Kamis, 30 April 2009

Pelajaran dari Kehidupan

Sungguh kehidupan ini adalah sesuatu yang sangat berharga karena dengan kehidupan kita dapat belajar banyak hal yang akan semakin membuat kita memahami segala sesuatu. Kehidupan ini adalah sebuah keadaan yang diciptakan oleh Allah SWT agar kita banyak belajar dan semakin mengakui keagungan dan kebesaran Pencipta alam semesta. Tetap jangan salah kehidupan ini juga merupakan suatu ujian yang akan menentukan apakah kita adalah seorang hamba yang beriman atukah tidak, ujian yang ditimpakan kepada seseorang dalam kehidupan ini tidak mengenal batas usia, jabatan, kaya ataupun msikin. Semuanya senantiasa akan mendapat ujian tersebut karena medan kehidupan ini penuh onak dan duri yang menghalangi gerak langkah kita. Ujian yang datang kepada diri seseorang seharusnya dipahami sebagai bukti cintanya Allah SWT kepada kita, karena sesungguhnya setiap manusia senantiasa akan memperoleh ujian semakin dia beriman semakin berat pula ujian kehidupan yang akan dihadapinya, ketika dia tidak kuasa untuk menghadapi ujian tersebut maka Allah akan mengurangi ujian yang diberikan kepada seseorang dan sesungguhnya perlu kita pahami bahwa ujian akan senantiasa datang hingga kita ibarat manusia yang berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikitpun.

Pernah suatu hari saya membantu orang tua dan tukang batu untuk memperbaiki rumah yang sedang berada pada kondisi perbaikan, mengingat rumah saya atapnya yang seng sudah lapuk dan ada beberapa bagian rumah yang ingin dibuatkan tembok. Ketika awalnya saya beranggapan bahwa profesi sebagai tukang batu hanya mengandalkan otot saja, tetapi alangkah tercengangnya saya ketika melihat bahwa untuk membangun sebuah tembok itu perlu perhitungan yang matang dan perhitungan yang cermat dari sang tukang batu agar tembok tersebut dapat berdiri dengan kokoh. Sungguh saya telah salah sangka ternyata tukang batu ini juga musti mempergunakan akalnya untuk mengerjakan bangunan rumah yang sebenarnya tidak pernah mereka pelajari kerena tingkat pendidikan yang mereka dapatkan palingan cuman tamat SD tetapi ternyata walaupun mereka tidak belajar tentang teori justru yang terjadi pada diri mereka selaku tukang batu adalah proses pengaplikasian yang nyata "sungguh hebat dan luar biasa". Oleh karena itu, tentunya kita tidak boleh memandang rendah seseorang karena pada hakekatnya kita semua sama didepan Allah SWT yang membedakan kita hanya ketakwaan semata.

Hidup oh hidup sungguh engkau sangat indah tetapi keindahan yang engkau berikan kepada kami adalah sebuah keindahan yang menipu karena ketika kita terlena oleh kehiduapan bisa saja kita terserang oleh sebuah penyakit kronis yang sangat mematikan bahkan dokter sekali pun tidak akan mampu menyembuhkan penyakit ini kecuali dia adalah seorang dokter ideologis yang bertakwa dan beriman kepada Allah SWT hingga dengan itu dia kan mampu menyentuh dan menyadarkan seseorang dengan stimulus islam, penyakit itu tidak lain dan tidak bukan adalah "CINTA DUNIA DAN TAKUT AKAN KEMATIAN", cinta memang indah tetapi cinta yang satu ini saya harapkan untuk dicampakkan jauh-jauh dan bagusnya dibuang ke tong sampah karena cinta ini justru akan melenakan kita dan membuat kita jauh dari Allah SWT. Tidak ingatkah kita akan kasus Qorun di dalam Al-Qur'an dimana pada awalnya dia adalah seorang yang sangat taat beribadah tetapi ketika ia diberi kekayaan kepada Allah maka akhirnya ia sombong dengan kekayaan tersebut. Tetapi saya tidak mengkampanyekan bahwa sebagai seorang muslim kita harus miskin, bukan itu yang saya maksud klo secara pribadi saya lebih memilih menjadi seorang hamba yang kaya dan beriman daripada seorang miskin yang beriman, walaupun kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan harta semata. Tetapi seharusnya dengan harta yang diberikan oleh Allah kita menjadi hamba yang banyak bersyukur dan mengingat bahwa didalam harta yang kita miliki ada bagian orang-orang fakir dan miskin yang harus kita berikan kepada meraka.

Untuk penutup dari tulisan ini saya ingin mengingatkan kembali janganlah terlena oleh kehidupan dunia, jadikanlah fenomena di dalam kehidupan ini sebagai batu loncatan yang akan semakin membuat kita belajar dan semakin mengagumi kebesaran Allah SWT. Semoga Istiqomah menjalani kehidupan hingga saatnya ajal menjemput dan kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang akan memperoleh hadiah special dari pencipta alam semesta yakni surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Selasa, 28 April 2009

Kemerdekaan Pers Bukanlah Suatu kemerdekaan yang Bersifat Absolut

Salah seorang tokoh yang sangat mendukung kebebasan pers adalah RH Siregar, beliau sangat konsisten terhadap pembelaan kemerdekaan pers. Berdasarkan hal tersebut dapat kita temui bahwa beliau sangat tidak setuju dengan adanya berbagai macam kontrol yang bersifat ketat terhadap para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Akan tetapi yang perlu di khawatirkan dalam keinginan beliau yang sangat besar terhadap kebebasab pers menyebabkan pada suatu kondisi yang berlebihan ketika membela pers. Yang seakan-akan memberikan justifikasi bahwa beliau mendorong kearah kebebasan yang menyebabkan para jurnalis bebas dari ancaman apapun dalam aktivitasnya, sehingga tidak ada pembatasan terhadap ruang gerak para jurnalis.

Sesungguhnya ketika kita melihat secara teliti dan cermat maka akan kita temukan bahwa kemersekaan pers bukanlah merupakan “tujuan” melainkan tidak lebih sebagai “sarana” untuk mencapai tujuan tertentu. Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai patokan awal dalam melihat kebebasan pers :

· Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk pencarian kebenaran. Hal ini dapat dijadikan sebagai patokan dasar untuk memberikan ruang gerak terhadap pers yang bersifat bebas karena ketika kita melihat sejarah akan ditemukan dimasa yang lalu bahwa suatu lembaga ataukah pemegang otoritas cenderung melaksanakan aktivitas yang dapat menghalangi akses terhadap fakta dan kebenaran yang terjadi untuk melindungi otorotas mereka. Disinilah peran pers untuk mengungkapkan hal tersebut.

· Kemerdekaan pers sangat dibutuhkan untuk mengontrol para penguasa. Pers inilah yang akan melaksanakan tugas kontroling terhadap penguasa dalam suatu negara karena menurut Lord Acton : “Kekuasaan Cenderung Korup, Kekuasaan Absolut Mutlak Korup!”

· Proses penciptaan suatu kondisi masyarakat yang punya pengetahuan tentang lingkungan agar mereka dapat mengambil keputusan secara rasional dalam proses pengambilan keputusan akan tercipta dengan adanya kebebasan pers. Dengan semikian pers akan menciptakan suatu keadaan yang menjembatani keterlibatan publik dalam proses politik suatu negara.

· Kondisi “Public Sphere” akan tercipta melalui adanya kebebasan pers. Public Sphere itu sendiri menciptakan suatu kondisi ruang yang bebas dimana beragam suara yang saling bertentangan dapat terwadahi secara merdeka dan otonom.

Dalam negara yang menganut paham demokrasi dapat kita lihat bahwa peran pers sangat dibutuhkan untuk menciptakan suatu kebebasan, karena ada beberapa hal yang akan hanya bisa terwadahi secara optimal dalam negara demokrasi yakni ketika kemerdekaan pers itu tercipta. Namun walaupun kemerdekaan pers sangat dibutuhkan bukan berarti kebebasan yang mereka lakukan adalah kebebasan yang tanpa batas. Para jurnalis haruslah menghormati etika-etika yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang dengan hak istimewa yang mereka miliki untuk mengumpulkan informasi maka mereka dapat dengan seenaknya melakukan berbagai macam pemberitaan.

Sesungguhnya kemerdekaan pers harus ditundukkan pada kerangka untuk mengumpulkan dan menyiarkan informasi yang ada kaitannya dengan kepentingan publik. Jadi jelas yang menjadi perhatian utama dalam proses pemberitaan yang dilakukan adalah kepentingan publik dan kemaslahatan masyarakat. Mereka bebas dalam kerangka tersebut dan dapat mengeksplorasi kemampuan mereka sampai pada tingkatan yang dengan pemberitaan merka dapat membela kepentingan-kepentingan rakyat. Jadi jelas berbagai macam penginformasian diluar pada kerangka kepentingan publik tidak seharusnya dilakukan oleh pata jurnalis. Semisal penyebaran pornografi, penyebaran fitnah, penghinaan dan sebagainya. Hal-hal seperti itu sebenarnya justru hanya akan mencederai pers itu sendiri.

Kemerdekaan yang diberikan kepada pers adalah suatu kemerdekaan yang “bertanggung jawab” bukan justru dengan kemerdekaan pers yang memberikan hak istimewa kepada para jurnalis menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang sangat bebas dalam berbagai macam hal dengan menjadikan payung hukum sebagai pelindung mereka. Dari sini dapat kita lihat bahwa seorang jurnalis harus mampu mempertanggung jawabkan informasi yang disampaikannya. Merekia tidak boleh menyiarkan suatu informasi yang berisi berita bohong. Dalam hal ini dalam mekanisme pers telah tersedia suatu mekanisme yang jelas untuk melakukan pembelaan diri terhadap berbagai macam pemberitaan yakni berupa “Hak Jawab” dari objek yang menjadi sasaran pemberitaan sebagai jawaban terhadap penyebaran informasi yang tidak benar terhadap objek tersebut. Hak jawab ini bersifat suatu pembelaan, tetapi hak jawab ini bersifat alternatif artinya dapat digunakan dapat juga tidak. Jika seandainya seseorang dapat menjelaskan perihal suatu pemberitaan yang tidak akurat dan penyebaran informasi yang merugikan orang lain maka pers pantas dihukum.

Namun eksistensi dari pers ini juga perlu dikontrol agar tidak terjadi kebebasan dan penggunaan kekuasaan yang bersifat absolut. Sebagai mana yang dikatakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan yang bersifat absolut akan cenderung korup. Oleh sebab itu pengontrolan perlu dilakukan hal ini berlaku bagi pemerintah dan juga bagi pers.

Kondisi saat ini memberikan suatu penggambaran yang sangat buruk bagi pers, karena banyak pihak yang mengecam kebebasan pers disebabkan karena berbagai kalangan menilai pemberitaan pers sangat merugikan masyarakat secara luas, sehingga muncullah anggapan bahwa kebebasan pers bersifat negatif dan harus dihilangkan. Namun sebenarnya ketika kita mengkaji kemerdekaan pers itu sendiri maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya kemerdekaan pers tidak perlu dihilangkan karena akan memberikan banyak manfaat, tetapi yang harus dilakukan adalah mengembalikan kebebasan itu pada kerangka yang seharusnya. Yakni pada kerangka kebebasan yang bertanggung jawab dan bukan kebebasan yang “kebablasan”.

Kemerdekaan yang terdapat dalam tubuh pers bukanlah suatu kebebasan tanpa batas. Bahkan ketika kita mengamati diberbagai macam negara manapun, negara sedemokratis apapun, tetaplah akan kita temukan pembatasan pada persnya. Tetapi yang membedakan adalah pada tataran apa yang dibatasi oleh setiap negara tersebut terkait dengan kebebasan pers itu sendiri. Oleh sebab itu yang seharusnya dilakukan adalah tidak hanya berhenti pada tataran pembatasan pers tetapi juga menyangkut tentang perkara apa yang perlu dibatasi dalam kemerdekaan pers.


