Sabtu, 14 Maret 2009

Runtuhnya Trias Politika

Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Pernyataaan Lord Acton yang dibuat pada abad ke-19 memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini. Pengalaman Eropa pada zaman kegelapan di bawah raja-raja tiran membuat para filosof mencari tahu mengapa penindasan itu terjadi. Mereka kemudian sampai pada kesimpulan, penindasan para tiran terjadi karena mereka memiliki kekuasaan yang absolut tanpa batas.

Montesquieu, dalam the Spirit of Laws, lalu menggagas doktrin trias politika yang kemudian menjadi pilar penting negara sekular-demokrasi. Doktrin ini memisahkan kekuasaan menjadi: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lahirlah kemudian negara republik-demokrasi, yang kekuasaan eksekutifnya diserahkan kepada presiden atau perdana menteri; legislatifnya—yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum—diserahkan kepada parlemen; dan yudikatifnya diserahkan kepada lembaga pengadilan.

Secara teoretis, trias politika diharapkan bisa mencegah pemerintah tiranik. Lembaga legislatif, karena merupakan wakil rakyat, diharapkan akan menghasilkan hukum dan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Lembaga ini diharapkan pula akan selalu mengoreksi kebijakan pemerintah. Adapun pihak eksekutif (pemerintah) akan memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena kalau tidak, rakyat tidak akan lagi memilih mereka. Yudikatif pun diharapkan mandiri dan independen untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi. Namun, realitanya tidak seindah doktrin yang diharapkan.

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian baru, yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga lembaga negara demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Fungsi ketiganya pun lumpuh di bawah ketiak pemilik modal. Lahirlah negara korporasi; penguasa pun ‘berselingkuh’ dengan pengusaha. Penguasa lebih tunduk dan berpihak kepada pengusaha yang mendanai penguasa terpilih. Maklum, untuk bisa terpilih, seorang penguasa butuh dana yang besar. Adapun yudikatif tutup mata terhadap pelanggaran eksekutif, pasalnya yudikatif juga mudah disuap.

Produk hukum yang dilahirkan oleh Parlemen tidak selalu memihak rakyat. Di Indonesia DPR mengeluarkan UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air yang pro-liberal. Berdasarkan UU Migas Pemerintah membuat kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. Akibatnya, harga BBM dalam negeri naik dan rakyat yang menjadi korbannya. Berdasarkan UU Kelistrikan PLN pun secara bertahap di privatisasi. Dipastikan dengan privatisasi PLN, listrik akan semakin mahal. Nyaris sama dengan legislatif, kekuasaan eksekutif pun tidak memihak rakyat.

Gambaran hubungan ini tampak jelas dalam sistem politik AS. Bisa disebut hampir semua politisi AS adalah para konglomerat atau didukung penuh pebisnis kaya. Keluarga Bush, misalnya, dikenal sebagai konglomerat korporasi minyak. Wakil Presiden AS sekarang, Dick Cheney, adalah CEO Halliburton yang bermasalah. Mantan Menlu AS Collin Powel pernah duduk dalam dewan direktur AOL. Terdapat juga nama Thomas White mantan eksekutif Enron (yang juga bermasalah), dan Paul O’Neill, mantan CEO Alcoa, perusahaan alumanium terbesar dunia.

Dipilihnya mereka bukan tanpa alasan. Mereka merupakan donatur besar yang mendukung keberhasilan Bush menjadi presiden. Pada Pemilu tahun 2000 lalu, 70% dari US$ 1,9 juta sumbangan politik WorldCom mengalir ke Partai Republik. Dari tahun 1989 hingga 2001, Enron telah memberikan sumbangan besar US$ 113.800 kepada Partai Republik.

Bisa dimengerti mengapa para politisi AS, baik di eksekutif atau legislatif, mendukung penuh kebijakan Bush saat menyerang Irak. Persoalan utamanya bukanlah masalah terorisme, tetapi persoalan bisnis minyak yang menggiurkan. Demikian sebagaimana ditulis Alan Greenspan yang mantan pimpinan bank sentral AS.

