Selasa, 28 April 2009

KOALISI ANTAR PARTAI POLITIK

Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD telah usai. Partai-partai politik kini tengah mengalkulasikan kekuatannya dan berkoalisi dengan pihak yang secara politis sejalan dengan platform dan kepentingannya. Fokus utama partai-partai politik besar saat ini adalah memenangkan pasangan capres dan cawapres agar lolos . Kasak-kusuk dan lobi politik semakin gencar dan intensif dilakukan. Keadaan ini akan terus bertahan dan mendominasi pembicaraan politik di negeri ini, hingga saatnya pemilihan capres dan cawapres.
Pada dasarnya, pemilu dengan beragam agendanya adalah rutinitas lima tahunan yang selalu dihadapi oleh kaum muslim. Rutinitas yang harusnya menjadikan kaum muslimin bisa belajar dan mengkaji, bukan malah mengulang-ulang sebuah aktivitas tanpa memahami arti penting substansinya. Sayangnya, sebagian besar masyarakat melupakan, atau teralihkan dari persoalan-persoalan yang lebih penting dan mendasar. Persoalan itu adalah, apakah pemerintahan baru yang akan terbentuk nanti benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat dan mampu menghasilkan perubahan signifikan atas nasib rakyat. Sementara disisi lain pemerintahan yang terbentuk nantinya juga akan bermasalah pada legitimasi yang didapatkannya mengingat jumlah golput dari hasil survey yang dilakukan berada pada kisaran 40%, sungguh jumlah yang sangat mencengangkan.
Koalisi karena kepentingan
Ketika tidak ada partai yang berhasil menguasai mayoritas kursi di parlemen, koalisi merupakan keharusan untuk membentuk sebuah kekuasaan yang absah. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa keputusan parlemen akan dianggap legal-formal ketika didukung oleh 50% anggota parlemen ditambah 1 suara. Untuk itu, tatkala perolehan kursi partai-partai politik yang ada di dalam parlemen tidak mencapai di atas 50%, mereka harus melakukan koalisi dengan partai-partai lain agar mereka bisa meraih kedudukan dan jabatan politik tertentu.
Koalisi akhirnya menjadi semakin rumit, ketika partai-partai politik yang ada di dalam parlemen berbeda asas dan platformnya. Tidak hanya itu, diantara mereka juga terdapat kepentingan-kepentingan politik yang kadang-kadang saling bertentangan. Anehnya, yang terjadi justru sebaliknya. Partai-partai yang berbasis massa islam dan memiliki platform Islam, malah berkoalisi dengan partai-partai yang berbasis massa sekularis dan berplatform sekular. Diantara partai-partai islam sendiri justru tidak terjadi koalisi. Tidak jarang juga ada partai-partai yang awal-awalnya saling bermusuhan secara politik, tiba-tiba bergandengan dengan mesra dan membangun koalisi yang erat. Sebaliknya, partai-partai yang awalnya sejalan, malah akhirnya bercerai ditengah-tengah jalan.
Kenyataan ini bukanlah peristiwa aneh dan asing di dalam sistem pemerintahan demokratik sekular. Apapun bisa terjadi, apalagi di dalam ranah politik. Bagi mereka, politik adalah strategi untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak diraih. Selama jalan itu bisa mewujudkan tujuan-tujuannya, maka jalan itu akan ditempuh, meskipun “kadang-kadang” melanggar asas dan platform partai. Akibatnya berkoalisi dengan siapapun adalah absah. Yang penting tujuan politik bisa tercapai.
Dalam kondisi semacam ini seakan-akan tidak ada tolok ukur baku bagi partai politik umtuk menilai baik dan buruknya suatu aktivitas politik. Hampir-hampir seluruh aktivitas politik diukur berdasarkan kepentingan dan maslahat yang selalu berubah-ubah. Keadaan ini juga menimpa partai-partai Islam yang ada di dalam parlemen. Tolok ukur untuk menetapkan baik buruknya suatu perbuatan, mulai bergeser kearah kepentingan dan maslahat, bukan lagi didasarkan pada aqidah dan syariah islam. Aqidah dan syariah yang semestinya digunakan sebagai tolok ukur perbuatan telah ditinggalkan demi kepentingan-kepentingan politik sesaat. Sedihnya lagi, demi mewujudkan tujuan dan kepentingan politiknya, mereka tak segan-segan menakwilkan nash-nash syara’ untuk membenarkan tindakan mereka. Akhirnya, hukum syara’ yang sudah jelas-jelas haram mereka plintir menjadi mubah, bahkan berhukum wajib. Partai politik yang seharusnya bisa memberikan edukasi politik kepada umat, akhirnya malah dicitrakan oleh rakyat sebagai lembaga plin-plan dan suka ingkar janji.
Dalam hal membangun koalisi, partai-partai berbasis islam pun “tidak lagi” menggunakan syariat islam sebagai dasar untuk membangun koalisi. Tampaknya, kepentingan dan mashlahat telah menjadi pertimbangan utama untuk menentukan langkah-langkah politik mereka, termasuk dengan partai mana mereka membangun koalisi. Hukum Syara’ yang harusnya menjadi tolok ukur dan pedoman mulai dipinggirkan oleh kepentingan politik dan kemaslahatan.
Walhasil, sudah semestinya kita meletakkan kembali garis lurus diantara kebengkokan dan penyimpangan, agar kita tetap memiliki pedoman yang benar dalam mengarungi kehidupan yang sudah carut marut ini.
Perubahan Semu
Kita bisa memprediksi bahwa pemerintahan baru yang terbentuk nantinya tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Kalaupun ada, akan terjadi perubahan-perubahan pada tataran-tataran cabang dan dangkal. Sebuah perubahan yang tidak menyentuh dataran dasar persoalan umat. Yang terjadi hanyalah pergantian penguasa, dalam pengertian person, itupun juga orang-orang lama yang ditengarai tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyat. Padahal akar masalahnya bukan terletak pada pergantian person serta perbaikan pada masalah-masalah cabang dalam kehidupan, akan tetapi pergantian sistem lama menuju sistem baru yang lebih baik.
Seharusnya ummat tidak mencukupkan diri dengan adanya pergantian person dan perbaikan-perbaikan cabang yang ditawarkan oleh para politisi. Sebab, perubahan-perubahan yang mereka tawarkan sama sekali tidak menyentuh persoalan utama kaum muslimin. Persoalan utama kaum muslimin bukanlah moralitas penguasa yang rusak, akan tetapi bagaimana kaum muslim bisa menegakkan kembali sistem dan pranata islami ditengah-tengah masyarakat. Selama sistem dasar yang menyangga masyarakat adalah kapitalis-sekular, rakyat akan tetap terkungkung dalam persoalan. Sistem kapitalis-sekular telah terbukti dan dipercaya sebagai penyebab hancurnya humanitas dan ekosistem dunia. Problem ekonomi, sosial, maupun politik merupakan konsekuensi logis akibat diterapkannya sistem kapitalistik-sekularistik.
Sayangnya, perubahan kearah perombakan sistem masih jauh dari angan-angan. Rakyat terus dikelabui dan dipalingkan dari perubahan sebenarnya. Mereka terus disuguhi dengan aktivitas politik semu yang telah menguras habis waktu, tenaga dan harta mereka. Di hadapan mereka terus dipertontonkan aktivitas perubahan yang sejatinya tidak pernah memberikan perubahan signifikan ditengah-tengah masyarakat. Ironisnya, sebagian masyarakat masih percaya dan terkelabui dengan tontonan-tontonan politik ini. Akhirnya, mereka belum terbetik untuk menuntut adanya perombakan mendasar sistem ini, untuk kemudian diganti dengan sistem islam. Mereka terus digiring oleh kaum sekular untuk menjauhi formalisasi syariat islam dalam koridor kekuasaan dan negara.

Penulis : Danial Darwis (Mahasiswa Fisip Unhas, Prog. Studi Ilmu Politik)

1 komentar:

  1. sungguh partai politik saat ini bersikap sangat pragmatis dalam aktivitasnya.

    BalasHapus