Penulis : Danial Darwis (Mahasiswa FISIP UNHAS, Prog. Studi Ilmu Politik)

WACANA KHILAFAH DALAM KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Abstrak

Wacana khilafah adalah satu dari sekian wacana yang berkembang dalam diskursus intelektualitas. Sebagai bagian dari mimbar akademik tentunya arif bagi kita untuk menempatkan setiap perkembangan baik keilmuan maupun fenomena sesuai dengan proporsinya. Perlu waktu untuk memiliki landasan kuat agar wacana khilafah menguat dalam tataran akademik mengingat ilmu sosial dan ilmu politik kontemporer saat ini berkiblat secara keilmuan ke dunia Barat. Namun tidak salah untuk memulai setidaknya untuk mengenal, sehingga kita dapat semakin memperluas cakrawala keilmuan kita



Pendahuluan

Membicarakan konsep ‘khilafah’ dalam wacana Hubungan Internasional, mungkin terlalu dipaksakan. Penulis terinspirasi membahas ini dari Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada tanggal 12 Agustus 2007 lalu. Kebetulan penulis berkesempatan hadir menyaksikan antusiasme masyarakat Indonesia yang memadati Gelora Bung Karno yang berkapasitas 100 ribu orang tersebut.

Salah satu yang mendorong penulis hadir adalah embel-embel internasional yang melekat dari konferensi tersebut. Penulis hadir dengan harapan sebagai bagian dari pengkaji wacana internasional, tentunya penulis tidak boleh melewatkan konferensi yang menarik dan unik tersebut.

Mendengar pembicara skala nasional mungkin biasa. Yang ditunggu adalah pembicara internasional, namun sayang 3 pembicara urung hadir. Syaikh Issam Ameera dari Palestina tidak dapat hadir karena dilarang keluar negerinya oleh Israel. Imran Waheed dan Ismail al Wahwah justru dideportasi oleh Pemerintah Indonesia setibanya di Indonesia. Ketiga peristiwa ini mengingatkan penulis kepada beberapa hal. Pertama, kekhawatiran Pemerintah terhadap wacana Khilafah, kedua, kekhawatiran Pemerintah terhadap Hizbut Tahrir sebagai penyelenggara.

Konsep Khilafah

Pengertian Bahasa

Khilafah (khilafah) merupakan mashdar (gerund) dari fi’il madhi khalafa, berarti menggantikan atau menempati tempatnya. Khilafah adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (ja’a ba’dahu fa shara makanah). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as sulthan al a’zham (pemimpin besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya.

Pengertian Istilah

Dalam pengertian istilah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyyah) Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri. Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fikih siyasah ketika mereka berbicara tentang khilafah atau imamah. Para ulama salaf telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah khilafah/imamah atau istilah dar al Islam.

Pemikiran Politik Islam

Kajian Pemikiran Politik Islam membahas mengenai filsafat sains, manusia dan masyarakat politik, sistem politik, perkembangan dan kebijaksanaan politik serta proses pembuatannya, menurut perspektif Islam. Selanjutnya dikembangkan bagi studi Hubungan Internasional yang hirau terhadap pemikiran politik perspektif “non western”.

Dengan konsep Khilafah yang digali dari sumber-sumber pengetahuan Islam, lebih khusus Politik Islam, maka tentunya khilafah tidak akan terlepas dalam pembahasan Pemikiran Politik Islam. Dapat dikatakan bahwa membahas Pemikiran Politik Islam tanpa membahas khilafah bagaikan membahas Matahari tanpa membahas panas, atau membahas Laptop tanpa membahas komputer.

Namun, disini penting untuk memisahkan pembahasan khilafah sebagai wacana historis dan wacana konseptual. Sebagai wacana historis, maka khilafah adalah sejarah masa lalu. Sebagai wacana konseptual, maka khilafah adalah realitas konsep yang dapat diperdebatkan, dibandingkan, dan mungkin diperjuangkan untuk dimunculkan kembali seperti apa yang selama ini diusung oleh Hizbut Tahrir. Sebagai konsep yang dinilai ideal, tentu hal ini patut diberikan apresiasi.

Teori Perbandingan Politik

Kajian Teori Perbandingan Politik merupakan studi tentang teori politik melalui metode perbandingan. Artinya, di satu pihak melihat sistem-sistem politik atas dasar sejumlah teori yang terkandung dalam ilmu politik dan di lain pihak secara empiris mendapatkan umpan balik untuk membina alat analisis yang lebih memadai dalam ilmu politik.

Sebagai sebuah konsep kenegaraan. Konsep khilafah tampaknya patut dibahas dalam kejian teori perbandingan politik atau sistem politik atau sistem negara. Mungkin yang menjadi sulit adalah bahwa khilafah adalah konsep yang saat ini sudah tidak ada lagi negara yang mengusungnya semenjak runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924.

Saat ini kajian teori perbandingan politik lebih fokus kepada sistem politik yang dianut oleh negara secara praktis dan faktual.

Namun, menurut hemat penulis, selain sebagai pengembangan wacana. Membahas khilafah dalam kajian teori perbandingan politik, dapat memberikan pembandingan yang menarik dengan sistem politik yang sekarang ini ada, walau tentunya disini perlu metodologi historis yang mendalam untuk memperkuat wacana tersebut.

Salah satu ungkapan yang menarik secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa kekhilafahan), dia menyatakan : “ Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku…. Tenteranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.

Selain itu, sebenarnya kajian mengenai pemerintahan internasional dan negara dunia (world state) telah diungkapkan oleh Morgenthau. Dia menawarkan pembentukan sebuah pemerintahan internasional untuk penyelesaikan anarki internasional dan peperangan yang selama ini senantiasa berkecamuk. Ada tiga pertanyaan yang mesti dijawab sekiranya pemerintahan internional ini akan dibentuk, (1) dimana terdapat kuasa untuk memerintah, atau siapa yang akan memerintah? (2) oleh prinsip keadilan apa pemerintah itu harus dipimpin? Atau apakah konsepsi mengenai kebaikan umum yang harus diwujudkan oleh pemerintah itu? (3) hingga berapa jauh pemerintah ini telah mampu memelihara ketertiban dan ketentraman.

Dari sini penulis melihat, bahwa gagasan mengenai adanya pemerintah yang berskala internasional merupakan gagasan yang umum, biasa dan wajar dalam kajian hubungan internasional, sehingga. Kalaulah khilafah adalah gagasan pemerintahan internasional, mengapa tidak, gagasan ini perlu diperkenalkan dan dipahami, tanpa mengikutsertakan tendensi tertentu yang berkaitan dengan sentimen keagamaan. Disini pulalah perlunya membahasakan wacana khilafah kedalam wacana intelektual sehingga dapat dikaji secara ilmiah dengan metodologi keilmuan yang saat ini umum digunakan.

Isu-Isu Global

Kajian isu-isu global dalam materi perkuliahannya bertumpu pada ekologi politik global yang membahas perubahan-perubahan global kontemporer berkenaan dengan proses alami, ekspoitasi penduduk dunia, produk ilmu dan teknologi yang mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dengan efek pencemarannya yang terkait/berpengaruh pada politik global. Selanjutnya dibahas pula kebijaksanaan Internasional dan koordinasi yang mencerminkan kebutuhan studi multidisipliner tentang proses alami kebumian, inovasi teknologi bersih lingkungan, rekayasa genetik dalam bioteknologi dan tumbuhnya komunitas espitemik yang sadar akan masa depan bumi.

Walaupun demikian, semestinya kajian ini lebih bersifat terbuka terhadap isu-isu global yang dinamis dan senantiasa berkembang.

Selain isu lingkungan sebenarnya dinamika hubungan internasional saat ini lebih didominasi oleh isu terorisme dan kejahatan internasional. Penulis melihat wacana khilafah saat ini juga telah menjadi salah satu isu global yang pantas untuk di kaji.

Salah satunya dapat terlihat ketika pada Desember 2004, National Intelligence Council (NIC), milik CIA, melansir bahwa memasuki tahun 2020 M, Khilafah baru akan berdiri di dunia. Hasil-hasil kajian ini telah dipublikasikan dalam laporan 123 halaman, dengan judul Mapping the Global Future. Tujuan laporan ini adalah memberikan masukan kepada administrasi Bush ke depan mengenai sejumlah tantangan (challange) yang akan terjadi di dunia, saat cahaya (Islam) mengalahkan berbagai kecenderungan yang ada saat ini, yang sekaligus akan menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat.

Laporan tersebut telah disampaikan kepada presiden Amerika Serikat, anggota Konggres, Senat, dan para politisi penting dari berbagai kalangan yang menjadi pelaku politik di Amerika Serikat. Siapa saja yang mencermatinya, akan melihat bahwa laporan tersebut penuh dengan berbagai referensi seputar Islam politik dan berbagai tantangan yang muncul, terutama bagi kepentingan Amerika Serikat pada waktu mendatang. Bahkan laporan tersebut berisi sejumlah skenario yang memprediksi berdirinya kembali negara Khilafah tahun 2020 M, dan pengaruhnya terhadap posisi dunia.

Tentunya hal ini memberikan gambaran bahwa ternyata wacana khilafah pun telah menjadi perhatian penting bagi institusi resmi dari Amerika Serikat.

Organized Crime

Kajian Organized Crime membahas ecenderungan pertikaian serta isu terorisme dewasa ini yang telah membuat sistem internasional menjadi tidak stabil. Konflik-konflik dalam negara maupun lintas wilayah negara dalam konteks global kontemporer tidak dapat dilepaskan dari masalah ras, etnis, bahasa, agama, identitas geografis dan isu kelangsungan hidup, hal ini ditinjau dari siapa yang terlibat dalam konflik tersebut dan apa yang menjadi tujuannya, permasalahan inilah yang menjadi hakikat dari mata kuliah ini.

Kelompok atau gerakan yang mengusung wacana khilafah, terlebih memiliki keyakinan untuk memperjuangkannya, ternyata mendapatkan perhatian serius dari pemerhati isu-isu internasional. Juga dari Amerika Serikat yang mungkin kepentingannya akan terganggu dengan wacana yang dikembangkan, apalagi kalau wacana tersebut menjadi keyakinan yang diperjuangkan.
Saat ini, gerakan Islam telah berhasil menggunakan argumentasi untuk membangun sikapnya dari rangkaian pernyataan penting tentang Khilafah dari para pemimpin politik di Washington dan Eropa. Dalam pidatonya di Herritage Foundation tanggal 6/10/2005 M, Menteri Dalam Negeri Inggeris, Charles Clark, menyatakan: “Tidak mungkin ada kompromi dengan perjuangan penegakan kembali Khilafah, dan tidak ada ruang diskusi tentang penerapan hukum-hukum syariat Islam.”
Sementara Presiden Bush, dalam pidatonya kepada publik tanggal 8/10/2005 M mengatakan: “Para pejuang bersenjata itu berkeyakinan, bahwa kalau mereka menguasai satu negeri, maka mereka akan memimpin seluruh bangsa Islam, dan mereka bisa menyingkirkan seluruh pemerintahan moderat di kawasan tersebut. Tak lama kemudian, mereka akan mendirikan emperium Islam fundamentalis, yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia.”
Pada tanggal 5/12/2005 M, Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld, dalam komentarnya tentang masa depan Irak, di Universitas John Hopkins menyatakan: “Irak akan menjadi pondasi Khilafah Islam baru yang akan membentang ke seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rancangan mereka. Mereka (gerakan Islam fundamentalis) telah menyatakan hal itu. Kita akan melakukan kesalahan mengerikan, jika kita gagal mendengar dan belajar.”

Selain itu, Jenderal Richard Myers, dalam konfrensi pers yang dilakukan Pentagon mengatakan bahwa Amerika Serikat mesti mempertahankan kedudukannya di Iraq, tempat elemen teroris yang dipimpin oleh Abu Musab Al-Zarqawi dari Jordan (orang kedua yang paling dikehendaki AS setelah pemimpin Al-Qaeda, Osama Bin Laden). Ditariknya tentera AS sebelum kestabilan Iraq tercapai akan mengakibatkan “Ketidakstabilan Segera” (instant instability) di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan kemungkinan Iran juga.

“Jika Zarqawis diizinkan sukses menaklukkan Iraq berdasarkan pandangan hidup mereka, dan akan menjadi awal tegaknya kekhilafahan seperti yang mereka impikan, kekuasaan (kekhilafahan) itu akan meluas di wilayah tersebut” katanya. Beliau menggunakan “khilafah” sebagai penunjukkan terhadap konsep sebuah pemerintahan tunggal Islam yang dipimpin oleh seorang penganut agama yang ekstrim.

“Anda berkata mengenai ketidakstabilan. Hal itu akan segara terjadi di wilayah tersebut, di Arab Saudi, disekitar negar-negara Teluk, mungkin Iran, Syria, Turki” tambahnya . “Dalam hal ekonomi saja, akan kacau-bilau yang akan mempengaruhi dunia, kemudian mereka akan melanjutkan tekanan, juga turut meneruskan gerakan mereka dan pada pandangan saya; mereka akan melibatkan serta memperluas aktiviti teroris” “Mereka akan dimuliakan melalui kemenangan ini” ujarnya lagi.

Selain itu, ada yang sangat penting dalam pidato Bush Kamis (6 Oktober 2005 ) di depan undangan National Endowment of Democracy dan dihadapan undanga the Ronald Reagan Presidential Library dalam kesempatan lain. Untuk pertama kalinya, Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini. Dalam pidatonya Bush mengatakan: “The murderous ideology of the Islamic radicals is the great challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision (Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita. Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak bersalah bisa dikorbankan untuk melayanakan sebuah visi politik).

Selama ini penyebutan Islam, sangat dihindari oleh Bush saat berbicara tentang terorisme. Namun dalam pidato Bush kemarin kata-kata Islam sangat jelas dia ucapkan. Tentu saja dengan tambahan kata radikal, fasis, jihad. Ada 6 kali kata-kata Islam radikal dia sebutkan dalam pidatonya. Bush mengatakan: “Some call this evil Islamic radicalism; others, militant Jihadism; still others, Islamo-fascism (Beberapa menyebutnya dengan setan radikal islam, yang lain menyebutkan militan jihad, ada juga yang lain menyebutnya, islam fascis)”.

Bush juga menyebutkan tujuan dari ideologi Islam ini yakni mendirikan pemerintahan Islam dunia yang disebut oleh Bush dengan istilah imperium Islam dari Maroko sampai Indonesia yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dan menggantikan pemerintahan moderat di negeri-negeri Islam. “The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia (Kaum militan percaya dengan mengontrol satu negara akan menggerakkan masa umat muslim, dan memberikan kemampuan buat mereka untuk menggulingkan seluruh pemerintahan moderat di daerah tersebut dan mendirikan sebuah imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga ke Indonesia),” tandas Bush. Meskipun menggunakan istilah radikal imperium Islam, pidato Bush ini mengarah pada institusi politik Islam Khilafah Islam yang memang bersifat global dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. “For the first time that I know of, the President has spoken openly about the jihadists’ dream of establishing the caliphate (Untuk pertama kali yang saya tahu, presiden AS berbicara terbuka tentang mimpi para jihadis untuk menegakkan Khilafah)”, tulis spesialis dan pengarang Islam, Robert Spencer di weblog-nya, Jihad Watch

Disini penulis melihat bahwa wacana khilafah ternyata juga dapat menjadi salah satu kajian organized crime dimana organisasi yang mengusung wacana ini, yang tentunya lintas batas diindikasikan sebagai pelaku kejahatan, setidaknya dalam perspektif Amerika Serikat.

Diplomasi Hubungan Internasional di Timur Tengah

Kajian Diplomasi Hubungan Internasional di Timur Tengah menguraikan fakta-fakta sejarah diplomasi yang terkait, serta berbagai perkembangan yang sudah ada atau sedang berlangsung dewasa ini. Antara lain memberikan tilikan mengenai tahap-tahap perkembangan Hubungan Internasional di Timur Tengah dan Afrika (Afrika utara yang mayoritasnya beragama Islam), serta pengenalan atau pemahaman atas pola-pola tentunya. Hal ini akan sangat menjadi penting dilihat dari kaca mata kepentingan Indonesia.

Dalam kajian ini, mungkin yang relevan dengan wacana khilafah adalah memahami latar belakang historis kawasan Timur Tengah. Sebagai sebuah institusi yang eksis selama lebih dari 12 Abad, dan berpusat di Timur Tengah, maka mau tidak mau kondisi sosial politik kawasan Timur Tengah sangat dipengaruhi oleh wacana ini.

Penutup

Wacana khilafah adalah satu dari sekian wacana yang berkembang dalam diskursus intelektualitas. Sebagai bagian dari mimbar akademik tentunya arif bagi kita untuk menempatkan setiap perkembangan baik keilmuan maupun fenomena sesuai dengan proporsinya. Perlu waktu untuk memiliki landasan kuat agar wacana khilafah menguat dalam tataran akademik mengingat ilmu sosial dan ilmu politik kontemporer saat ini berkiblat secara keilmuan ke dunia Barat. Namun tidak salah untuk memulai setidaknya untuk mengenal, sehingga kita dapat semakin memperluas cakrawala keilmuan kita. Wallahu’alam.

Ada Apa dengan Golput ?

Sudah menjadi sebuah “rahasia umum” pemilu langsung di Indonesia, khususnya pilkada yang dilaksanakan di sejumlah daerah “dimenangkan” oleh golput. Fenomena golput ini diakui atau tidak telah menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat sudah sangat apatis terhadap “pesta demokrasi” ini. Berkenaan dengan hal tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah lembaga yang merupakan representasi umat islam mengeluarkan sebuah fatwa yang sangat kontroversial yakni pengharaman golongan putih (Golput), menurut Kartorius, ia sangat mengkhawatirkan kalau fatwa haram golput itu lahir karena gencarnya ajakan golput yang dilakukan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur. Jikalau itu yang terjadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap MUI sebagai panutan atau penuntun umat justru akan merosot (kompas.com, 26/01/2009). Sementara itu sikap yang berbeda ditunjukkan oleh ketua MPR Hidayat Nurwahid, ia menjadi orang yang sangat gembira menyambut keluarnya fatwa dari MUI mengenai pelarangan umat islam untuk golput alias tidak memilih. Beliau mengungkapkan bahwa “ Saya yakin bahwa fatwa MUI berangkat sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh umat yang juga menyertakan lembaga keilmuan, termasuk individu-individu yang bukan ulama. Oleh karena itu, dengan keluarnya fatwa MUI ini sudah selayaknya diikuti oleh seluruh ummat islam, dan betul-betul diamankan oleh MUI dan ummat” kata Hidayat Nurwahid dalam percakapan dengan Persda Network, Senin (26/01).
Fenomena golput di Indonesia tentu merupakan sebuah hal yang sangat ironis mengingat bahwa Indonesia baru saja mendapatkan predikat sebagai “juara demokrasi” dan mendapat pujian internasional sebagai salah satu negara yang paling demokratis, setelah sukses melakukan pemilu 2004. Bahkan, yang lebih ironis dari sekedar golput, pemilu langsung di Indonesia mengeluarkan biaya yang sangat tinggi mencapai ratusan trilyun rupiah untuk menghasilkan banyak para wakil rakyat dan kepala daerah. Inilah hal yang perlu kita cermati mengenai fenomena golput, kita tidak boleh secara sepihak untuk melarang golput tetapi yang sepatutnya kita lakukan adalah melihat secara lebih mendalam faktor-faktor yang memicu terjadinya golput.
Sebagai salah satu contoh untuk melihat tingginya tingkat golput di Indonesia dapat kita saksikan pada Pilkada Jawa Barat. Meski pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf berhasil mengantongi suara terbanyak dibandingkan kontestan lain, yaitu dengan perolehan 7.287.647 suara, jumlah golput jauh lebih besar mencapai 9.130.594 suara. Angka ini tentulah sangat menggiurkan bagi parpol peserta pemilu 2009. Dan masih banyak lagi contoh kongkrit lainnya yang memberikan indikasi bahwa golput senantiasa memiliki presentasi yang sangat tinggi dalam setiap pemilihan.
Perlu dipahami bahwa besarnya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pilkada menunjukkan betapa sangat besarnya massa yang masih mengambang. Dalam bahasa sosiologi politik, massa mengambang disebut sebagai floating mass atau kadang pula disebut sebagai floating voters. Mengambang dapat diartikan sebagai tidak adanya pilihan baik ke sana maupun ke sini artinya tidak kemana-mana. Jadi, massa mengambang menunjukkan sekelompok orang yang tidak menentukan pilihan mereka kepada suatu partai atau calon tertentu salam suatu pemilihan. Padahal kita semua mengetahui bahwa calon-calon dalam pilkada adalah yang mendapat dukungan dari partai politik. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri menjelang Pemilu 2009 mendatang. Tingginya angka golput yang berimbas pada minimnya partisipasi masyarakat dalam ajang pilkada bukannya tanpa sebab yang jelas. Selain faktor administrasi yang buruk juga disebabkan karena masyarakat tidak tahu-menahu tentang calon. Tragisnya mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi, orang-orang seperti ini, akan sangat mudah mendapat serangan fajar atau apapun namanya.
Fenomena golput ini merupakan suatu hal yang bisa kita jadikan sebagai landasan untuk menilai pandangan masyarakat terhadap kinerja para aparatur pemerintahan, sebab dari sinilah kita dapat melihat bahwa loyalitas dan kepercayaan masyarakat mulai memudar terhadap pemerintah. Sehingga menghasilkan sikap apatis dari masyarakat terhadap pemilu, muncul sebuah tanda tanya besar dalam benak mereka akankah pemilu membawa kepada kondisi yang lebih baik ataukah sebaliknya hanya menjadi sebuah “hajatan” pesta demokrasi yang hasilnya nanti hanya akan menguntungkan golongan tertentu saja. Partisipasi yang besar dari masyarakat memang sangat dibutuhkan dalam proses demokratisasi, bahkan jumlah pemilih akan sangat menentukan legalitas dari pemerintahan yang akan terbentuk. Jikalau partisipasi masyarakat tinggi maka pengakuan terhadap pemerintahan pun akan kuat.
Namun pada faktanya dengan meningkatnya jumlah golput menjadi cerminan bagi kita untuk menjustifikasi bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kian memudar sehingga sikap apatis dalam bentuk golput terjadi dengan prosentasi yang sangat tinggi. Kita seharusnya menjadikan ini sebagai sebuah bahan instrokpeksi bagi pemerintah saat ini bahwa ternyata masyarakat sudah mulai menjauh dari mereka dan tidak perduli lagi dengan proses pemerintahan. Mereka lebih memilih untuk golput dan menerima apa saja yang terjadi dari proses pemilu karena mereka meyakini tidak akan ada perubahan yang berarti. Inilah yang menjadi cikal bakal dari semakin meningkatnya jumlah orang yang tidak memilih karena kekecewaan mereka terhadap parpol dan pemrintahan yang ada.

KONSISTENSI DAN KONSTALASI POLUGRI INDONESIA

Salah satu topik pembahasan dalam perkuliahan seminar masalah-masalah politik adalah tentang politik luar negeri Indonesia yang dibawakan oleh kelompok dua yang terdiri atas Sunardi, Haady Firmansyah dan Abdul Azis. Mereka dapat dengan bagus membawakan materi tersebut dan kerjasama antar kelompok yang kompak. Kondisi forum selama proses diskusi berlangsung berjalan dengan tertib dan aman hingga diskusi berakhir. Secara pribadi saya sangat ingin juga berkomentar tetapi karena keterbatasan waktu dan moderator belum memberi kesempatan maka sampai berakhirnya diskusi saya belum dapat bertanya dan berkomentar.
Saat ini, daya pengaruh Indonesia di dunia sangat rendah. Banyak kalangan menilai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tidak lagi bebas, melainkan lebih condong ke AS. Namun, awal September 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalin kerjasama dengan Rusia. Terlepas dari hal tersebut, ada paradigma yang dijalankan oleh pemerintah saat ini yang perlu dikritisi. Pada awal September 2007, Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Jalal mengatakan: “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan presiden, all direction forum policy. Berarti semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership“. Inilah sebenarnya paradigma yang sedang dianut. Melalui paradigma ini wajar belaka apapun dilabrak, yang penting semua pihak ditemani asalkan ada manfaatnya. Manfaat seperti apa, tentu manfaat menurut kepentingan penguasa. Berdasarkan hal ini wajar muncul sikap dan kebijakan yang ditempuh tanpa lagi mempertimbangkan ’rasa keadilan’ rakyat, Hal inilah yang memunculkan banyak pertanyaan mengenai arah kebijakan luar negeri RI. Berbagai kasus yang menyangkut hubungan Indonesia dengan negara-negara lain tampaknya kian menumpuk; dari kasus ’dicurinya’ khazanah budaya Indonesia, kasus TKI di Timur Tengah dan di Malaysia, adanya indikasi keterlibatan pihak asing dalam berbagai konflik lokal, pengambilan aset-aset milik negara dan rakyat sampai isu terorisme. Ada beberapa alasan mengapa politik luar negeri Indonesia dianggap melemah.
(1) Ketidakjelasan konsep Polugri.
Pada dasarnya Polugri RI tidak mengalami perubahan, yaitu tetap Polugri Bebas-Aktif yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Realitasnya, konsep Polugri Bebas-Aktif tersebut sangat bergantung pada kecenderungan Pemerintah. Pada era Soekarno (1945-1967), pendulum Polugri Bebas-Aktif lebih condong bergerak ke ‘kiri’. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak berseberangan dengan AS dan sekutu Baratnya. Pada masa Orde Baru (Orba), pendulum itu bergerak ke kanan, karena berkaitan dengan kepentingan nasional yang lebih menonjolkan aspek pembangunan ekonomi yang memaksa RI berpaling ke Barat. Ini karena kebergantungan RI pada industri dan bantuan ekonomi Barat yang dipimpin AS. Dalam aspek keamanan, Australia menempati posisi penting, terutama dalam kaitannya dengan masalah Timor Timur dan Irian Jaya. Kendati sebenarnya secara konseptual Indonesia telah menggariskan rumusan Polugri-nya, ternyata gaya kepemimpinan seorang presidenlah yang paling menentukan. Dari Soekarno yang kharismatis, Soeharto yang militeristis, Habibie yang realis, Wahid yang kontroversial, Megawati yang pasifis sampai SBY yang banyak tebar pesona; semuanya menunjukkan tidak adanya platform yang jelas dalam pelaksanaan Polugri RI.
(2) Mengekor strategi AS.
Pasca Perang Dingin, konstelasi perpolitikan dunia yang berubah menuntut Indonesia mengubah orientasi Polugrinya. AS yang menjadi satu-satunya negara adidaya semakin mendominasi kancah politik internasional dan memusatkan orientasi politiknya dengan apa yang dinamai sebagai “3 in 1”, yakni: lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Isu-isu tersebut pula yang menjadi tren orientasi politik Indonesia. Di sisi lain, terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat telah membawa arah politik internasional ke arah yang lebih didominasi AS. Ketika AS mencanangkan War on Terrorism, maka Polugri Indonesia pun berusaha mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil ‘alamin), yang otomatis memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan Polugri Indonesia.
(3) Pragmatisme Polugri Indonesia.
Perkataan Jubir Kepresidenan Dino Patti Jalal pada awal September 2007, sebenarnya yang menggambarkan realitas Polugri RI, yaitu pragmatisme. Dari sini dapat dipahami bahwa tidak ada ‘mainstream khusus’ dalam Polugri Indonesia, kecuali dijalankan atas dasar pragmatisme. Padahal pragmatisme dalam Polugri inilah yang membuka peluang bagi intervensi asing.
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi mendatangkan era baru, yakni sebuah era yang mampu mewujudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa di Asia, bahkan dunia. Hal ini bisa diwujudkan tatkala Indonesia mempunyai daya tawar dan posisi yang kuat dalam politik luar negeri (Polugri)-nya. Dengan Polugri yang kuat, Indonesia bisa memainkan perannya dalam ikut menata percaturan politik dan ekonomi kawasan, bukan justru menjadi ‘pengekor’ kebijakan Polugri negara lain atau atau kepentingan asing.
Kuat-lemahnya Polugri suatu negara bisa dilihat dari pengaruh negara tersebut dalam percaturan politik dan ekonomi internasional. Negara berpengaruh umumnya adalah negara yang berbasis ideologi. Misal: Negara Amerika Serikat yang berbasis ideologi Kapitalisme, atau Uni Sovyet dulu yang berbasiskan ideologi Sosialisme, atau Kekhilafahan Islam pada masa lalu yang berbasiskan ideologi Islam. Negara ideologis ini biasanya tidak akan mudah menerima kerjasama, bantuan ataupun yang lainnya selama tidak sesuai dengan orientasi ideologinya. Karena itu, negara ideologis biasanya merupakan negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain dan bahkan bisa mempengaruhi negara-negara lain. Amerika Serikat saat ini jelas menunjukkan kenyataan ini. Sebaliknya, negara-negara yang Polugrinya tidak berbasis ideologi akan mengikuti orientasi negara-negara ideologis. Contohnya adalah Indonesia saat ini, yang Polugrinya lebih cenderung mengekor pada orientasi Polugri Amerika Serikat. Ketundukkan Indonesia untuk mengikuti saja skenario Amerika Serikat dalam Perang Melawan Terorisme, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia memang tidak mandiri. Pertanyaannya: Bagaimana agar Indonesia menjadi negara yang mandiri sekaligus berpengaruh? Jawabannya, tentu Indonesia harus menjadi negara ideologis, yang mengemban ideologi tertentu yang khas dan berbeda dengan ideologi-ideologi negara lain.

KOALISI ANTAR PARTAI POLITIK

Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD telah usai. Partai-partai politik kini tengah mengalkulasikan kekuatannya dan berkoalisi dengan pihak yang secara politis sejalan dengan platform dan kepentingannya. Fokus utama partai-partai politik besar saat ini adalah memenangkan pasangan capres dan cawapres agar lolos . Kasak-kusuk dan lobi politik semakin gencar dan intensif dilakukan. Keadaan ini akan terus bertahan dan mendominasi pembicaraan politik di negeri ini, hingga saatnya pemilihan capres dan cawapres.
Pada dasarnya, pemilu dengan beragam agendanya adalah rutinitas lima tahunan yang selalu dihadapi oleh kaum muslim. Rutinitas yang harusnya menjadikan kaum muslimin bisa belajar dan mengkaji, bukan malah mengulang-ulang sebuah aktivitas tanpa memahami arti penting substansinya. Sayangnya, sebagian besar masyarakat melupakan, atau teralihkan dari persoalan-persoalan yang lebih penting dan mendasar. Persoalan itu adalah, apakah pemerintahan baru yang akan terbentuk nanti benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat dan mampu menghasilkan perubahan signifikan atas nasib rakyat. Sementara disisi lain pemerintahan yang terbentuk nantinya juga akan bermasalah pada legitimasi yang didapatkannya mengingat jumlah golput dari hasil survey yang dilakukan berada pada kisaran 40%, sungguh jumlah yang sangat mencengangkan.
Koalisi karena kepentingan
Ketika tidak ada partai yang berhasil menguasai mayoritas kursi di parlemen, koalisi merupakan keharusan untuk membentuk sebuah kekuasaan yang absah. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa keputusan parlemen akan dianggap legal-formal ketika didukung oleh 50% anggota parlemen ditambah 1 suara. Untuk itu, tatkala perolehan kursi partai-partai politik yang ada di dalam parlemen tidak mencapai di atas 50%, mereka harus melakukan koalisi dengan partai-partai lain agar mereka bisa meraih kedudukan dan jabatan politik tertentu.
Koalisi akhirnya menjadi semakin rumit, ketika partai-partai politik yang ada di dalam parlemen berbeda asas dan platformnya. Tidak hanya itu, diantara mereka juga terdapat kepentingan-kepentingan politik yang kadang-kadang saling bertentangan. Anehnya, yang terjadi justru sebaliknya. Partai-partai yang berbasis massa islam dan memiliki platform Islam, malah berkoalisi dengan partai-partai yang berbasis massa sekularis dan berplatform sekular. Diantara partai-partai islam sendiri justru tidak terjadi koalisi. Tidak jarang juga ada partai-partai yang awal-awalnya saling bermusuhan secara politik, tiba-tiba bergandengan dengan mesra dan membangun koalisi yang erat. Sebaliknya, partai-partai yang awalnya sejalan, malah akhirnya bercerai ditengah-tengah jalan.
Kenyataan ini bukanlah peristiwa aneh dan asing di dalam sistem pemerintahan demokratik sekular. Apapun bisa terjadi, apalagi di dalam ranah politik. Bagi mereka, politik adalah strategi untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak diraih. Selama jalan itu bisa mewujudkan tujuan-tujuannya, maka jalan itu akan ditempuh, meskipun “kadang-kadang” melanggar asas dan platform partai. Akibatnya berkoalisi dengan siapapun adalah absah. Yang penting tujuan politik bisa tercapai.
Dalam kondisi semacam ini seakan-akan tidak ada tolok ukur baku bagi partai politik umtuk menilai baik dan buruknya suatu aktivitas politik. Hampir-hampir seluruh aktivitas politik diukur berdasarkan kepentingan dan maslahat yang selalu berubah-ubah. Keadaan ini juga menimpa partai-partai Islam yang ada di dalam parlemen. Tolok ukur untuk menetapkan baik buruknya suatu perbuatan, mulai bergeser kearah kepentingan dan maslahat, bukan lagi didasarkan pada aqidah dan syariah islam. Aqidah dan syariah yang semestinya digunakan sebagai tolok ukur perbuatan telah ditinggalkan demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sedihnya lagi, demi mewujudkan tujuan dan kepentingan politiknya, mereka tak segan-segan menakwilkan nash-nash syara’ untuk membenarkan tindakan mereka. Akhirnya, hukum syara’ yang sudah jelas-jelas haram mereka plintir menjadi mubah, bahkan berhukum wajib. Partai politik yang seharusnya bisa memberikan edukasi politik kepada umat, akhirnya malah dicitrakan oleh rakyat sebagai lembaga plin-plan dan suka ingkar janji.
Dalam hal membangun koalisi, partai-partai berbasis islam pun “tidak lagi” menggunakan syariat islam sebagai dasar untuk membangun koalisi. Tampaknya, kepentingan dan mashlahat telah menjadi pertimbangan utama untuk menentukan langkah-langkah politik mereka, termasuk dengan partai mana mereka membangun koalisi. Hukum Syara’ yang harusnya menjadi tolok ukur dan pedoman mulai dipinggirkan oleh kepentingan politik dan kemaslahatan.
Walhasil, sudah semestinya kita meletakkan kembali garis lurus diantara kebengkokan dan penyimpangan, agar kita tetap memiliki pedoman yang benar dalam mengarungi kehidupan yang sudah carut marut ini.
Perubahan Semu
Kita bisa memprediksi bahwa pemerintahan baru yang terbentuk nantinya tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Kalaupun ada, akan terjadi perubahan-perubahan pada tataran-tataran cabang dan dangkal. Sebuah perubahan yang tidak menyentuh dataran dasar persoalan umat. Yang terjadi hanyalah pergantian penguasa, dalam pengertian person, itupun juga orang-orang lama yang ditengarai tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyat. Padahal akar masalahnya bukan terletak pada pergantian person serta perbaikan pada masalah-masalah cabang dalam kehidupan, akan tetapi pergantian sistem lama menuju sistem baru yang lebih baik.
Seharusnya ummat tidak mencukupkan diri dengan adanya pergantian person dan perbaikan-perbaikan cabang yang ditawarkan oleh para politisi. Sebab, perubahan-perubahan yang mereka tawarkan sama sekali tidak menyentuh persoalan utama kaum muslimin. Persoalan utama kaum muslimin bukanlah moralitas penguasa yang rusak, akan tetapi bagaimana kaum muslim bisa menegakkan kembali sistem dan pranata islami ditengah-tengah masyarakat. Selama sistem dasar yang menyangga masyarakat adalah kapitalis-sekular, rakyat akan tetap terkungkung dalam persoalan. Sistem kapitalis-sekular telah terbukti dan dipercaya sebagai penyebab hancurnya humanitas dan ekosistem dunia. Problem ekonomi, sosial, maupun politik merupakan konsekuensi logis akibat diterapkannya sistem kapitalistik-sekularistik.
Sayangnya, perubahan kearah perombakan sistem masih jauh dari angan-angan. Rakyat terus dikelabui dan dipalingkan dari perubahan sebenarnya. Mereka terus disuguhi dengan aktivitas politik semu yang telah menguras habis waktu, tenaga dan harta mereka. Di hadapan mereka terus dipertontonkan aktivitas perubahan yang sejatinya tidak pernah memberikan perubahan signifikan ditengah-tengah masyarakat. Ironisnya, sebagian masyarakat masih percaya dan terkelabui dengan tontonan-tontonan politik ini. Akhirnya, mereka belum terbetik untuk menuntut adanya perombakan mendasar sistem ini, untuk kemudian diganti dengan sistem islam. Mereka terus digiring oleh kaum sekular untuk menjauhi formalisasi syariat islam dalam koridor kekuasaan dan negara.

Penulis : Danial Darwis (Mahasiswa Fisip Unhas, Prog. Studi Ilmu Politik)