Pengusaha minyak dunia pun meraih untung besar. Sebagaimana dirilis EksNas-LMND (22 Februari 2007) tentang laporan pendapatan untuk tahun 2007, ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 biliun atau setara dengan Rp 3.723.020.000.000.000,- (dengan kurs rupiah 9.170,-). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 biliun, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790,-. Perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 biliun atau Rp 171.479.000.000.000,-. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 miliar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000,-

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa negara Dunia Ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp 4.000 triliun; untuk triwulan ke-3 tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. triliun. Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Di negara kampiun demokrasi sendiri, trias politika tidak benar-benar terjadi. Konstitusi AS menentapkan kewenangan Presiden dalam mengampuni seluruh pelaku kejahatan, kecuali impeachment. Bab II Pasal II menyatakan: “President shall have power to grant reprieves and pardons for offenses againts the United States, except in cases of impeachment.” (Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan ampunan dan penangguhan untuk setiap pelanggaran di Amerika Serikat, kecuali dalam hal impeachment).

Kewenangan ini membuat Presiden AS memegang kekuasaan yudisial yang besar untuk membatalkan keputusan pengadilan atau bahkan sama sekali membatalkan gugatan atau tuntutan. Penyimpangan yang paling terkenal dilakukan Presiden Gerald Ford pada 1974. Setelah Richard Nixon berhenti dari jabatannya karena tersangkut skandal Watergate, Wakil Presiden Ford memegang jabatan presiden. Dalam pidatonya di televisi tanggal 8 September 1974, Presiden Ford memberikan ampunan penuh kepada Nixon atas kesalahannya dan menghentikan penyeledikan skandal Watergate.

Hubungan penguasa-pengusaha juga terjadi di Indonesia. Banyak elit politik yang juga dikenal sebagai pengusaha. Kalau keadaannya seperti itu, sangat sulit diharapkan parlemen yang mengklaim wakil rakyat bisa kritis terhadap penguasa; sulit pula diharapkan penguasa akan benar-benar berpihak kepada rakyat. Sebabnya, mereka memiliki kepentingan yang sama, yakni bisnis. Tragisnya, bukan rahasia lagi, kalau isu suap sering muncul setiap kali DPR membuat UU strategis.

Hubungan pengusaha dan penguasa di Indonesia ini tergambar baik dalam kasus BLBI. Melalui payung Inpres 8/2002, Anthony bisa bebas melenggang karena mendapat surat keterangan lunas (SKL). Utang Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI kedua pun cukup dilunasi dengan menyerahkan aset BDNI senilai Rp 18,85 triliun. Sjamsul juga membayar tunai Rp 1 triliun, ditambah penyerahan aset PT Dipasena, Gajah Tunggal Petrosel, dan Gajah Tunggal Tyre. Sama dengan Anthony, Sjamsul pun bebas setelah dihadiahi SKL.

Nasib yang sama terjadi di yudikatif. Rezim otoritarian pemilik modal bermain untuk menggolkan kepentingannya. Kasus suap yang dituduhkan kepada Urip Tri Gunawan salah satu contoh kasusnya. Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI ini tertangkap tangan oleh KPK menerima suap senilai Rp 6 miliar. Padahal sebelumnya timnya mengeluarkan keputusan bahwa BLBI tidak terbukti ada tindak korupsi. Kalau eksekutif mengabdi kepada pemilik modal dan bukan rakyat, legislatif juga membuat kebijakan yang mengabdi kepada pemilik modal dan bukan rakyat, dan yudikatif pun disuap oleh pemilik modal, bagaimana mungkin trias politika akan berfungsi?


Islam Mencegah Rezim Otoritarian

Islam sebagai agama yang komprehensif memiliki metode (tharîqah) sendiri untuk mencegah rezim otoriter. Titik awal mengapa sebuah rezim menjadi otoriter sesungguhnya terletak pada sumber hukum. Sebab, dari sumber hukum inilah undang-undang atau sebuah kebijakan dibuat. Sumber hukum yang diserahkan kepada manusia menimbulkan potensi besar bagi manusia itu untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya.

Itulah yang membuat mengapa raja pada masa kegelapan Eropa menjadi diktator. Raja mengklaim dirinya wakil Tuhan di muka bumi. Titah Raja adalah titah Tuhan, padahal agama kristen sendiri tidak memiliki sistem yang utuh dan lengkap untuk mengatur manusia. Muncullah aturan raja yang tidak bisa digugat karena dianggap perintah Tuhan.

Hal yang sama terjadi dalam sistem demokrasi. Ketika parlemen yang mengklaim atas nama rakyat diberi wewenang membuat hukum, jadilah parlemen membuat kebijakan yang sejalan dengan kepentingannya, yakni kepentingan pemilik modal.

Berbeda dengan Islam, yang menjadikan kedaulatan ada di tangan syariah, yakni Allah Swt., dengan sumber hukum al-Quran dan as-Sunnah. Perintah Khalifah sebagai penguasa tidak otomatis sebagai perintah Tuhan. Khalifah dalam kebijakannya harus merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Kalau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu, ia tidak wajib ditaati.

Khalifah mungkin saja menyimpang, karena dia manusia biasa; menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu, dalam Islam ada kewajiban—bukan hanya hak—untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda: Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya. (HR Abu Dawud).

Untuk itu, dalam Islam, keberadaan partai politik yang melakukan koreksi terhadap penguasa bukan hanya boleh, tetapi wajib (Lihat: QS Ali Imran [3]: 103). Partai politik dalam Negara Khilafah didirikan dengan tujuan mengoreksi Khalifah, menjaga pemikiran Islam di tengah-tengah masyarakat, dan memastikan pemerintah tidak menyimpang dari penerapan Islam.

Dalam sistem Khilafah, terdapat pula Mahkamah Mazhalim yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (Khalifah). Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah ini. Qadhi (hakim) ini juga secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan syariah tanpa ada penindasan pada rakyat. Guna memastikan agar Qadhi Mazhalim bebas dari tekanan politik, syariah membatasi kekuasaan eksekutif Khalifah untuk tidak memiliki wewenang memberhentinkan seorang Qadhi Mazhalim dari posisinya jika Qadhi itu sedang menyidangkan kasus yang melibatkan Khalifah, Muawwin Tafwidh (pembantu Khalifah) atau kepala pengadilan (Qadhi al-Qudhat)

Ada pula Majelis al-Ummah, sebuah majelis yang merupakan representasi (wakil) dari masyarakat. Majelis ini dipilih oleh rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat Islam dan non-Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen mereka di dalam Negara Khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi, namun memiliki kewenangan untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif Khalifah. Para anggota majelis dapat menyuarakan opini publik mereka secara bebas tanpa takut dibungkam atau dibui. Sejalan dengan kekuasaan mandatarisnya, majelis ini memiliki kekuatan dalam menilai kinerja Khalifah dan pemerintahannya.

Ada perkara penting lain dalam Negara Khilafah, yakni Khalifah tidak boleh melakukan penyiksaan dan tajassus (memata-matai) rakyatnya, baik Muslim ataupun non-Muslim. Penahanan dan penawanan sewenang-wenang sangat terlarang dalam Negara Khilafah. Prinsip hukum habeas corpus (kesetaraan di depan hukum) diberlakukan. Setiap orang yang ditahan harus dihadapkan ke pengadilan dan kasus mereka harus diputuskan oleh seorang qâdhî (hakim). Rasulullah saw memerintahkan agar dua pihak yang bertikai harus berhadapan di pengadilan. (HR Abu Dawud).

Seluruh tersangka diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga pengadilan syariah membuktikannya bersalah. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Penuntut wajib menghadirkan bukti dan saksi yang disumpah atas perkara yang disaksikannya. (HR al-Baihaqi).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Farid Wadjdi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar