elemen masyarakat setempat yaitu pemuka agama, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi pemuda, pimpinan organisasi sosial-kemasyarakatan bersama dengan pemerintah, untuk terus bergandengan tangan melakukan pemberantasan terhadap bahaya narkoba.

Mengenai kasus HIV/Aids, Gubernur Sulteng melaporkan hingga akhir tahun 2008 yang terdeteksi di daerahnya sudah mencapai 71 kasus, terdiri atas 60 kasus HIV dan 11 kasus lainnya telah meningkat ke Aids.

Khusus mereka yang positif menderita Aids, sebagian besarnya sudah meninggal dunia.

“Kasus HIV/Aids di daerah ini dari tahun ke tahun terus meningkat, sehingga diperlukan pula langkah kebersamaan antara pemerintah daerah dan semua elemen masyarakat untuk aktif melakukan penanggulangan,” katanya.

Sebelum acara ini dimulai, para peserta yang mengikuti kegiatan tersebut saat memasuki ruangan di Gedung Manggala Sakti Palu berebutan membubuhkan tanda-tangan mereka di atas kain putih sepanjang lima meter, berisi pernyataan sikap “Pemuda/i dan Pelajar Sulawesi Tengah Menyatakan Tidak!!! Pada Narkoba”. (Antara News, 15/03/09)

Komentar:

Inilah buah dari sistem sekularisme yang mengancam masa depan para remaja dan pemuda di negeri ini. Sekularisme, ide pemisahan agama dari kehidupan ini disadari atau tidak telah dipaksakan baik melalui sistem pendidikan maupun melalui kehidupan sosial yang rusak. Hasilnya perilaku yang rusak seperti pergaulan bebas, penggunaan narkoba, dan perilaku rusak lainnya mengancam generasi. Persoalan tersebut tak akan selesai selama Islam sebagai sebuah sistem hidup ditinggalkan.

Sudah saatnya kaum Muslim di negeri ini kembali kepada pangkuan sistem Islam saja yang akan ditegakkan melalui Khilafah Rasyidah. Berikan kesempatan kepada Islam untuk membina mereka. Berikan kesempatan kepada Islam untuk membangun masyarakat yang benar-benar selamat baik di dunia maupun di akhirat. Kaum Muslim hanya membutuhkan itu, bukan dengan solusi-solusi lain yang semu dan menambah persoalan.

Sabtu, 14 Maret 2009

Caleg Habiskan Dana Miliaran Rupiah


Uang dari Kantong Pribadi maupun Sumbangan

Meskipun kampanye rapat umum belum dimulai, sejumlah calon anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat mengaku sudah mengeluarkan dana kampanye mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Kebutuhan dana kampanye hingga rapat umum selesai diperkirakan akan melonjak hingga dua kali lipat dibandingkan dengan dana yang telah digunakan sekarang.

Calon anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan untuk Daerah Pemilihan DKI Jakarta III, Nur Kholisoh, Jumat (13/3), mengatakan sudah menghabiskan dana kampanye sekitar Rp 200 juta. Sebagian besar dana itu digunakan untuk pembelian atribut dan operasional kampanye. Ia berharap bisa mengumpulkan hingga Rp 400 juta-Rp 500 juta hingga masa kampanye terbuka selesai.

”Saya harus membatasi diri sesuai kemampuan. Saya tidak akan memaksakan diri,” kata Nur Kholisoh.

Dana itu diperoleh dari kantong pribadi Kholisoh yang dikumpulkan sejak Pemilu 2004 usai. Kholisoh enggan meminta sumbangan ke pengusaha karena khawatir dengan kompensasi politik jika ia terpilih.

Sementara itu, caleg DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk Dapil Jawa Tengah VIII, Budiman Sudjatmiko, mengatakan sudah menerima sumbangan sekitar Rp 300 juta. Selain uang, dia menerima sumbangan natura berupa kain bahan atribut dan diskon stiker.

Budiman berharap hingga kampanye rapat umum selesai, ia mampu mengumpulkan sumbangan hingga Rp 600 juta-Rp 700 juta. Tambahan dana itu ia butuhkan untuk mengunjungi hingga separuh desa di dapilnya. Sistem penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak membuatnya harus bertarung keras dengan caleg lain karena nomor urutnya tidak berguna lagi.

Sejumlah caleg lain telah menghabiskan dana kampanye hingga miliaran rupiah. Rekan Kholisoh sudah menghabiskan Rp 1 miliar. Adapun rekan Budiman telah habis Rp 3 miliar.

Meskipun para caleg DPR ataupun DPRD menghabiskan dana cukup besar, tidak ada mekanisme yang mewajibkan mereka melaporkan dana kampanyenya ke KPU. Selama ini kewajiban menyampaikan laporan dana kampanye hanya dibebankan kepada partai politik dan calon anggota DPD sebagai peserta pemilu.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo mengatakan, perubahan cara penetapan caleg terpilih tidak diikuti dengan perubahan cara pelaporan dana kampanye. Meskipun setiap caleg mengeluarkan dana kampanye cukup besar, dana tersebut tidak wajib dilaporkan dan dimasukkan ke dalam rekening partai.

Seharusnya para caleg juga diwajibkan melaporkan dana kampanye. Meskipun pesera pemilu dalam undang-undang adalah partai politik, peserta riil kampanye adalah caleg.

”Sebagai institusi publik, caleg seharusnya melaporkan sumbangan yang diterimanya kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawabannya,” kata Adnan. (Kompas, Sabtu, 14 Maret 2009)

Pesta Demokrasi: Biar Tekor Asal Sohor


Orang Bogor Kampung, memiliki budaya biar tekor asal sohor. Celaka-nya, tradisi yang menurut Clifford Geertz mencer-minkan budaya kemiskinan itu, ternyata juga menjadi budaya pesta demokrasi Indonesia.

Setelah menyelenggarakan Pemilu 2004 yang didukung Amerika dengan duit Rp 32 Milyar melalui 28 institusi, Indonesia diberi “Medali Demokrasi” oleh IAPC. Indonesia juga menjadi tuan rumah Konferensi IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik) ke-40 di Bali tahun 2007. Co-chairman Komite Konferensi IAPC, Robert Murdoch, mengatakan, pemilihan ini sebagai penghor-matan bagi Indonesia sekaligus syiar demokrasi di seluruh dunia (web.bisnis.com, 13/11/07).

Kita pun jadi getol berpesta colok wal coblos. Dengan asumsi tanpa pemekaran wilayah lagi dalam kurun 2009-2014, Indo-nesia akan melakukan 503 pemilu memperebutkan 19.433 kursi. Minimal sekali pemilihan presiden dan wakilnya, 4 kali pemilu legislatif, 32 kali pemilihan guber-nur dan wakilnya, 466 kali pemilihan bupati dan wakilnya termasuk wali kota dan wakilnya.

Maka, dalam setahun bakal digelar lebih 100 kali pemilihan, atau rata-rata 8 pemilu tiap bulan, atau 2 pemilu per pekan. Dalam rentang 5 tahun itu warga pemilih akan mendatangi TPS 10-11 kali untuk nyoblos.

Berapa Biayanya?

Untuk pesta demokrasi 2008-2009, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menganggarkan Rp 47,9 trilyun. Berasal dari APBN Rp 22,3 trilyun dan dari APBD Rp 25, 6 trilyun. Anggaran ini bahkan nyaris menyamai biaya mengen-taskan kemiskinan tahun 2007 sebesar Rp 57 trilyun.

Ditambah dana cawe-cawe asing yang mencapai 12,35 juta USD, berasal dari Australia, Belanda, Inggris, Kanada, Spanyol, dan Swedia. Ada lagi pasokan dana asing yang tidak melalui UNDP sebesar 38,1 juta USD. Antara lain dari Amerika US$7 juta dan Australia US$19 juta. Demi-kian pemaparan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bap-penas Lukita Dinarsyah Tuwo di Kantor Bappenas, Jakarta (19/9/2008).

Itu yang resmi. Amien Rais pernah mensinyalir bahwa Pre-siden SBY menerima dana kampanye dari Amerika. Dengan emosional SBY membantah. Dan akhirnya isyu kempes setelah ‘’silaturahim Bandara Halim” Amien-SBY.

Daerah pun tak mau kalah dari pusat. Biaya Pilgub Jabar misalnya, lebih dari Rp 500 milyar. Sedangkan biaya politik tiap pasangan cagub-cawagub men-capai Rp 60 milyar. Pilkada Jawa Timur bahkan menelan biaya lebih dari Rp 1 trilyun dalam dua putaran plus.

Berapa pula biaya demok-rasi partai dan caleg?

Menurut Associate Media Director Hotline Advertising, Zai-nul Muhtadin, minimal Rp 100 milyar per kandidat presiden. (tempointeraktif.com 24/01/08).

Menurut Rizal Mallara-ngeng, pendiri Jasa Konsultan Strategi dan Politik Foxindonesia, “Biaya untuk menjangkau kesa-daran publik melalui media berkisar antara Rp 15 per kapita. Jika menggunakan pawai dan acara-acara sejenisnya biaya membengkak menjadi Rp 1.000 tak terhingga per kapita,” ujarnya.

Subiakto, CEO Hotline Advertising, mengakui untuk kampanye pasangan Cagub DKI Jakarta Fauzi Bowo keluar dana sekitar Rp 20 milyar. Itu termasuk margin keuntungan bersih sekitar 20-30 persen.

Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB), seperti dilaporkan Jawa Pos (25/05/08), menghabis-kan dana ”Hidup adalah Per-buatan” sebesar Rp 151,2 milyar. Ini baru di teve. Padahal, SB juga gencar beriklan di radio, media cetak, media luar ruang, bahkan bioskop. Milyaran lagi duitnya keluar.

Iklan politik memang sa-ngat diminati politikus. Menurut survey Kompas edisi Minggu 20 Juli 2008, kampanye via bendera memiliki efektivitas 44,7 persen, spanduk 44,8 persen, iklan TV 71,7 persen, aksi pengerahan massa 71,2 persen, serta karnaval 70,9 persen.

Mari kita coba menghitung biaya pilkada. Katakanlah ada sekitar 100 kali pilkada pertahun, maka jika masing-masing hanya diikuti tiga pasangan kontestan saja, ada 300 pasangan calon kepala daerah. Andai tiap calon menghabiskan Rp 1 milyar untuk biaya iklan politik saja, maka setahun belanja iklan politik mencapai Rp 300 milyar. Ini minimal lho.

Nah, untuk iklan politik partai peserta pemilu 2009 yang berjumlah 34 partai, angkanya pasti akan semakin membengkak. Apalagi setiap calon legislatif dari ke-34 partai itu juga akan “men-jual diri” menjelang pemilu. Kalikanlah angka 34 partai, dengan 70 daerah pemilihan, kemudian dikalikan lagi dengan rata-rata 6 calon anggota legislatif per daerah pemilihan, kemudian dikalikan rata-rata pengeluaran duit per kandidat sebesar Rp 1 milyar. Totalnya: Rp 14,28 trilyun. Edun!

Menurut Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latief, pesan-pesan iklan politik keba-nyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik. “Bahkan tidak nyambung dengan kebutuhan batin rakyat,” ujarnya.

Demokrasi Indonesia akhir-nya hanya sebatas pesta. Ironisnya, usai pemilu 2004 misalnya, sebagian intelektual KPU termasuk seorang profesor UI, malah dijebloskan ke penjara lantaran makan suap. Lalu, satu persatu pejabat atau wakil rakyat yang merupakan produk pemilu 2004, juga dibekuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sebelum hengkang dari Senayan beberapa waktu lalu, Permadi dari PDIP membeberkan enam kebobrokan DPR. Semua-nya berupa korupsi waktu, uang, dan tanggung jawab. “Kalau saya dibilang memfitnah silahkan, toh publik sudah tau bagaimana bobroknya DPR,” katanya seperti dikutip Okezone (30/1)

Itu semua lantaran tiga hal. Pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Ketiga, mahalnya ongkos politik. [] taqiyuddin albaghdady/www.mediaumat.com

Produk Khianat dari Senayan

Legislasi (penyusunan UU) adalah fungsi terpenting DPR. Tapi lihatlah, banyak UU yang justru mengkhianati rakyat. Yang terbaru adalah UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008. Sebelumnya juga, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan pada 17 Desember 2008.

UU Minerba semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asingkarena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuatuntuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).

Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. [] taqiyuddin albaghdady (mediaumat.com, 07/03/09)

Politik Ekonomi Ideal (Telaah Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla)

Pengantar

Kasadaran terhadap malapetaka universal akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik telah mendorong sejumlah pemikir untuk menggagas sistem ekonomi alternatif yang bisa membawa umat manusia menuju kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kesadaran ini semakin mengkristal ketika krisis demi krisis terus menghajar dunia dan keadaan perekonomian negara-negara berkembang tidak menunjukkan tanda-tanda menuju kearah perbaikan.

Sosialisme-marxisme yang diyakini mampu menggantikan sistem kapitalistik ternyata juga gagal. Bahkan rezim ini lebih dulu ambruk di tangan kaum kapitalis pada tahun 90-an. Dunia tetap dicengkeram oleh sistem kapitalistik dan terus ditimpa berbagai macam krisis. Walaupun para pemikir kapitalis telah menyodorkan sejumlah gagasan dan kebijakan untuk meredam dan mencegah krisis dunia, gagasan itu nyata-nyata mandul. Ini karena mereka tidak pernah menyentuh akar persoalan ekonomi dunia, yakni paradigma dan sistem kapitalistik itu sendiri. Mereka masih menyakini bahwa Kapitalisme adalah ideologi final yang tidak bisa diganggu gugat. Padahal akar masalahnya justru terletak pada Kapitalisme itu sendiri.

Berangkat dari faktor-faktor inilah, Dr. Abdurrahman al-Malikiy mengetengahkan buku As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) sebagai wujud perhatian beliau terhadap keadaan kaum Muslim di bidang ekonomi.

Dalam buku ini Dr. Abdurrahman al-Maliki menguraikan kesalahan-kesalahan paradigmatik sistem ekonomi kapitalis dan sosialis berikut pandangan-pandangan derivatifnya. Beliau juga menjelaskan isu-isu penting yang berhubungan dengan utang luar negeri, sistem moneter, program pendanaan untuk kegiatan pertanian dan industri, neraca pertumbuhan, jaminan terhadap kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat, dan lain sebagainya.

Semua ini dilakukan agar perencanaan dan program pembangunan ekonomi di negeri kaum Muslim benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan selalu sejalan dengan syariah Islam. Lebih dari itu, buku ini bisa menjadi bekal bagi Daulah Islamiyah untuk dapat menjadi negara mandiri yang kuat secara ekonomi dan politik.

Jika Anda membaca satu-persatu topik yang ada dalam buku ini, niscaya Anda akan menemukan paradigma baru dalam melihat persoalan-persoalan ekonomi dunia serta apa yang sesungguhnya terjadi di negeri-negeri kaum Muslim. Anda akan menyadari sepenuhnya bahwa program pembangunan ekonomi yang disodorkan kaum kapitalis Barat sejatinya bukan untuk mengantarkan Dunia Ketiga menjadi negara yang kuat, tetapi justru untuk melanggengkan penjajahan dan dominasi mereka atas Dunia Ketiga.

Politik Ekonomi Islam

Dr. Abdurrahman al-Maliki menyatakan bahwa politik ekonomi Islam adalah sejumlah hukum (kebijakan) yang ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan (jika memungkinkan) terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap orang (perindividu) yang hidup di dalam Daulah Islamiyah, sesuai dengan syariah Islam.

Dengan demikian, politik ekonomi Islam didasarkan pada empat pandangan dasar:

1. Setiap orang adalah individu yang membutuhkan pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhannya.
2. Adanya jaminan bagi setiap individu yang hidup di dalam Daulah Islamiyah untuk memenuhi kebutuhan primernya.
3. Islam mendorong setiap orang untuk berusaha dan bekerja mencari rezeki agar mereka bisa mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup; alias bisa memasuki mekanisme pasar.
4. Negara menerapkan syariah Islam untuk mengatur seluruh interaksi di tengah-tengah masyarakat serta menjamin terwujudnya nilai-nilai keutamaan dan keluhuran dalam setiap interaksi, termasuk di dalamnya interaksi ekonomi.

Atas dasar itu, politik ekonomi Islam tidak sekadar diarahkan untuk meningkatnya pendapat nasional (GNP) atau disandarkan pada pertumbuhan ekonomi nasional, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Politik ekonomi Islam terutama ditujukan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh bagi setiap orang yang hidup di Daulah Islamiyah. Atas dasar itu, persoalan ekonomi bukanlah bagaimana meningkatkan kuantitas produksi barang dan jasa, tetapi sampainya barang dan jasa itu kepada setiap orang (distribusi). Hanya saja, pertumbuhan ekonomi juga menjadi obyek yang diperhatikan dan hendak diselesaikan di dalam sistem ekonomi Islam. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa obyek persoalan ekonomi dalam sistem ekonomi Islam ada macam: (1) politik ekonomi; (2) pertumbuhan kekayaan.

Politik ekonomi Islam mencakup dua pembahasan penting: (1) sumber-sumber ekonomi; (2) garis-garis besar kebijakan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan primer (basic needs). Pertumbuhan ekonomi harus bertumpu pada empat kebijakan penting: politik pertanian; politik industri; pendanaan-pendanaan proyek; dan penciptaan pasar-pasar luar negeri untuk produk-produk Daulah Islamiyah.

Pada dasarnya, sumber-sumber ekonomi ada empat macam; pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Sumber-sumber ekonomi lain, semisal dari sektor pariwisata, transportasi, gaji, dan lain sebagainya dianggap sebagai sumber pelengkap; bukan sumber ekonomi primer. Untuk itu, kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan sumber ekonomi dikonsentrasikan pada empat sektor di atas: pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia.

Setelah terurai dengan jelas apa saja yang menjadi sumber-sumber primer ekonomi, buku ini menjabarkan secara lebih detail paradigma dan hukum Islam penting yang berhubungan dengan sumber-sumber ekonomi tersebut (yakni; persoalan pertanian, perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia). Penulis juga memaparkan sejumlah pandangan keliru yang berkaitan dengan persoalan tanah, industri, perdagangan, dan tenaga manusia. Misal: dalam hal tanah, beliau mengkritik teori persamaan kepemilikan tanah, land reform, yang disodorkan oleh kaum sosialis. Beliau juga mengetengahkan solusi untuk mengatasi feodalisme, yakni penguasaan tanah yang sangat luas oleh orang-orang tertentu.

Dalam masalah industri, beliau menekankan pentingnya perindustrian untuk menopang ekonomi negara. Beliau juga menyatakan, bahwa hukum asal dari industri adalah milik individu. Namun, industri bisa berubah menjadi milik umum ketika bahan mentah yang hendak diolah adalah milik umum.

Dalam masalah tenaga manusia, beliau juga mengurai paradigma perburuhan, permasalahan perburuhan, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan jaminan sosial, dasar penetapan gaji buruh; serta kritik terhadap pandangan kaum kapitalis maupun sosialis berkaitan dengan persoalan perburuhan, jaminan sosial untuk buruh, dan sebagainya. Dalam masalah perburuhan ini, beliau juga mengurai pandangan kaum kapitalis dan sosialis dalam masalah jaminan sosial, jaminan atas pemenuhan kebutuhan primer, dan lain sebagainya.

Dalam masalah perdagangan, beliau juga mengurai pandangan dasar serta hukum-hukum yang berkenaan dengan perdagangan, mata uang, kurs mata uang, dan lain sebagainya.

Adapun terkait dengan pertumbuhan ekonomi, meskipun peningkatan kekayaan dengan cara menciptakan proyek-proyek ekonomi tidak terkait dengan pandangan hidup tertentu (karena bersandar pada ilmu ekonomi yang bebas nilai (free of value), tidak bisa dipungkiri bahwa pandangan hidup tertentu sangat berpengaruh dalam penetapan langkah-langkah untuk membangun proyek-proyek tersebut. Karena itu, penetapan proyek-proyek yang berhubungan dengan masalah pertumbuhan ekonomi harus didasarkan pada pandangan hidup Islam. Kebijakan-kebijakan untuk peningkatan kekayaan ekonomi ini bertumpu pada kebijakan (politik) dalam bidang pertanian, industri, pendanaan proyek dan penciptaan pasar luar negeri untuk produk-produk Daulah Islamiyah.

Kebijakan dalam bidang pertanian didasarkan pada sebuah paradigma, bahwa proyek-proyek pertanian dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum syariah yang berhubungan dengan tanah. Dengan demikian, proyek-proyek untuk produksi pertanian mengikuti status kepemilikan atas lahan-lahan pertanian. Menurut al-Maliki, status lahan-lahan pertanian tersebut kebanyakan adalah milik individu, bukan milik negara maupun umum. Untuk itu, negara tidak memiliki peran terlalu menonjol dari proyek-proyek pertanian. Dengan kata lain, proyek-proyek pertanian adalah proyek yang bersifat individual, bukan komunal. Namun demikian, negara bertanggung jawab memberikan modal kepada petani yang tidak memiliki modal untuk menggarap lahan pertaniannya. Negara juga bertanggung jawab penuh dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur seperti pembuatan jalan, irigasi, bendungan, dan lain sebagainya sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan.

Politik pertanian dirancang sedemikian rupa untuk meningkatkan produksi pertanian; biasanya ditempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Semua kebijakan (politik) pertanian harus ditujukan untuk meningkatkan produksi pada tiga produk penting:

1. Produksi bahan makanan; agar ada ketersediaan bahan makanan pokok bagi rakyat. Pasalnya, makanan pokok merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
2. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat pakaian seperti kapas, wol, pohon rami, dan lain sebagainya. Produk-produk semacam ini sangat penting karena ia termasuk kebutuhan primer.
3. Komoditas ekspor yang memiliki pasaran di luar negeri seperti palawija, karet, kopra, cengkeh, sutra, kapas, dan lain sebagainya.

Ini jika ditinjau dari aspek peningkatan produksi.

Adapun ditinjau dari aspek pembangunan infrastruktur, seharusnya negara menitik-beratkan pada pembangunan infrastruktur-infrastruktur industri agar terjadi revolusi industri yang bisa mendorong terjadinya kemajuan di bidang ekonomi. Sebab, tujuan dari pembangunan ekonomi adalah menciptakan kemajuan materi. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan revolusi industri. Sayang, Barat telah meracuni negeri-negeri kaum Muslim dengan program pembangunan yang menitikberatkan pada bidang pertanian, baru kemudian industri. Semua ini ditujukan agar di negeri-negeri kaum Muslim tidak terjadi revolusi industri. Akibatnya, sampai sekarang, negeri-negeri kaum Muslim tidak pernah maju dan kuat secara ekonomi.

Adapun politik industri ditujukan untuk menjadikan negara sebagai negara industri. Tujuan ini hanya bisa tercapai dengan cara memproduksi alat-alat berat yang digunakan untuk menunjang proyek-proyek pembangunan negara lainnya, dan untuk memangkas ketergantungan kepada pihak asing. Untuk itu, pembangunan sektor industri harus mendapatkan porsi perhatian yang sangat serius untuk mempercepat terjadinya revolusi industri di negara tersebut.

Sementara itu, kebijakan dalam pendanaan proyek-proyek sesungguhnya bergantung pada jenis proyek itu sendiri, apakah termasuk sektor privat ataukah sektor publik. Jika proyek-proyek pembangunan itu termasuk sektor privat maka negara hanya memberikan bantuan-bantuan kepada pelaku proyek, dan menyediakan infrastrukturnya saja. Jika proyek itu termasuk sektor publik maka pendanaan untuk proyek-proyek semacam ini membutuhkan pengkajian yang mendalam. Pendanaan untuk proyek-proyek semacam ini harus bersandar pada kas negara yang tersimpan di Baitul Mal. Dalam hal ini, negara tidak boleh bersandar pada utang luar negeri. Sebab, telah tampak jelas bahaya utang luar negeri bagi negara-negara pengutang. Untuk itu, pembaca bisa membaca ulasan Dr. Abdurrahman al-Maliki mengenai bahaya utang luar negeri bagi kaum Muslim.

Khatimah

Pembangunan di negeri-negeri kaum Muslim yang mengikuti program dan arahan Barat telah terbukti tidak mengantarkan negeri-negeri kaum Muslim menjadi negara yang makmur dan kuat secara ekonomi. Bahkan negeri-negeri kaum Muslim terus terpuruk dan semakin bergantung pada kaum kafir Barat. Bahkan program pembangunan di Dunia Ketiga justru dijadikan senjata oleh kaum kafir untuk menguras kekayaan alam dan menghalangi negeri-negeri itu menjadi negara industri yang kuat dan tangguh. Untuk itu, sudah selayaknya kaum Muslim menyadari sepenuhnya rencana-rencana jahat kaum kafir di balik program pembangunan dan rekonstruksi Dunia Ketiga.

Buku ini penting dibaca, khususnya oleh para penguasa Muslim dan pembuat kebijakan ekonomi negara. Dengan itu, program pembangunan dan kebijakan ekonomi di negeri-negeri kaum Muslim benar-benar mampu mengantarkan mereka menuju kesejahteraan dan menjadikan mereka sebagai negara yang kuat dan tangguh, bukan menjadi negara lemah yang terus dijadikan sapi perahan kaum imperialis Barat dan menjadi pasar bagi produk-produk Barat.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]

Runtuhnya Trias Politika

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Pernyataaan Lord Acton yang dibuat pada abad ke-19 memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini. Pengalaman Eropa pada zaman kegelapan di bawah raja-raja tiran membuat para filosof mencari tahu mengapa penindasan itu terjadi. Mereka kemudian sampai pada kesimpulan, penindasan para tiran terjadi karena mereka memiliki kekuasaan yang absolut tanpa batas.

Montesquieu, dalam the Spirit of Laws, lalu menggagas doktrin trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara sekular-demokrasi. Doktrin ini memisahkan kekuasaan menjadi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lahirlah kemudian negara republik-demokrasi, yang kekuasaan eksekutifnya diserahkan kepada presiden atau perdana menteri; legislatifnya—yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum—diserahkan kepada parlemen; dan yudikatifnya diserahkan kepada lembaga pengadilan.

Secara teoretis, trias politika diharapkan bisa mencegah pemerintah tiranik. Lembaga legislatif, karena merupakan wakil rakyat, diharapkan akan menghasilkan hukum dan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Lembaga ini diharapkan pula akan selalu mengoreksi kebijakan pemerintah. Adapun pihak eksekutif (pemerintah) akan memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena kalau tidak, rakyat tidak akan lagi memilih mereka. Yudikatif pun diharapkan mandiri dan independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi. Namun, realitanya tidak seindah doktrin yang diharapkan.

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian baru, yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah ketiak pemilik modal. Lahirlah negara korporasi; penguasa pun ‘berselingkuh’ dengan pengusaha. Penguasa lebih tunduk dan berpihak kepada pengusaha yang mendanai penguasa terpilih. Maklum, untuk bisa terpilih, seorang penguasa butuh dana yang besar. Adapun yudikatif tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, pasalnya yudikatif juga mudah disuap.

Produk hukum yang dilahirkan oleh Parlemen tidak selalu memihak rakyat. Di Indonesia DPR mengeluarkan UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air yang pro-liberal. Berdasarkan UU Migas Pemerintah membuat kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. Akibatnya, harga BBM dalam negeri naik dan rakyat yang menjadi korbannya. Berdasarkan UU Kelistrikan PLN pun secara bertahap di privatisasi. Dipastikan dengan privatisasi PLN, listrik akan semakin mahal. Nyaris sama dengan legislatif, kekuasaan eksekutif pun tidak memihak rakyat.

Gambaran hubungan ini tampak jelas dalam sistem politik AS. Bisa disebut hampir semua politisi AS adalah para konglomerat atau didukung penuh pebisnis kaya. Keluarga Bush, misalnya, dikenal sebagai konglomerat korporasi minyak. Wakil Presiden AS sekarang, Dick Cheney, adalah CEO Halliburton yang bermasalah. Mantan Menlu AS Collin Powel pernah duduk dalam dewan direktur AOL. Terdapat juga nama Thomas White mantan eksekutif Enron (yang juga bermasalah), dan Paul O’Neill, mantan CEO Alcoa, perusahaan alumanium terbesar dunia.

Dipilihnya mereka bukan tanpa alasan. Mereka merupakan donatur besar yang mendukung keberhasilan Bush menjadi presiden. Pada Pemilu tahun 2000 lalu, 70% dari US$ 1,9 juta sumbangan politik WorldCom mengalir ke Partai Republik. Dari tahun 1989 hingga 2001, Enron telah memberikan sumbangan besar US$ 113.800 kepada Partai Republik.

Bisa dimengerti mengapa para politisi AS, baik di eksekutif atau legislatif, mendukung penuh kebijakan Bush saat menyerang Irak. Persoalan utamanya bukanlah masalah terorisme, tetapi persoalan bisnis minyak yang menggiurkan. Demikian sebagaimana ditulis Alan Greenspan yang mantan pimpinan bank sentral AS.

Pengusaha minyak dunia pun meraih untung besar. Sebagaimana dirilis EksNas-LMND (22 Februari 2007) tentang laporan pendapatan untuk tahun 2007, ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 biliun atau setara dengan Rp 3.723.020.000.000.000,- (dengan kurs rupiah 9.170,-). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 biliun, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790,-. Perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 biliun atau Rp 171.479.000.000.000,-. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 miliar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000,-

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa negara Dunia Ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp 4.000 triliun; untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. triliun. Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Di negara kampiun demokrasi sendiri, trias politika tidak benar-benar terjadi. Konstitusi AS menentapkan kewenangan Presiden dalam mengampuni seluruh pelaku kejahatan, kecuali impeachment. Bab II Pasal II menyatakan: “President shall have power to grant reprieves and pardons for offenses againts the United States, except in cases of impeachment.” (Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan ampunan dan penangguhan untuk setiap pelanggaran di Amerika Serikat, kecuali dalam hal impeachment).

Kewenangan ini membuat Presiden AS memegang kekuasaan yudisial yang besar untuk membatalkan keputusan pengadilan atau bahkan sama sekali membatalkan gugatan atau tuntutan. Penyimpangan yang paling terkenal dilakukan Presiden Gerald Ford pada 1974. Setelah Richard Nixon berhenti dari jabatannya karena tersangkut skandal Watergate, Wakil Presiden Ford memegang jabatan presiden. Dalam pidatonya di televisi tanggal 8 September 1974, Presiden Ford memberikan ampunan penuh kepada Nixon atas kesalahannya dan menghentikan penyeledikan skandal Watergate.

Hubungan penguasa-pengusaha juga terjadi di Indonesia. Banyak elit politik yang juga dikenal sebagai pengusaha. Kalau keadaannya seperti itu, sangat sulit diharapkan parlemen yang mengklaim wakil rakyat bisa kritis terhadap penguasa; sulit pula diharapkan penguasa akan benar-benar berpihak kepada rakyat. Sebabnya, mereka memiliki kepentingan yang sama, yakni bisnis. Tragisnya, bukan rahasia lagi, kalau isu suap sering muncul setiap kali DPR membuat UU strategis.

Hubungan pengusaha dan penguasa di Indonesia ini tergambar baik dalam kasus BLBI. Melalui payung Inpres 8/2002, Anthony bisa bebas melenggang karena mendapat surat keterangan lunas (SKL). Utang Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI kedua pun cukup dilunasi dengan menyerahkan aset BDNI senilai Rp 18,85 triliun. Sjamsul juga membayar tunai Rp 1 triliun, ditambah penyerahan aset PT Dipasena, Gajah Tunggal Petrosel, dan Gajah Tunggal Tyre. Sama dengan Anthony, Sjamsul pun bebas setelah dihadiahi SKL.

Nasib yang sama terjadi di yudikatif. Rezim otoritarian pemilik modal bermain untuk menggolkan kepentingannya. Kasus suap yang dituduhkan kepada Urip Tri Gunawan salah satu contoh kasusnya. Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI ini tertangkap tangan oleh KPK menerima suap senilai Rp 6 miliar. Padahal sebelumnya timnya mengeluarkan keputusan bahwa BLBI tidak terbukti ada tindak korupsi. Kalau eksekutif mengabdi kepada pemilik modal dan bukan rakyat, legislatif juga membuat kebijakan yang mengabdi kepada pemilik modal dan bukan rakyat, dan yudikatif pun disuap oleh pemilik modal, bagaimana mungkin trias politika akan berfungsi?


Islam Mencegah Rezim Otoritarian

Islam sebagai agama yang komprehensif memiliki metode (tharîqah) sendiri untuk mencegah rezim otoriter. Titik awal mengapa sebuah rezim menjadi otoriter sesungguhnya terletak pada sumber hukum. Sebab, dari sumber hukum inilah undang-undang atau sebuah kebijakan dibuat. Sumber hukum yang diserahkan kepada manusia menimbulkan potensi besar bagi manusia itu untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya.

Itulah yang membuat mengapa raja pada masa kegelapan Eropa menjadi diktator. Raja mengklaim dirinya wakil Tuhan di muka bumi. Titah Raja adalah titah Tuhan, padahal agama kristen sendiri tidak memiliki sistem yang utuh dan lengkap untuk mengatur manusia. Muncullah aturan raja yang tidak bisa digugat karena dianggap perintah Tuhan.

Hal yang sama terjadi dalam sistem demokrasi. Ketika parlemen yang mengklaim atas nama rakyat diberi wewenang membuat hukum, jadilah parlemen membuat kebijakan yang sejalan dengan kepentingannya, yakni kepentingan pemilik modal.

Berbeda dengan Islam, yang menjadikan kedaulatan ada di tangan syariah, yakni Allah Swt., dengan sumber hukum al-Quran dan as-Sunnah. Perintah Khalifah sebagai penguasa tidak otomatis sebagai perintah Tuhan. Khalifah dalam kebijakannya harus merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Kalau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu, ia tidak wajib ditaati.

Khalifah mungkin saja menyimpang, karena dia manusia biasa; menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu, dalam Islam ada kewajiban—bukan hanya hak—untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya. (HR Abu Dawud).

Untuk itu, dalam Islam, keberadaan partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan hanya boleh, tetapi wajib (Lihat: QS Ali Imran [3]: 103). Partai politik dalam Negara Khilafah didirikan dengan tujuan mengoreksi Khalifah, menjaga pemikiran Islam di tengah-tengah masyarakat, dan memastikan pemerintah tidak menyimpang dari penerapan Islam.

Dalam sistem Khilafah, terdapat pula Mahkamah Mazhalim yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (Khalifah). Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Guna memastikan agar Qadhi Mazhalim bebas dari tekanan politik, syariah membatasi kekuasaan eksekutif Khalifah untuk tidak memiliki wewenang memberhentinkan seorang Qadhi Mazhalim dari posisinya jika Qadhi itu sedang menyidangkan kasus yang melibatkan Khalifah, Muawwin Tafwidh (pembantu Khalifah) atau kepala pengadilan (Qadhi al-Qudhat)

Ada pula Majelis al-Ummah, sebuah majelis yang merupakan representasi (wakil) dari masyarakat. Majelis ini dipilih oleh rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non-Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam Negara Khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi, namun memiliki kewenangan untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif Khalifah. Para anggota majelis dapat menyuarakan opini publik mereka secara bebas tanpa takut dibungkam atau dibui. Sejalan dengan kekuasaan mandatarisnya, majelis ini memiliki kekuatan dalam menilai kinerja Khalifah dan pemerintahannya.

Ada perkara penting lain dalam Negara Khilafah, yakni Khalifah tidak boleh melakukan penyiksaan dan tajassus (memata-matai) rakyatnya, baik Muslim ataupun non-Muslim. Penahanan dan penawanan sewenang-wenang sangat terlarang dalam Negara Khilafah. Prinsip hukum habeas corpus (kesetaraan di depan hukum) diberlakukan. Setiap orang yang ditahan harus dihadapkan ke pengadilan dan kasus mereka harus diputuskan oleh seorang qâdhî (hakim). Rasulullah saw memerintahkan agar dua pihak yang bertikai harus berhadapan di pengadilan. (HR Abu Dawud).

Seluruh tersangka diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga pengadilan syariah membuktikannya bersalah. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Penuntut wajib menghadirkan bukti dan saksi yang disumpah atas perkara yang disaksikannya. (HR al-Baihaqi).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Farid Wadjdi]

POLITIK PEREMPUAN ( KASUS KUOTA 30% DAN ZIPPER SISTEM)

“Cuman perempuan yang paling tahu soal perempuan.” Inilah sebuah ungkapan yang semakin memotivasi para pejuang hak-hak perempuan untuk terus maju berjuang agar perempuan menjadi warga Negara kelas satu sama dengan laki-laki. Oleh sebab itu, tidak aneh bila selanjutnya posisi penentu kebijakan menjadi target utama perjuangan politik mereka. Mereka beranggapan semakin banyak perempuan yang duduk di parlemen, semakin kuat suaranya mewarnai kebijakan yang akan diberlakukan. Dengan begitu, kepentingan mereka akan terpenuhi. Bahkan, mereka juga menginginkan untuk duduk di elite kekuasaan (menjadi penguasa) karena dianggap sebagai langkah yang lebih tepat dan nyata. Untuk mendukung dan mengoptimalkan perjuangan, mereka memandang sistem politik harus lebih demokratis lagi. Untuk itu, demokratisasi menjadi agenda yang harus diperjuangkan. Walaupun demikian, pada kenyataannya perempuan tidak mampu mempengaruhi kebijakan nasional, karena pelaksanaan kebijakan bergantung pada lembaga eksekutif. Ketika telah duduk elite kekuasaan, tanggung jawab formal mereka juga ada pada elite kekuasaan yang lebih tinggi, tidak pada rakyat apalagi, pada perempuan.

Tanggal 12 Februari 2003 boleh jadi merupakan hari bersejarah bagi para aktivis perempuan di Indonesia. Pada tanggal tersebut sidang paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu yang didalamnya tercantum kuota perempuan di DPR. Ihwal kuota tersebut terdapat pada pasal 65 ayat (1). Ayat tersebut selengkapnya berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekutang-kurangnya 30 persen. Fraksi Golkar, PPP, dan PKB merupakan tiga fraksi yang mempunyai andil besar mengengolkan kuota tersebut (Media Indonesia, 19/2/2003).

Sementara itu saat ini perdebatan pun semakin hangat pada level pengambil kebijakan mengenai konsep zipper system yang mewajibkan bahwa dari 3 orang caleg terpilih harus ada satu orang perempuan. Hal ini juga masih mengalami tarik ulur kepentingan karena zipper system ini dianggap tidak relevan untuk diterapkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan untuk menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, untuk itu setiap orang yang ingin menjadi caleg haruslah berkompetisi pada ajang pemilu ketika mereka ingin menjadi anggota legislatif termasuk wanita.

Terlepas dari itu peran politik perempuan yang masih sangat minim disebabkan karena budaya masyarakat Indonesia yang masih patrialkal dan kurangnya akses perempuan dalam sektor politik, sehingga dinilai bahwa karena pengambil kebijakan adalah kebanyakan dari kalangan lelaki maka mereka menganggap perlu untuk melibatkan diri dalam proses pengambilan kebijakan hal inilah yang mengilhami gerakan kaum feminis untuk memberikan dorongan kepada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya, yaitu sebagai ibu yang mempersiapkan generasi yang berkualitas dan pengatur rumah tangga. Kaum feminis menganggap bahwa domestikasi perempuan merupakan sebuah sub-ordinasi atas perempuan. Kiprah perempuan di sektor domestik tidak menghasilkan uang sehingga mereka akan bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Perempuan akan menerima perlakuan tersebut dengan terpaksa karena takut kehilangan sumber ekonominya. Kenyataan ini mereka anggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Para feminis menganggap bahwa terjadi kekerasan negara terhadap perempuan, negara membuat sejumlah kebijakan atau hukum yang tidak menguntungkan perempuan. Ini karena kekuasaan Negara didominasi oleh para lelaki. Sebab, lelaki dengan bias kelelakiannya, dianggap tidak memahami permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh perempuan. Akibatnya, mereka tidak memiliki empati sehingga mereka banyak membuat kebijakan yang merugikan kaum perempuan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah relevankah penyelesaian permasalahan perempuan di semua sektor kehidupan akan terwujud dengan tercapainya kuota 30 % perempuan yang duduk di parlemen, pemerintahan, maupun partai politik?

Secara normatif, sistem demokrasi mengajarkan kebebasan berpendapat. Setiap partai peserta pemilu sudah pasti memiliki visi sendiri-sendiri. Oleh karena itu, boleh jadi seluruh perempuan anggota parlemen tidak memiliki suara yang sama dalam menyelesaikan permasalahan perempuan karena terkait dengan visi partai yang menaunginya. Demikian pula yang duduk dalam pemerintahan. Tidak semua perempuan memiliki visi dan paradigma yang sama dalam memandang kehidupan. Ini akan menimbulkan perpecahan pendapat hingga permasalahan perempuan itu sendiri tidak terselesaikan.

Sementara itu, secara faktual, permasalahan perempuan juga tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan lintas sektoral yang ada dalam sistem negara. Oleh karena itu, penyelesainnya pun seharusnya bersifat lintas sektoral. Namun, apakah sistem negara di Indonesia yang bersifat kapitalistik mampu meredam seluruh permasalahan yang sudah sangat kompleks, termasuk permasalahan perempuan? Contoh nyata, Indonesia yang top leader-nya seorang perempuan ternyata makin hari makin terpuruk. Jangankan menyelesaikan masalah yang terjadi, permasalahan justru makin hari makin bertambah. Kasus suap yang melanda anggota dewan maupun yang dilakukan partai-partai politik, kasus BPPN, penyimpangan anggaran yang mencapai tiga ratusan triliun rupiah, kasus manipulasi hukum, rekayasa politik, pembodohan dan pembohongan publik, dan kasus-kasus korupsi—yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia—adalah beberapa contoh masalah yang dihadapi Indonesia. Indonesia juga adalah negara yang berada di bawah garis kemiskinan dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang makin meningkat. Semua permasalahan laksana benang kusut yang tidak bisa diurai kembali. Secara normatif memang demikianlah karakter sistem kapitalis. Siapa yang mempunyai kapital, dialah yang berkuasa menentukan kebijakan, tidak peduli yang lain menderita karenanya. Indonesia yang bergantung pada IMF tentunya harus menuruti seluruh perintah IMF yang terkandung dalam Letter of Intent (LoI), termasuk di dalamnya privatisasi BUMN dan penghapusan subsidi yang berakibat sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, wajar kalau ada yang mengatakan bahwa anggota dewan yang sebenarnya bukanlah orang-orang yang duduk di dalam Gedung DPR/MPR, termasuk anggota dewan perempuan, tetapi IMF. IMF juga sudah pasti akan membiarkan benang kusut yang melanda Indonesia tetap terjadi. Sebab, dengan begitulah Indonesia akan selalu bergantung pada IMF sehingga IMF bisa mendikte kebijakan-kebijakan yang diterapkan di Indonesia dengan sesuka hati, baik kepada anggota dewan maupun pemerintah. IMF tidak akan peduli terhadap berbagai kebijakannya yang dapat menyengsarakan rakyat Indonesia. Yang penting, kebijakan-kebijakan itu menebalkan kantong negara-negara di balik IMF itu sendiri. (Al-Wa’ie No. 32 Tahun III, 1-30 April 2003/Safar 1424 H)

Konsep pemberdayaan politik perempuan perspektif feminis sangat berbeda dengan konsep pemberdayaan politik perempuan perspektif islam. Konsep tersebut berpijak dari paham demokrasi, sekularisme, dan individualis. Ketiga paham tersebut bertentangan dengan islam.

Dalam perspektif islam, setiap muslim/muslimah harus menyadari wahyu Allah SWT sebagai sumber pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memutuskan suatu kebijakan berdasarkan ketentuan Allah SWT dan Rasulnya, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan berdasarkan suara mayoritas rakyat, bukan pula berdasarkan pendapat dan keinginan sendiri. Dalam hal ini, hukum syariat sudah pasti mampu memberikan keadilan bagi manusia dan sesuai dengan fitrah manusia sendiri karena bersumber dari Pencipta manusia. Dengan demikian, sekalipun kaum laki-laki yang mengambil kebijakan, jika ia terikat dengan hukum syariat, bisa dipastikan kebijakannya tidak akan mendiskreditkan perempuan, merampas hak-hak mereka, dan merendahkan derajat mereka. Apalagi Islam telah mendorong peran perempuan agar memfungsikan perannya dalam percaturan politik berdasarkan tujuan yang harus dicapai dan sesuai dengan bidang yang boleh dan mampu digelutinya. Islam, misalnya menjamin hak dan kewajiban politik perempuan untuk melakukan baiat, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis syura, menasehati dan mengoreksi penguasa, dan menjadi anggota dalam sebuah partai politik.

Namun tugas utama dari seorang wanita adalah ummun wa rabbah al-bait (ibu sekaligus pengelola rumah tangga). Apa jadinya dengan pengasuhan , pendidikan dan perkembangan anak-anak (generasi muda) jika mereka tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah meskipun aktivitas di luar rumah itu wajib? Bukankah aktivitas di dalam rumah menjadi ummun wa rabbah al-bait adalah fardhu ‘ain, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain, meskipun suaminya sendiri? Itulah alasan, mengapa Rasulullah SAW menyuruh kaum wanita agar menaati suami-suami mereka, sementara pahala yang diperoleh seorang wanita yang menaati suaminya amatlah besar.