Selasa, 28 April 2009

Ada Apa dengan Golput ?

Sudah menjadi sebuah “rahasia umum” pemilu langsung di Indonesia, khususnya pilkada yang dilaksanakan di sejumlah daerah “dimenangkan” oleh golput. Fenomena golput ini diakui atau tidak telah menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat sudah sangat apatis terhadap “pesta demokrasi” ini. Berkenaan dengan hal tersebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah lembaga yang merupakan representasi umat islam mengeluarkan sebuah fatwa yang sangat kontroversial yakni pengharaman golongan putih (Golput), menurut Kartorius, ia sangat mengkhawatirkan kalau fatwa haram golput itu lahir karena gencarnya ajakan golput yang dilakukan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur. Jikalau itu yang terjadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap MUI sebagai panutan atau penuntun umat justru akan merosot (kompas.com, 26/01/2009). Sementara itu sikap yang berbeda ditunjukkan oleh ketua MPR Hidayat Nurwahid, ia menjadi orang yang sangat gembira menyambut keluarnya fatwa dari MUI mengenai pelarangan umat islam untuk golput alias tidak memilih. Beliau mengungkapkan bahwa “ Saya yakin bahwa fatwa MUI berangkat sebagai lembaga yang diberikan kewenangan oleh umat yang juga menyertakan lembaga keilmuan, termasuk individu-individu yang bukan ulama. Oleh karena itu, dengan keluarnya fatwa MUI ini sudah selayaknya diikuti oleh seluruh ummat islam, dan betul-betul diamankan oleh MUI dan ummat” kata Hidayat Nurwahid dalam percakapan dengan Persda Network, Senin (26/01).
Fenomena golput di Indonesia tentu merupakan sebuah hal yang sangat ironis mengingat bahwa Indonesia baru saja mendapatkan predikat sebagai “juara demokrasi” dan mendapat pujian internasional sebagai salah satu negara yang paling demokratis, setelah sukses melakukan pemilu 2004. Bahkan, yang lebih ironis dari sekedar golput, pemilu langsung di Indonesia mengeluarkan biaya yang sangat tinggi mencapai ratusan trilyun rupiah untuk menghasilkan banyak para wakil rakyat dan kepala daerah. Inilah hal yang perlu kita cermati mengenai fenomena golput, kita tidak boleh secara sepihak untuk melarang golput tetapi yang sepatutnya kita lakukan adalah melihat secara lebih mendalam faktor-faktor yang memicu terjadinya golput.
Sebagai salah satu contoh untuk melihat tingginya tingkat golput di Indonesia dapat kita saksikan pada Pilkada Jawa Barat. Meski pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf berhasil mengantongi suara terbanyak dibandingkan kontestan lain, yaitu dengan perolehan 7.287.647 suara, jumlah golput jauh lebih besar mencapai 9.130.594 suara. Angka ini tentulah sangat menggiurkan bagi parpol peserta pemilu 2009. Dan masih banyak lagi contoh kongkrit lainnya yang memberikan indikasi bahwa golput senantiasa memiliki presentasi yang sangat tinggi dalam setiap pemilihan.
Perlu dipahami bahwa besarnya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pilkada menunjukkan betapa sangat besarnya massa yang masih mengambang. Dalam bahasa sosiologi politik, massa mengambang disebut sebagai floating mass atau kadang pula disebut sebagai floating voters. Mengambang dapat diartikan sebagai tidak adanya pilihan baik ke sana maupun ke sini artinya tidak kemana-mana. Jadi, massa mengambang menunjukkan sekelompok orang yang tidak menentukan pilihan mereka kepada suatu partai atau calon tertentu salam suatu pemilihan. Padahal kita semua mengetahui bahwa calon-calon dalam pilkada adalah yang mendapat dukungan dari partai politik. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri menjelang Pemilu 2009 mendatang. Tingginya angka golput yang berimbas pada minimnya partisipasi masyarakat dalam ajang pilkada bukannya tanpa sebab yang jelas. Selain faktor administrasi yang buruk juga disebabkan karena masyarakat tidak tahu-menahu tentang calon. Tragisnya mereka juga tidak tahu apa yang sedang terjadi, orang-orang seperti ini, akan sangat mudah mendapat serangan fajar atau apapun namanya.
Fenomena golput ini merupakan suatu hal yang bisa kita jadikan sebagai landasan untuk menilai pandangan masyarakat terhadap kinerja para aparatur pemerintahan, sebab dari sinilah kita dapat melihat bahwa loyalitas dan kepercayaan masyarakat mulai memudar terhadap pemerintah. Sehingga menghasilkan sikap apatis dari masyarakat terhadap pemilu, muncul sebuah tanda tanya besar dalam benak mereka akankah pemilu membawa kepada kondisi yang lebih baik ataukah sebaliknya hanya menjadi sebuah “hajatan” pesta demokrasi yang hasilnya nanti hanya akan menguntungkan golongan tertentu saja. Partisipasi yang besar dari masyarakat memang sangat dibutuhkan dalam proses demokratisasi, bahkan jumlah pemilih akan sangat menentukan legalitas dari pemerintahan yang akan terbentuk. Jikalau partisipasi masyarakat tinggi maka pengakuan terhadap pemerintahan pun akan kuat.
Namun pada faktanya dengan meningkatnya jumlah golput menjadi cerminan bagi kita untuk menjustifikasi bahwa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kian memudar sehingga sikap apatis dalam bentuk golput terjadi dengan prosentasi yang sangat tinggi. Kita seharusnya menjadikan ini sebagai sebuah bahan instrokpeksi bagi pemerintah saat ini bahwa ternyata masyarakat sudah mulai menjauh dari mereka dan tidak perduli lagi dengan proses pemerintahan. Mereka lebih memilih untuk golput dan menerima apa saja yang terjadi dari proses pemilu karena mereka meyakini tidak akan ada perubahan yang berarti. Inilah yang menjadi cikal bakal dari semakin meningkatnya jumlah orang yang tidak memilih karena kekecewaan mereka terhadap parpol dan pemrintahan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar