Selasa, 28 April 2009

WACANA KHILAFAH DALAM KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Abstrak

Wacana khilafah adalah satu dari sekian wacana yang berkembang dalam diskursus intelektualitas. Sebagai bagian dari mimbar akademik tentunya arif bagi kita untuk menempatkan setiap perkembangan baik keilmuan maupun fenomena sesuai dengan proporsinya. Perlu waktu untuk memiliki landasan kuat agar wacana khilafah menguat dalam tataran akademik mengingat ilmu sosial dan ilmu politik kontemporer saat ini berkiblat secara keilmuan ke dunia Barat. Namun tidak salah untuk memulai setidaknya untuk mengenal, sehingga kita dapat semakin memperluas cakrawala keilmuan kita



Pendahuluan

Membicarakan konsep ‘khilafah’ dalam wacana Hubungan Internasional, mungkin terlalu dipaksakan. Penulis terinspirasi membahas ini dari Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia pada tanggal 12 Agustus 2007 lalu. Kebetulan penulis berkesempatan hadir menyaksikan antusiasme masyarakat Indonesia yang memadati Gelora Bung Karno yang berkapasitas 100 ribu orang tersebut.

Salah satu yang mendorong penulis hadir adalah embel-embel internasional yang melekat dari konferensi tersebut. Penulis hadir dengan harapan sebagai bagian dari pengkaji wacana internasional, tentunya penulis tidak boleh melewatkan konferensi yang menarik dan unik tersebut.

Mendengar pembicara skala nasional mungkin biasa. Yang ditunggu adalah pembicara internasional, namun sayang 3 pembicara urung hadir. Syaikh Issam Ameera dari Palestina tidak dapat hadir karena dilarang keluar negerinya oleh Israel. Imran Waheed dan Ismail al Wahwah justru dideportasi oleh Pemerintah Indonesia setibanya di Indonesia. Ketiga peristiwa ini mengingatkan penulis kepada beberapa hal. Pertama, kekhawatiran Pemerintah terhadap wacana Khilafah, kedua, kekhawatiran Pemerintah terhadap Hizbut Tahrir sebagai penyelenggara.

Konsep Khilafah

Pengertian Bahasa

Khilafah (khilafah) merupakan mashdar (gerund) dari fi’il madhi khalafa, berarti menggantikan atau menempati tempatnya. Khilafah adalah orang yang datang setelah orang lain lalu menggantikan tempatnya (ja’a ba’dahu fa shara makanah). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah (II/210) dinyatakan, khilafah dikaitkan dengan penggantian karena orang yang kedua datang setelah orang yang pertama dan menggantikan kedudukannya. Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as sulthan al a’zham (pemimpin besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya.

Pengertian Istilah

Dalam pengertian istilah, khilafah digunakan untuk menyebut orang yang menggantikan Nabi saw. dalam kepemimpinan Negara Islam (ad-dawlah al-islamiyyah) Inilah pengertiannya pada masa awal Islam. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, istilah khilafah digunakan untuk menyebut Negara Islam itu sendiri. Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fikih siyasah ketika mereka berbicara tentang khilafah atau imamah. Para ulama salaf telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah khilafah/imamah atau istilah dar al Islam.

Pemikiran Politik Islam

Kajian Pemikiran Politik Islam membahas mengenai filsafat sains, manusia dan masyarakat politik, sistem politik, perkembangan dan kebijaksanaan politik serta proses pembuatannya, menurut perspektif Islam. Selanjutnya dikembangkan bagi studi Hubungan Internasional yang hirau terhadap pemikiran politik perspektif “non western”.

Dengan konsep Khilafah yang digali dari sumber-sumber pengetahuan Islam, lebih khusus Politik Islam, maka tentunya khilafah tidak akan terlepas dalam pembahasan Pemikiran Politik Islam. Dapat dikatakan bahwa membahas Pemikiran Politik Islam tanpa membahas khilafah bagaikan membahas Matahari tanpa membahas panas, atau membahas Laptop tanpa membahas komputer.

Namun, disini penting untuk memisahkan pembahasan khilafah sebagai wacana historis dan wacana konseptual. Sebagai wacana historis, maka khilafah adalah sejarah masa lalu. Sebagai wacana konseptual, maka khilafah adalah realitas konsep yang dapat diperdebatkan, dibandingkan, dan mungkin diperjuangkan untuk dimunculkan kembali seperti apa yang selama ini diusung oleh Hizbut Tahrir. Sebagai konsep yang dinilai ideal, tentu hal ini patut diberikan apresiasi.

Teori Perbandingan Politik

Kajian Teori Perbandingan Politik merupakan studi tentang teori politik melalui metode perbandingan. Artinya, di satu pihak melihat sistem-sistem politik atas dasar sejumlah teori yang terkandung dalam ilmu politik dan di lain pihak secara empiris mendapatkan umpan balik untuk membina alat analisis yang lebih memadai dalam ilmu politik.

Sebagai sebuah konsep kenegaraan. Konsep khilafah tampaknya patut dibahas dalam kejian teori perbandingan politik atau sistem politik atau sistem negara. Mungkin yang menjadi sulit adalah bahwa khilafah adalah konsep yang saat ini sudah tidak ada lagi negara yang mengusungnya semenjak runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924.

Saat ini kajian teori perbandingan politik lebih fokus kepada sistem politik yang dianut oleh negara secara praktis dan faktual.

Namun, menurut hemat penulis, selain sebagai pengembangan wacana. Membahas khilafah dalam kajian teori perbandingan politik, dapat memberikan pembandingan yang menarik dengan sistem politik yang sekarang ini ada, walau tentunya disini perlu metodologi historis yang mendalam untuk memperkuat wacana tersebut.

Salah satu ungkapan yang menarik secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa kekhilafahan), dia menyatakan : “ Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku…. Tenteranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya.

Selain itu, sebenarnya kajian mengenai pemerintahan internasional dan negara dunia (world state) telah diungkapkan oleh Morgenthau. Dia menawarkan pembentukan sebuah pemerintahan internasional untuk penyelesaikan anarki internasional dan peperangan yang selama ini senantiasa berkecamuk. Ada tiga pertanyaan yang mesti dijawab sekiranya pemerintahan internional ini akan dibentuk, (1) dimana terdapat kuasa untuk memerintah, atau siapa yang akan memerintah? (2) oleh prinsip keadilan apa pemerintah itu harus dipimpin? Atau apakah konsepsi mengenai kebaikan umum yang harus diwujudkan oleh pemerintah itu? (3) hingga berapa jauh pemerintah ini telah mampu memelihara ketertiban dan ketentraman.

Dari sini penulis melihat, bahwa gagasan mengenai adanya pemerintah yang berskala internasional merupakan gagasan yang umum, biasa dan wajar dalam kajian hubungan internasional, sehingga. Kalaulah khilafah adalah gagasan pemerintahan internasional, mengapa tidak, gagasan ini perlu diperkenalkan dan dipahami, tanpa mengikutsertakan tendensi tertentu yang berkaitan dengan sentimen keagamaan. Disini pulalah perlunya membahasakan wacana khilafah kedalam wacana intelektual sehingga dapat dikaji secara ilmiah dengan metodologi keilmuan yang saat ini umum digunakan.

Isu-Isu Global

Kajian isu-isu global dalam materi perkuliahannya bertumpu pada ekologi politik global yang membahas perubahan-perubahan global kontemporer berkenaan dengan proses alami, ekspoitasi penduduk dunia, produk ilmu dan teknologi yang mendorong eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dengan efek pencemarannya yang terkait/berpengaruh pada politik global. Selanjutnya dibahas pula kebijaksanaan Internasional dan koordinasi yang mencerminkan kebutuhan studi multidisipliner tentang proses alami kebumian, inovasi teknologi bersih lingkungan, rekayasa genetik dalam bioteknologi dan tumbuhnya komunitas espitemik yang sadar akan masa depan bumi.

Walaupun demikian, semestinya kajian ini lebih bersifat terbuka terhadap isu-isu global yang dinamis dan senantiasa berkembang.

Selain isu lingkungan sebenarnya dinamika hubungan internasional saat ini lebih didominasi oleh isu terorisme dan kejahatan internasional. Penulis melihat wacana khilafah saat ini juga telah menjadi salah satu isu global yang pantas untuk di kaji.

Salah satunya dapat terlihat ketika pada Desember 2004, National Intelligence Council (NIC), milik CIA, melansir bahwa memasuki tahun 2020 M, Khilafah baru akan berdiri di dunia. Hasil-hasil kajian ini telah dipublikasikan dalam laporan 123 halaman, dengan judul Mapping the Global Future. Tujuan laporan ini adalah memberikan masukan kepada administrasi Bush ke depan mengenai sejumlah tantangan (challange) yang akan terjadi di dunia, saat cahaya (Islam) mengalahkan berbagai kecenderungan yang ada saat ini, yang sekaligus akan menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat.

Laporan tersebut telah disampaikan kepada presiden Amerika Serikat, anggota Konggres, Senat, dan para politisi penting dari berbagai kalangan yang menjadi pelaku politik di Amerika Serikat. Siapa saja yang mencermatinya, akan melihat bahwa laporan tersebut penuh dengan berbagai referensi seputar Islam politik dan berbagai tantangan yang muncul, terutama bagi kepentingan Amerika Serikat pada waktu mendatang. Bahkan laporan tersebut berisi sejumlah skenario yang memprediksi berdirinya kembali negara Khilafah tahun 2020 M, dan pengaruhnya terhadap posisi dunia.

Tentunya hal ini memberikan gambaran bahwa ternyata wacana khilafah pun telah menjadi perhatian penting bagi institusi resmi dari Amerika Serikat.

Organized Crime

Kajian Organized Crime membahas ecenderungan pertikaian serta isu terorisme dewasa ini yang telah membuat sistem internasional menjadi tidak stabil. Konflik-konflik dalam negara maupun lintas wilayah negara dalam konteks global kontemporer tidak dapat dilepaskan dari masalah ras, etnis, bahasa, agama, identitas geografis dan isu kelangsungan hidup, hal ini ditinjau dari siapa yang terlibat dalam konflik tersebut dan apa yang menjadi tujuannya, permasalahan inilah yang menjadi hakikat dari mata kuliah ini.

Kelompok atau gerakan yang mengusung wacana khilafah, terlebih memiliki keyakinan untuk memperjuangkannya, ternyata mendapatkan perhatian serius dari pemerhati isu-isu internasional. Juga dari Amerika Serikat yang mungkin kepentingannya akan terganggu dengan wacana yang dikembangkan, apalagi kalau wacana tersebut menjadi keyakinan yang diperjuangkan.
Saat ini, gerakan Islam telah berhasil menggunakan argumentasi untuk membangun sikapnya dari rangkaian pernyataan penting tentang Khilafah dari para pemimpin politik di Washington dan Eropa. Dalam pidatonya di Herritage Foundation tanggal 6/10/2005 M, Menteri Dalam Negeri Inggeris, Charles Clark, menyatakan: “Tidak mungkin ada kompromi dengan perjuangan penegakan kembali Khilafah, dan tidak ada ruang diskusi tentang penerapan hukum-hukum syariat Islam.”
Sementara Presiden Bush, dalam pidatonya kepada publik tanggal 8/10/2005 M mengatakan: “Para pejuang bersenjata itu berkeyakinan, bahwa kalau mereka menguasai satu negeri, maka mereka akan memimpin seluruh bangsa Islam, dan mereka bisa menyingkirkan seluruh pemerintahan moderat di kawasan tersebut. Tak lama kemudian, mereka akan mendirikan emperium Islam fundamentalis, yang terbentang dari Spanyol hingga Indonesia.”
Pada tanggal 5/12/2005 M, Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld, dalam komentarnya tentang masa depan Irak, di Universitas John Hopkins menyatakan: “Irak akan menjadi pondasi Khilafah Islam baru yang akan membentang ke seluruh Timur Tengah dan akan mengancam pemerintahan yang sah di Eropa, Afrika dan Asia. Inilah rancangan mereka. Mereka (gerakan Islam fundamentalis) telah menyatakan hal itu. Kita akan melakukan kesalahan mengerikan, jika kita gagal mendengar dan belajar.”

Selain itu, Jenderal Richard Myers, dalam konfrensi pers yang dilakukan Pentagon mengatakan bahwa Amerika Serikat mesti mempertahankan kedudukannya di Iraq, tempat elemen teroris yang dipimpin oleh Abu Musab Al-Zarqawi dari Jordan (orang kedua yang paling dikehendaki AS setelah pemimpin Al-Qaeda, Osama Bin Laden). Ditariknya tentera AS sebelum kestabilan Iraq tercapai akan mengakibatkan “Ketidakstabilan Segera” (instant instability) di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan kemungkinan Iran juga.

“Jika Zarqawis diizinkan sukses menaklukkan Iraq berdasarkan pandangan hidup mereka, dan akan menjadi awal tegaknya kekhilafahan seperti yang mereka impikan, kekuasaan (kekhilafahan) itu akan meluas di wilayah tersebut” katanya. Beliau menggunakan “khilafah” sebagai penunjukkan terhadap konsep sebuah pemerintahan tunggal Islam yang dipimpin oleh seorang penganut agama yang ekstrim.

“Anda berkata mengenai ketidakstabilan. Hal itu akan segara terjadi di wilayah tersebut, di Arab Saudi, disekitar negar-negara Teluk, mungkin Iran, Syria, Turki” tambahnya . “Dalam hal ekonomi saja, akan kacau-bilau yang akan mempengaruhi dunia, kemudian mereka akan melanjutkan tekanan, juga turut meneruskan gerakan mereka dan pada pandangan saya; mereka akan melibatkan serta memperluas aktiviti teroris” “Mereka akan dimuliakan melalui kemenangan ini” ujarnya lagi.

Selain itu, ada yang sangat penting dalam pidato Bush Kamis (6 Oktober 2005 ) di depan undangan National Endowment of Democracy dan dihadapan undanga the Ronald Reagan Presidential Library dalam kesempatan lain. Untuk pertama kalinya, Bush menyebutkan secara jelas ideologi Islam di balik aksi-aksi terorisme dunia internasional yang menjadi musuh nyata Amerika Serikat saat ini. Dalam pidatonya Bush mengatakan: “The murderous ideology of the Islamic radicals is the great challenge of our new century. Like the ideology of communism, our new enemy teaches that innocent individuals can be sacrificed to serve a political vision (Ideologi pembunuh Islam radikal adalah tantangan terbesar dari abad baru kita. Seperti ideologi komunis, musuh baru kita mengajarkan bahwa individu yang tidak bersalah bisa dikorbankan untuk melayanakan sebuah visi politik).

Selama ini penyebutan Islam, sangat dihindari oleh Bush saat berbicara tentang terorisme. Namun dalam pidato Bush kemarin kata-kata Islam sangat jelas dia ucapkan. Tentu saja dengan tambahan kata radikal, fasis, jihad. Ada 6 kali kata-kata Islam radikal dia sebutkan dalam pidatonya. Bush mengatakan: “Some call this evil Islamic radicalism; others, militant Jihadism; still others, Islamo-fascism (Beberapa menyebutnya dengan setan radikal islam, yang lain menyebutkan militan jihad, ada juga yang lain menyebutnya, islam fascis)”.

Bush juga menyebutkan tujuan dari ideologi Islam ini yakni mendirikan pemerintahan Islam dunia yang disebut oleh Bush dengan istilah imperium Islam dari Maroko sampai Indonesia yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dan menggantikan pemerintahan moderat di negeri-negeri Islam. “The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia (Kaum militan percaya dengan mengontrol satu negara akan menggerakkan masa umat muslim, dan memberikan kemampuan buat mereka untuk menggulingkan seluruh pemerintahan moderat di daerah tersebut dan mendirikan sebuah imperium Islam radikal yang terbentang dari Spanyol hingga ke Indonesia),” tandas Bush. Meskipun menggunakan istilah radikal imperium Islam, pidato Bush ini mengarah pada institusi politik Islam Khilafah Islam yang memang bersifat global dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. “For the first time that I know of, the President has spoken openly about the jihadists’ dream of establishing the caliphate (Untuk pertama kali yang saya tahu, presiden AS berbicara terbuka tentang mimpi para jihadis untuk menegakkan Khilafah)”, tulis spesialis dan pengarang Islam, Robert Spencer di weblog-nya, Jihad Watch

Disini penulis melihat bahwa wacana khilafah ternyata juga dapat menjadi salah satu kajian organized crime dimana organisasi yang mengusung wacana ini, yang tentunya lintas batas diindikasikan sebagai pelaku kejahatan, setidaknya dalam perspektif Amerika Serikat.

Diplomasi Hubungan Internasional di Timur Tengah

Kajian Diplomasi Hubungan Internasional di Timur Tengah menguraikan fakta-fakta sejarah diplomasi yang terkait, serta berbagai perkembangan yang sudah ada atau sedang berlangsung dewasa ini. Antara lain memberikan tilikan mengenai tahap-tahap perkembangan Hubungan Internasional di Timur Tengah dan Afrika (Afrika utara yang mayoritasnya beragama Islam), serta pengenalan atau pemahaman atas pola-pola tentunya. Hal ini akan sangat menjadi penting dilihat dari kaca mata kepentingan Indonesia.

Dalam kajian ini, mungkin yang relevan dengan wacana khilafah adalah memahami latar belakang historis kawasan Timur Tengah. Sebagai sebuah institusi yang eksis selama lebih dari 12 Abad, dan berpusat di Timur Tengah, maka mau tidak mau kondisi sosial politik kawasan Timur Tengah sangat dipengaruhi oleh wacana ini.

Penutup

Wacana khilafah adalah satu dari sekian wacana yang berkembang dalam diskursus intelektualitas. Sebagai bagian dari mimbar akademik tentunya arif bagi kita untuk menempatkan setiap perkembangan baik keilmuan maupun fenomena sesuai dengan proporsinya. Perlu waktu untuk memiliki landasan kuat agar wacana khilafah menguat dalam tataran akademik mengingat ilmu sosial dan ilmu politik kontemporer saat ini berkiblat secara keilmuan ke dunia Barat. Namun tidak salah untuk memulai setidaknya untuk mengenal, sehingga kita dapat semakin memperluas cakrawala keilmuan kita. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar