Jumat, 23 Desember 2011

367 Kasus Politik Uang Terjadi Selama Pilkada 2011

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat setidaknya terjadi 367 kasus politik uang pada pemilihan kepala daerah selama 2011. "Ini yang tercatat, banyak juga kasus yang tidak dilaporkan yang tidak kami ketahui," kata anggota Badan Pengawas Pemilu Wirdyaningsih pada konferensi pers laporan akhir tahun Bawaslu di Jakarta, Senin (20/12).

Ia mengatakan, angka itu diperoleh berdasarkan laporan dari 58 panitia pengawas pemilihan kepala daerah dari 80 panitia pengawas pemilihan kepala daerah yang diundang Bawaslu. Dalam laporan tersebut, kasus politik uang terbanyak terutama terjadi pada Pilkada Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan 48 kasus, Kabupaten Nunukan (Kalimantan Timur) dengan 37 kasus, dan Kabupaten Tanjung Jabur Timur (Jambi) dengan 33 kasus.

Modus politik uang yang terjadi berupa bujukan untuk memilih calon tertentu dengan imbalan uang antara Rp20 ribu hingga Rp5 juta. Selain itu, juga terdapat modus politik uang yang dilakukan dengan memberikan barang seperti hadiah, pakaian, dan bahan makanan pokok misalnya minyak goreng, gula pasir dan mi instan.

Pelaku pelanggaran politik uang di antaranya adalah tim sukses calon kepala daerah, warga yang tidak jelas namun berkaitan dengan tim sukses atau pasangan calon, pemuka masayarakat seperti kepala desa, ketua RT/RW, pejabat desa, dan panitia pemungutan suara (PPS).

Sementara itu, Bawaslu mencatat, selama 2011 setidaknya terdapat 1.718 laporan atau temuan pelanggaran pilkada. Dari hasil temuan dan laporan pelanggaran tesebut 565 kasus di antaranya telah diteruskan ke Komisi Pemilihan Umum sebagai pihak yang berwenang memutuskan. "Hanya 313 kasus yang kemudian ditindaklanjuti oleh KPU, yang lainnya tidak," katanya.

Pelanggaran administrasi tersebut, menurut dia, terutama terjadi pada masa kampanye (296 kasus), kemudian diikuti pada masa pemutakhiran data pemilih (103 kasus), masa pemungutan suara (95 kasus), masa pencalonan/pra kampanye (42 kasus) dan masa tenang (29 kasus). Pelanggaran administrasi di antaranya daftar pemilih sementara tidak diumumkan, masih ada pemilih yang tidak memenuhi syarat dimasukkan dalam daftar pemilih tetap (DPT) begitu pula sebaliknya, banyak pemilih yang memenuhi syarat tidak terdaftar di DPT, kampanye di luar jadwal, pelibatan PNS dalam lampanye, kampanye terselubung, tidak dibagikannya undangan mencoblos dan sebagainya.

Sementara pelanggaran yang memiliki kecenderungan pidana terdapat 372 kasus yang diteruskan ke polisi. Pelanggaran pilkada yang kemudian diteruskan polisi ke kejaksaan sebanyak 16 kasus. Sebanyak 13 kasus di antaranya kemudian dilimpahkan ke pengadilan dan telah mendapatkan keputusan pengadilan negeri.

Pelanggaran tindak pidana pilkada tersebut di antaranya politik uang, pemalsuan tandatangan dukungan, penggunaan fasilitas negara dan pelibatan aparat pemerintah untuk pemenangan pasangan tertentu. Bawaslu juga mencatat, selama pilkada 2011 terdapat sebanyak 63 kasus ketidaknetralan PNS yang terjadi dalam berbagai bentuk di antaranya terlibat langsung sebagai juru kampanye, menyuruh bawahannya untuk memilih pasangan tertentu, penggunaan rumah atau gedung dinas untuk aktivitas tim sukses, serta pemasangan atribut kampanye di kantor dinas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar