Minggu, 11 Januari 2009

BAHAYA PRAGMATISME POLITIK

“Kita harus realistis”. Begitulah kalimat yang sering diucapkan oleh para analis dan politikus dalam kancah perpolitikan negeri ini. Sepintas kalimat itu biasa saja. Padahal kalau kita cermati secara lebih mendalam, kalimat tersebut membawa suatu implikasi yang sifatnya sangat mendasar. “Kita harus realistis” kemudian menjadi suatu argumentasi dalam setiap tindakan politik, yang selanjutnya menimbulkan sikap pragmatis dalam kancah politik. Hal yang menonjol dalam sikap pragmatis ini dapat berupa ketundukan pada realita (kenyataan) walaupun sebenarnya realitas tersebut adalah sebuah kerusakan tetapi karena dianggap sebagai sebuah realitas yang terjadi maka hal tersebut dianggap benar dan tidak dapat dirubah lagi. Sehingga seakan-akan realitas menjadi dalil pembenaran tanpa melihat benar atau salahnya. Selanjutnya adalah kemanfaatan, sikap pragmatisme sering mengacu kepada kemanfaatan (kepentingan) sesaat, tidak peduli bahwa hal tersebut bertentangan dengan idealisme awal. Dengan alasan kemanfaatan yang diperoleh, yang salah kemudian dibenarkan.
Sikap-sikap pragmatis diatas dapat terlihat jelas dalam pentas politik di Indonesia menjelang pemilu, kendati sikap tersebut sebenarnya dapat juga kita lihat dalam pola perilaku politik masyarakat sehari-hari. Jauh hari sebelum pemilu digelar muncul partai-partai politik baru (baik sekular maupun islam) guna meraih kekuasaan. Mereka tidak peduli, apakah jalan yang ditempuh benar atau salah. Hampir semuanya (termasuk partai-partai islam) beranggapan, inilah salah satunya jalan untuk mengubah keadaan, tidak ada jalan lain.
Bentuk-bentuk pragmatisme lain tampak ketika agama dijadikan alat justifikasi perilaku politik. Saat menjelang pemilu, banyak pihak yang ingin mendapatkan legitimasi agama untuk kemenangannya. Para politisi pun banyak mendatangi pesantren dan merangkul ulama. Padahal, para politisi ini sebelumnya sangat getol mengatakan agama jangan dibawa-bawa ke dalam urusan politik. Muncul pula sikap pragmatisme politik dalam koalisi partai. Meraka dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak ada partai yang menang mutlak sehingga dengan penuh percaya diri mereka mengajukan calon presiden. Karena itu, realita mengharuskan mereka untuk berkoalisi. Mau tidak mau, beberapa partai bersatu tanpa memperhatikan lagi sekat-sekat ideologis yang ada. Visi dan misi serta platform partai yang digembar-gemborkan dalam kampanye seolah tidak berarti apa-apa.
Pragmatisme Dunia Politik
Iklim persaingan yang semakin tinggi membuat para aktor politik mudah sekali terjebak dalam pragmatisme politik. Pragmatisme politik itu sendiri merupakan orientasi jangka pendek dari para aktor politik untuk dapat memenangkan persaingan politik. Seringkali orientasi jangka pendek ini membawa para aktor politik ke arah sikap yang lebih mementingkan tujuan untuk “berkuasa” ketimbang apa saja yang akan dilakukan setelah “berkuasa”. Inilah sikap yang menjadikan berkuasa sebagai tujuan akhir dan bukannya melakukan pembaharuan kebijakan publik sebagai hasil dari berkuasa itu. Hal ini mengusung implikasi ditabraknya etika, moralitas, aturan main, janji politik dan ideologi partai hanya untuk mengamankan posisi politik mereka.
Tentunya sikap pragmatisme politik yang bertujuan jangka pendek ini sebaiknya ditinggalkan oleh partai politik manapun. Tidak jarang, karena sikap tersebut kepentingan partai dan golongan lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Yang penting terpilih atau yang penting partai menang. Prinsip seperti ini membuat kepentingan yang lebih luas niscaya terabaikan. Kepragmatisan dunia politik membuat prinsip serba instan dan cepat menjadi prinsip utama. Semuanya dikarbit. Calon dan partai baru diorbitkan untuk menjadi cepat terkenal dan populer dikalangan masyarakat dan media massa. Popularitas dijadikan tolak ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya mereka yang berada dalam posisi pusat perhatian media massa seperti penyanyi, pelawak dan artis sinetron menjadi rebutan partai-partai politik. Semakin besar jumlah penggemar, semakin tinggi pula nilai jual selebritis bersangkutan. Kenyataan ini membuat dunia politik menjadi sepi ideologi dan ramai dengan hura-hura para tokoh selebritis.
Pragmatisme politik menyebabkan politik menjadi sangat instan dan tanpa pembekalan. Asal mereka terkenal sudah cukup menjadi sumber daya untuk terjun ke dunia politik. Alhasil, popularitas dan ketenaran menjadi syarat nomor satu. Sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam dunia politik di Indonesia masa kini. Sehingga tidaklah mengherankan apabila seringkali kita jumpai banyak sekali artis yang akhirnya digandeng oleh suatu partai politik untuk terlibat dalam kegiatan politiknya. Salah satu tujuan dari cara ini adalah menggunakan dan memanfaatkan popularitas yang dimilki oleh si artis untuk menarik massa. Sayang, cara ini tidak diimbangi dengan analisis tentang kemampuan politik para artis. Ini bukan masalah, yang penting artis tersebut dapat menarik perhatian masyarakat. Inilah bukti pragmatisme politik yang sangat akut mengikat partai politik saat ini, sehingga yang terbentuk hanya politik permukaan saja yang tidak pernah menyentuh substansi politik itu sendiri.
Implikasi Buruk Pragmatisme
Ide dasar pragmatisme yang menekankan semata-mata pada realita dan kemanfaatan sesaat menimbulkan sikap inkonsistensi pada penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menggunakan segala macam cara untuk mewujudkan suatu kepentingan dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, dan kepantasan. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara menyeluruh karena pengusung-pengusungnyahanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri atau kelompoknya. Bermanfaat dan menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekedar memuaskan naluriahnya. Disinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat jelas terlihat. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan yang lain. Akhirnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi korban. Politik kemudian hanya sekedar alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.
Karena itu, bukan suatu hal yang aneh pula jika kemudian ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat pragmatisme muncul. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai islam bisa bergabung dengan partai sekular sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi landasan eksistensi partai-partai islam.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai islam bisa menimbulkan citra (image) buruk pada islam itu sendiri dan pada partai islam hakiki yang benar-benar memperjuangkan islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai politik islam dengan menganggap politik islam itu kotor, buruk, menipu penuh manipulasi, dan penuh siasat buruk. Kalau ini terjadi, sungguh sangat berbahaya bagi umat islam.
Akibat dari pragmatisme politik tersebut sangat buruk, sehingga tidak mengherankan jika dunia politik di Indonesia sepi dengan hal-hal yang bersifat ideologis bahkan ideologi dianggap tidak memiliki sebuah arti dalam tubuh partai politik. Padahal dari faktor ideologi semuanya berangkat. Bagaimana partai politik membangun visi dan misi, strategi jangka panjang, program kerja, semuanya terkait dengan ideologi partai. Tidak adanya niat dan tekanan publik akan pentingnya ideologi ini juga akan menyulitkan pemilih dalam memberikan posisi bagi masing-masing partai politik. Karena, pada akhirnya tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal program kerja antara satu partai dengan partai lainnya.
Gejala macam inilah yang terlihat nyata dalam kehidupan partai politik di negeri kita. Marilah kita mencoba membedakan antara Golkar dengan PDIP atau Partai Demokrat. Bahkan coba sebutkan perbedaan antara PPP dengan Golkar, padahal yang satu tergolong sebagai partai berbasis agama sedangkan yang lain mengkalim dirinya sebagai partai nasionalis. Partai seakan-akan hanyalah komoditi dan sebatas kendaraan politik yang bisa dibuat untuk dijual tanpa perlu pikir panjang. Yang penting ada peluang untuk berkuasa.
Oleh sebab itu saatnya mengakhiri pragmatisme semu dalam berpolitik yang hanya mementingkan aspek meraih kekuasaan semata tanpa memikirkan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat. Dalam politik kekuasaan memang merupakan suatu hal yang harus dimiliki tetapi kekuasaan ini tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan jangka pendek tetapi digunakan sebaik mungkin untuk kepentingan yang bersifat umum, yakni bagaimana kekuasaan tersebut dimanfaatkan semaksimal mungkin demi terciptanya kesejahteraan ditengah masyarakat. Semuanya itu tidak akan tercipta tanpa perubahan sistem politik dan kenegaraan.

Penulis : Danial Darwis
(Mahasiswa FISIP UNHAS, Program Studi Ilmu Politik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar