Sabtu, 14 Maret 2009

Pesta Demokrasi: Biar Tekor Asal Sohor


Orang Bogor Kampung, memiliki budaya biar tekor asal sohor. Celaka-nya, tradisi yang menurut Clifford Geertz mencer-minkan budaya kemiskinan itu, ternyata juga menjadi budaya pesta demokrasi Indonesia.

Setelah menyelenggarakan Pemilu 2004 yang didukung Amerika dengan duit Rp 32 Milyar melalui 28 institusi, Indonesia diberi “Medali Demokrasi” oleh IAPC. Indonesia juga menjadi tuan rumah Konferensi IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik) ke-40 di Bali tahun 2007. Co-chairman Komite Konferensi IAPC, Robert Murdoch, mengatakan, pemilihan ini sebagai penghor-matan bagi Indonesia sekaligus syiar demokrasi di seluruh dunia (web.bisnis.com, 13/11/07).

Kita pun jadi getol berpesta colok wal coblos. Dengan asumsi tanpa pemekaran wilayah lagi dalam kurun 2009-2014, Indo-nesia akan melakukan 503 pemilu memperebutkan 19.433 kursi. Minimal sekali pemilihan presiden dan wakilnya, 4 kali pemilu legislatif, 32 kali pemilihan guber-nur dan wakilnya, 466 kali pemilihan bupati dan wakilnya termasuk wali kota dan wakilnya.

Maka, dalam setahun bakal digelar lebih 100 kali pemilihan, atau rata-rata 8 pemilu tiap bulan, atau 2 pemilu per pekan. Dalam rentang 5 tahun itu warga pemilih akan mendatangi TPS 10-11 kali untuk nyoblos.

Berapa Biayanya?

Untuk pesta demokrasi 2008-2009, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menganggarkan Rp 47,9 trilyun. Berasal dari APBN Rp 22,3 trilyun dan dari APBD Rp 25, 6 trilyun. Anggaran ini bahkan nyaris menyamai biaya mengen-taskan kemiskinan tahun 2007 sebesar Rp 57 trilyun.

Ditambah dana cawe-cawe asing yang mencapai 12,35 juta USD, berasal dari Australia, Belanda, Inggris, Kanada, Spanyol, dan Swedia. Ada lagi pasokan dana asing yang tidak melalui UNDP sebesar 38,1 juta USD. Antara lain dari Amerika US$7 juta dan Australia US$19 juta. Demi-kian pemaparan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bap-penas Lukita Dinarsyah Tuwo di Kantor Bappenas, Jakarta (19/9/2008).

Itu yang resmi. Amien Rais pernah mensinyalir bahwa Pre-siden SBY menerima dana kampanye dari Amerika. Dengan emosional SBY membantah. Dan akhirnya isyu kempes setelah ‘’silaturahim Bandara Halim” Amien-SBY.

Daerah pun tak mau kalah dari pusat. Biaya Pilgub Jabar misalnya, lebih dari Rp 500 milyar. Sedangkan biaya politik tiap pasangan cagub-cawagub men-capai Rp 60 milyar. Pilkada Jawa Timur bahkan menelan biaya lebih dari Rp 1 trilyun dalam dua putaran plus.

Berapa pula biaya demok-rasi partai dan caleg?

Menurut Associate Media Director Hotline Advertising, Zai-nul Muhtadin, minimal Rp 100 milyar per kandidat presiden. (tempointeraktif.com 24/01/08).

Menurut Rizal Mallara-ngeng, pendiri Jasa Konsultan Strategi dan Politik Foxindonesia, “Biaya untuk menjangkau kesa-daran publik melalui media berkisar antara Rp 15 per kapita. Jika menggunakan pawai dan acara-acara sejenisnya biaya membengkak menjadi Rp 1.000 tak terhingga per kapita,” ujarnya.

Subiakto, CEO Hotline Advertising, mengakui untuk kampanye pasangan Cagub DKI Jakarta Fauzi Bowo keluar dana sekitar Rp 20 milyar. Itu termasuk margin keuntungan bersih sekitar 20-30 persen.

Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB), seperti dilaporkan Jawa Pos (25/05/08), menghabis-kan dana ”Hidup adalah Per-buatan” sebesar Rp 151,2 milyar. Ini baru di teve. Padahal, SB juga gencar beriklan di radio, media cetak, media luar ruang, bahkan bioskop. Milyaran lagi duitnya keluar.

Iklan politik memang sa-ngat diminati politikus. Menurut survey Kompas edisi Minggu 20 Juli 2008, kampanye via bendera memiliki efektivitas 44,7 persen, spanduk 44,8 persen, iklan TV 71,7 persen, aksi pengerahan massa 71,2 persen, serta karnaval 70,9 persen.

Mari kita coba menghitung biaya pilkada. Katakanlah ada sekitar 100 kali pilkada pertahun, maka jika masing-masing hanya diikuti tiga pasangan kontestan saja, ada 300 pasangan calon kepala daerah. Andai tiap calon menghabiskan Rp 1 milyar untuk biaya iklan politik saja, maka setahun belanja iklan politik mencapai Rp 300 milyar. Ini minimal lho.

Nah, untuk iklan politik partai peserta pemilu 2009 yang berjumlah 34 partai, angkanya pasti akan semakin membengkak. Apalagi setiap calon legislatif dari ke-34 partai itu juga akan “men-jual diri” menjelang pemilu. Kalikanlah angka 34 partai, dengan 70 daerah pemilihan, kemudian dikalikan lagi dengan rata-rata 6 calon anggota legislatif per daerah pemilihan, kemudian dikalikan rata-rata pengeluaran duit per kandidat sebesar Rp 1 milyar. Totalnya: Rp 14,28 trilyun. Edun!

Menurut Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latief, pesan-pesan iklan politik keba-nyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik. “Bahkan tidak nyambung dengan kebutuhan batin rakyat,” ujarnya.

Demokrasi Indonesia akhir-nya hanya sebatas pesta. Ironisnya, usai pemilu 2004 misalnya, sebagian intelektual KPU termasuk seorang profesor UI, malah dijebloskan ke penjara lantaran makan suap. Lalu, satu persatu pejabat atau wakil rakyat yang merupakan produk pemilu 2004, juga dibekuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Sebelum hengkang dari Senayan beberapa waktu lalu, Permadi dari PDIP membeberkan enam kebobrokan DPR. Semua-nya berupa korupsi waktu, uang, dan tanggung jawab. “Kalau saya dibilang memfitnah silahkan, toh publik sudah tau bagaimana bobroknya DPR,” katanya seperti dikutip Okezone (30/1)

Itu semua lantaran tiga hal. Pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Ketiga, mahalnya ongkos politik. [] taqiyuddin albaghdady/www.mediaumat.com

Produk Khianat dari Senayan

Legislasi (penyusunan UU) adalah fungsi terpenting DPR. Tapi lihatlah, banyak UU yang justru mengkhianati rakyat. Yang terbaru adalah UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batubara) yang disahkan pada 16 Desember 2008. Sebelumnya juga, UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang disahkan pada 17 Desember 2008.

UU Minerba semakin menyempurnakan lepasnya peran Pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam milik rakyat dan menyerahkannya kepada para pemilik modal (swasta/asing). UU ini sekadar melengkapi UU sejenis yang sudah disahkan sebelumnya, yaitu: UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal. Semua UU ini pada hakikatnya bertujuan satu: memberikan peluang seluas-luasnya kepada pihak swasta, terutama pihak asingkarena asinglah yang selama ini memiliki modal paling kuatuntuk mengeruk kekayaan alam negeri ini sebebas-bebasnya. Padahal sebelum disahkannya UU Minerba ini saja, hingga saat ini kekayaan tambang dalam negeri, 90 persennya sudah dikuasai asing (Sinarharapan.co.id, 13/6/08).

Adapun UU BHP semakin menyempurnakan lepasnya tanggung jawab Pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya. UU ini melengkapi UU Sisdiknas yang juga sudah disahkan sebelumnya. Kedua UU ini pada hakikatnya juga satu tujuan: melepaskan tanggung jawab Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyelenggaraan pendidikan warga negaranya, sekaligus membebankan sebagian atau keseluruhannya kepada masyarakat. [] taqiyuddin albaghdady (mediaumat.com, 07/03/09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar