Selasa, 28 April 2009

KONSISTENSI DAN KONSTALASI POLUGRI INDONESIA

Salah satu topik pembahasan dalam perkuliahan seminar masalah-masalah politik adalah tentang politik luar negeri Indonesia yang dibawakan oleh kelompok dua yang terdiri atas Sunardi, Haady Firmansyah dan Abdul Azis. Mereka dapat dengan bagus membawakan materi tersebut dan kerjasama antar kelompok yang kompak. Kondisi forum selama proses diskusi berlangsung berjalan dengan tertib dan aman hingga diskusi berakhir. Secara pribadi saya sangat ingin juga berkomentar tetapi karena keterbatasan waktu dan moderator belum memberi kesempatan maka sampai berakhirnya diskusi saya belum dapat bertanya dan berkomentar.
Saat ini, daya pengaruh Indonesia di dunia sangat rendah. Banyak kalangan menilai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tidak lagi bebas, melainkan lebih condong ke AS. Namun, awal September 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalin kerjasama dengan Rusia. Terlepas dari hal tersebut, ada paradigma yang dijalankan oleh pemerintah saat ini yang perlu dikritisi. Pada awal September 2007, Jurubicara Kepresidenan Dino Patti Jalal mengatakan: “Presiden selalu mengatakan ekuilibrium, tapi ada istilah lain yang digunakan presiden, all direction forum policy. Berarti semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership“. Inilah sebenarnya paradigma yang sedang dianut. Melalui paradigma ini wajar belaka apapun dilabrak, yang penting semua pihak ditemani asalkan ada manfaatnya. Manfaat seperti apa, tentu manfaat menurut kepentingan penguasa. Berdasarkan hal ini wajar muncul sikap dan kebijakan yang ditempuh tanpa lagi mempertimbangkan ’rasa keadilan’ rakyat, Hal inilah yang memunculkan banyak pertanyaan mengenai arah kebijakan luar negeri RI. Berbagai kasus yang menyangkut hubungan Indonesia dengan negara-negara lain tampaknya kian menumpuk; dari kasus ’dicurinya’ khazanah budaya Indonesia, kasus TKI di Timur Tengah dan di Malaysia, adanya indikasi keterlibatan pihak asing dalam berbagai konflik lokal, pengambilan aset-aset milik negara dan rakyat sampai isu terorisme. Ada beberapa alasan mengapa politik luar negeri Indonesia dianggap melemah.
(1) Ketidakjelasan konsep Polugri.
Pada dasarnya Polugri RI tidak mengalami perubahan, yaitu tetap Polugri Bebas-Aktif yang berdasarkan pada Pembukaan UUD 1945 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Realitasnya, konsep Polugri Bebas-Aktif tersebut sangat bergantung pada kecenderungan Pemerintah. Pada era Soekarno (1945-1967), pendulum Polugri Bebas-Aktif lebih condong bergerak ke ‘kiri’. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak berseberangan dengan AS dan sekutu Baratnya. Pada masa Orde Baru (Orba), pendulum itu bergerak ke kanan, karena berkaitan dengan kepentingan nasional yang lebih menonjolkan aspek pembangunan ekonomi yang memaksa RI berpaling ke Barat. Ini karena kebergantungan RI pada industri dan bantuan ekonomi Barat yang dipimpin AS. Dalam aspek keamanan, Australia menempati posisi penting, terutama dalam kaitannya dengan masalah Timor Timur dan Irian Jaya. Kendati sebenarnya secara konseptual Indonesia telah menggariskan rumusan Polugri-nya, ternyata gaya kepemimpinan seorang presidenlah yang paling menentukan. Dari Soekarno yang kharismatis, Soeharto yang militeristis, Habibie yang realis, Wahid yang kontroversial, Megawati yang pasifis sampai SBY yang banyak tebar pesona; semuanya menunjukkan tidak adanya platform yang jelas dalam pelaksanaan Polugri RI.
(2) Mengekor strategi AS.
Pasca Perang Dingin, konstelasi perpolitikan dunia yang berubah menuntut Indonesia mengubah orientasi Polugrinya. AS yang menjadi satu-satunya negara adidaya semakin mendominasi kancah politik internasional dan memusatkan orientasi politiknya dengan apa yang dinamai sebagai “3 in 1”, yakni: lingkungan hidup, hak asasi manusia dan demokratisasi. Isu-isu tersebut pula yang menjadi tren orientasi politik Indonesia. Di sisi lain, terjadinya Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat telah membawa arah politik internasional ke arah yang lebih didominasi AS. Ketika AS mencanangkan War on Terrorism, maka Polugri Indonesia pun berusaha mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil ‘alamin), yang otomatis memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan Polugri Indonesia.
(3) Pragmatisme Polugri Indonesia.
Perkataan Jubir Kepresidenan Dino Patti Jalal pada awal September 2007, sebenarnya yang menggambarkan realitas Polugri RI, yaitu pragmatisme. Dari sini dapat dipahami bahwa tidak ada ‘mainstream khusus’ dalam Polugri Indonesia, kecuali dijalankan atas dasar pragmatisme. Padahal pragmatisme dalam Polugri inilah yang membuka peluang bagi intervensi asing.
Indonesia sesungguhnya memiliki potensi mendatangkan era baru, yakni sebuah era yang mampu mewujudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa di Asia, bahkan dunia. Hal ini bisa diwujudkan tatkala Indonesia mempunyai daya tawar dan posisi yang kuat dalam politik luar negeri (Polugri)-nya. Dengan Polugri yang kuat, Indonesia bisa memainkan perannya dalam ikut menata percaturan politik dan ekonomi kawasan, bukan justru menjadi ‘pengekor’ kebijakan Polugri negara lain atau atau kepentingan asing.
Kuat-lemahnya Polugri suatu negara bisa dilihat dari pengaruh negara tersebut dalam percaturan politik dan ekonomi internasional. Negara berpengaruh umumnya adalah negara yang berbasis ideologi. Misal: Negara Amerika Serikat yang berbasis ideologi Kapitalisme, atau Uni Sovyet dulu yang berbasiskan ideologi Sosialisme, atau Kekhilafahan Islam pada masa lalu yang berbasiskan ideologi Islam. Negara ideologis ini biasanya tidak akan mudah menerima kerjasama, bantuan ataupun yang lainnya selama tidak sesuai dengan orientasi ideologinya. Karena itu, negara ideologis biasanya merupakan negara yang mandiri, tidak bergantung pada negara lain dan bahkan bisa mempengaruhi negara-negara lain. Amerika Serikat saat ini jelas menunjukkan kenyataan ini. Sebaliknya, negara-negara yang Polugrinya tidak berbasis ideologi akan mengikuti orientasi negara-negara ideologis. Contohnya adalah Indonesia saat ini, yang Polugrinya lebih cenderung mengekor pada orientasi Polugri Amerika Serikat. Ketundukkan Indonesia untuk mengikuti saja skenario Amerika Serikat dalam Perang Melawan Terorisme, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia memang tidak mandiri. Pertanyaannya: Bagaimana agar Indonesia menjadi negara yang mandiri sekaligus berpengaruh? Jawabannya, tentu Indonesia harus menjadi negara ideologis, yang mengemban ideologi tertentu yang khas dan berbeda dengan ideologi-ideologi negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar