Sabtu, 14 Maret 2009

POLITIK PEREMPUAN ( KASUS KUOTA 30% DAN ZIPPER SISTEM)

“Cuman perempuan yang paling tahu soal perempuan.” Inilah sebuah ungkapan yang semakin memotivasi para pejuang hak-hak perempuan untuk terus maju berjuang agar perempuan menjadi warga Negara kelas satu sama dengan laki-laki. Oleh sebab itu, tidak aneh bila selanjutnya posisi penentu kebijakan menjadi target utama perjuangan politik mereka. Mereka beranggapan semakin banyak perempuan yang duduk di parlemen, semakin kuat suaranya mewarnai kebijakan yang akan diberlakukan. Dengan begitu, kepentingan mereka akan terpenuhi. Bahkan, mereka juga menginginkan untuk duduk di elite kekuasaan (menjadi penguasa) karena dianggap sebagai langkah yang lebih tepat dan nyata. Untuk mendukung dan mengoptimalkan perjuangan, mereka memandang sistem politik harus lebih demokratis lagi. Untuk itu, demokratisasi menjadi agenda yang harus diperjuangkan. Walaupun demikian, pada kenyataannya perempuan tidak mampu mempengaruhi kebijakan nasional, karena pelaksanaan kebijakan bergantung pada lembaga eksekutif. Ketika telah duduk elite kekuasaan, tanggung jawab formal mereka juga ada pada elite kekuasaan yang lebih tinggi, tidak pada rakyat apalagi, pada perempuan.

Tanggal 12 Februari 2003 boleh jadi merupakan hari bersejarah bagi para aktivis perempuan di Indonesia. Pada tanggal tersebut sidang paripurna DPR mengesahkan RUU Pemilu yang didalamnya tercantum kuota perempuan di DPR. Ihwal kuota tersebut terdapat pada pasal 65 ayat (1). Ayat tersebut selengkapnya berbunyi : Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekutang-kurangnya 30 persen. Fraksi Golkar, PPP, dan PKB merupakan tiga fraksi yang mempunyai andil besar mengengolkan kuota tersebut (Media Indonesia, 19/2/2003).

Sementara itu saat ini perdebatan pun semakin hangat pada level pengambil kebijakan mengenai konsep zipper system yang mewajibkan bahwa dari 3 orang caleg terpilih harus ada satu orang perempuan. Hal ini juga masih mengalami tarik ulur kepentingan karena zipper system ini dianggap tidak relevan untuk diterapkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan untuk menjadi anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak, untuk itu setiap orang yang ingin menjadi caleg haruslah berkompetisi pada ajang pemilu ketika mereka ingin menjadi anggota legislatif termasuk wanita.

Terlepas dari itu peran politik perempuan yang masih sangat minim disebabkan karena budaya masyarakat Indonesia yang masih patrialkal dan kurangnya akses perempuan dalam sektor politik, sehingga dinilai bahwa karena pengambil kebijakan adalah kebanyakan dari kalangan lelaki maka mereka menganggap perlu untuk melibatkan diri dalam proses pengambilan kebijakan hal inilah yang mengilhami gerakan kaum feminis untuk memberikan dorongan kepada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya, yaitu sebagai ibu yang mempersiapkan generasi yang berkualitas dan pengatur rumah tangga. Kaum feminis menganggap bahwa domestikasi perempuan merupakan sebuah sub-ordinasi atas perempuan. Kiprah perempuan di sektor domestik tidak menghasilkan uang sehingga mereka akan bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Perempuan akan menerima perlakuan tersebut dengan terpaksa karena takut kehilangan sumber ekonominya. Kenyataan ini mereka anggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Para feminis menganggap bahwa terjadi kekerasan negara terhadap perempuan, negara membuat sejumlah kebijakan atau hukum yang tidak menguntungkan perempuan. Ini karena kekuasaan Negara didominasi oleh para lelaki. Sebab, lelaki dengan bias kelelakiannya, dianggap tidak memahami permasalahan sebenarnya yang dihadapi oleh perempuan. Akibatnya, mereka tidak memiliki empati sehingga mereka banyak membuat kebijakan yang merugikan kaum perempuan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah relevankah penyelesaian permasalahan perempuan di semua sektor kehidupan akan terwujud dengan tercapainya kuota 30 % perempuan yang duduk di parlemen, pemerintahan, maupun partai politik?

Secara normatif, sistem demokrasi mengajarkan kebebasan berpendapat. Setiap partai peserta pemilu sudah pasti memiliki visi sendiri-sendiri. Oleh karena itu, boleh jadi seluruh perempuan anggota parlemen tidak memiliki suara yang sama dalam menyelesaikan permasalahan perempuan karena terkait dengan visi partai yang menaunginya. Demikian pula yang duduk dalam pemerintahan. Tidak semua perempuan memiliki visi dan paradigma yang sama dalam memandang kehidupan. Ini akan menimbulkan perpecahan pendapat hingga permasalahan perempuan itu sendiri tidak terselesaikan.

Sementara itu, secara faktual, permasalahan perempuan juga tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan lintas sektoral yang ada dalam sistem negara. Oleh karena itu, penyelesainnya pun seharusnya bersifat lintas sektoral. Namun, apakah sistem negara di Indonesia yang bersifat kapitalistik mampu meredam seluruh permasalahan yang sudah sangat kompleks, termasuk permasalahan perempuan? Contoh nyata, Indonesia yang top leader-nya seorang perempuan ternyata makin hari makin terpuruk. Jangankan menyelesaikan masalah yang terjadi, permasalahan justru makin hari makin bertambah. Kasus suap yang melanda anggota dewan maupun yang dilakukan partai-partai politik, kasus BPPN, penyimpangan anggaran yang mencapai tiga ratusan triliun rupiah, kasus manipulasi hukum, rekayasa politik, pembodohan dan pembohongan publik, dan kasus-kasus korupsi—yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia—adalah beberapa contoh masalah yang dihadapi Indonesia. Indonesia juga adalah negara yang berada di bawah garis kemiskinan dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang makin meningkat. Semua permasalahan laksana benang kusut yang tidak bisa diurai kembali. Secara normatif memang demikianlah karakter sistem kapitalis. Siapa yang mempunyai kapital, dialah yang berkuasa menentukan kebijakan, tidak peduli yang lain menderita karenanya. Indonesia yang bergantung pada IMF tentunya harus menuruti seluruh perintah IMF yang terkandung dalam Letter of Intent (LoI), termasuk di dalamnya privatisasi BUMN dan penghapusan subsidi yang berakibat sangat menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu, wajar kalau ada yang mengatakan bahwa anggota dewan yang sebenarnya bukanlah orang-orang yang duduk di dalam Gedung DPR/MPR, termasuk anggota dewan perempuan, tetapi IMF. IMF juga sudah pasti akan membiarkan benang kusut yang melanda Indonesia tetap terjadi. Sebab, dengan begitulah Indonesia akan selalu bergantung pada IMF sehingga IMF bisa mendikte kebijakan-kebijakan yang diterapkan di Indonesia dengan sesuka hati, baik kepada anggota dewan maupun pemerintah. IMF tidak akan peduli terhadap berbagai kebijakannya yang dapat menyengsarakan rakyat Indonesia. Yang penting, kebijakan-kebijakan itu menebalkan kantong negara-negara di balik IMF itu sendiri. (Al-Wa’ie No. 32 Tahun III, 1-30 April 2003/Safar 1424 H)

Konsep pemberdayaan politik perempuan perspektif feminis sangat berbeda dengan konsep pemberdayaan politik perempuan perspektif islam. Konsep tersebut berpijak dari paham demokrasi, sekularisme, dan individualis. Ketiga paham tersebut bertentangan dengan islam.

Dalam perspektif islam, setiap muslim/muslimah harus menyadari wahyu Allah SWT sebagai sumber pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan hidupnya. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus memutuskan suatu kebijakan berdasarkan ketentuan Allah SWT dan Rasulnya, yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan berdasarkan suara mayoritas rakyat, bukan pula berdasarkan pendapat dan keinginan sendiri. Dalam hal ini, hukum syariat sudah pasti mampu memberikan keadilan bagi manusia dan sesuai dengan fitrah manusia sendiri karena bersumber dari Pencipta manusia. Dengan demikian, sekalipun kaum laki-laki yang mengambil kebijakan, jika ia terikat dengan hukum syariat, bisa dipastikan kebijakannya tidak akan mendiskreditkan perempuan, merampas hak-hak mereka, dan merendahkan derajat mereka. Apalagi Islam telah mendorong peran perempuan agar memfungsikan perannya dalam percaturan politik berdasarkan tujuan yang harus dicapai dan sesuai dengan bidang yang boleh dan mampu digelutinya. Islam, misalnya menjamin hak dan kewajiban politik perempuan untuk melakukan baiat, memilih dan dipilih menjadi anggota majelis syura, menasehati dan mengoreksi penguasa, dan menjadi anggota dalam sebuah partai politik.

Namun tugas utama dari seorang wanita adalah ummun wa rabbah al-bait (ibu sekaligus pengelola rumah tangga). Apa jadinya dengan pengasuhan , pendidikan dan perkembangan anak-anak (generasi muda) jika mereka tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah meskipun aktivitas di luar rumah itu wajib? Bukankah aktivitas di dalam rumah menjadi ummun wa rabbah al-bait adalah fardhu ‘ain, dan tidak dapat digantikan oleh orang lain, meskipun suaminya sendiri? Itulah alasan, mengapa Rasulullah SAW menyuruh kaum wanita agar menaati suami-suami mereka, sementara pahala yang diperoleh seorang wanita yang menaati suaminya amatlah besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar