Minggu, 11 Januari 2009

MELACAK POSITIONING PARPOL ISLAM DAN IDE SYARIAH DALAM TREND POLITIK INDONESIA MENUJU PEMILU 2009

Fenomena golput di Indonesia tentu ironis, mengingat: (1) Indonesia baru saja mendapat predikat sebagai ‘juara demokrasi’ dan mendapat puja-puji internasional sebagai salah satu negara paling demokratis, setelah sukses melangsungkan Pemilu 2004. (2) Biaya yang dikeluarkan selama lima tahun terakhir dalam penyelenggaraan pemilu langsung, menurut penelitian LIPI, mencapai lebih dari Rp 400 triliun. (3) Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan pemilu langsung terbanyak, yakni 160 pilkada pada tahun 2008 atau 3 hari sekali.
Yang lebih ironis dari sekadar golput, pemilu langsung yang menghabiskan ratusan triliun rupiah itu menghasilkan banyak para wakil rakyat dan kepala daerah yang korup dan bermasalah. Sudah terlalu sering media kita mempublikasikan para pejabat dan wakil rakyat yang korup di seluruh daerah di Indonesia. Bahkan menurut catatan Kompas, pemerintahan dari Aceh hingga Papua sudah terjerat korupsi, tanpa kecuali.
Kita jadi bertanya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri ini? Mengapa rakyat cenderung apatis dengan Pemilu/Pilkada? Mengapa pula demokrasi tak kunjung mensejahterakan rakyat? Apa sebetulnya yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat kita yang sering dikatakan sebagai ‘massa mengambang’? Bagaimana pula nasib partai-partai Islam ke depan? Yang lebih penting lagi, bagaimana peluang dan tantangan perjuangan penerapan syariah Islam di Indonesia ke depan terkait dengan semakin apatisnya rakyat terhadap ‘pesta demokrasi’?
Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009 tidak sedikit masyarakat yang cenderung bersikap apatis. Menurut survei, ada 69,0% masyarakat tidak merasa dekat dengan salah satu partai politik. Hanya 24,3% saja yang merasa dekat dengan partai politik tertentu. Artinya, sekitar 76% merupakan massa mengambang yang dapat menentukan pilihan kemana-mana (Indo Barometer, Juli 2008).
Massa mengambang seperti ini dapat berubah-ubah. Persoalannya adalah bagaimana meraih massa mengambang ini hingga mendukung partai Islam ideologis.
Faktor Penyebab Terjadinya Golput
Mengapa fenomena golput dan massa mengambang terjadi demikian besar? Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Sebab, sejatinya, alternatif pilihan masyarakat saat ini adalah partai-partai Islam, tetapi ternyata tidak.
Siapapun yang mengikuti dinamika masyarakat kekinian akan menemukan beberapa faktor penyebab tersebut.
Pertama: kegagalan partai dalam berpihak kepada masyarakat. Keinginan masyarakat pada partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sangat ditunggu-tunggu. Survei yang
dilakukan oleh Roy Morgan Research pada awal 2008, melibatkan 8.000 responden
dari seluruh negeri, menemukan bahwa 52 persen orang Indonesia mengatakan bahwa
syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. Pada survei yang lain yang diadakan oleh aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian tahun 2003 oleh PPIM-UIN Jakarta menggambarkan 74% masyarakat Indonesia menghendaki penerapan syariah Islam. Bahkan tahun 2008 hasil penelitian SEM-Institute menunjukkan rakyat yang setuju dengan penerapan syariah Islam di Indonesia mencapat 83%.
Namun, mengapa keinginan kuat terhadap syariah ini tidak mewujud dalam
dukungan terhadap partai politik Islam? Ternyata, penelitian Indo Barometer
(2008) menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam
dengan partai lain (43,3%), dan perilaku elit/pengurus dari partai Islam sama
dengan partai lain yang bukan dari partai Islam (34,8%). Wakil-wakil rakyat di
DPR pada periode ini menunjukkan perilaku yang mirip dengan wakil rakyat dari
partai sekular. Pembelaan wakil rakyat terhadap kepentingan umat Islam tidak
tampak. Justru sebaliknya, terbaca oleh masyarakat, partai-partai yang ada, tak
terkecuali partai Islam, hanya menjadikan parlemen sebagai ajang untuk mencari
penghidupan dan berebut kue kekuasaan. Kalangan DPR, termasuk dari partai Islam
justru setuju dengan kenaikan harga BBM. Ketika masyarakat teriak-teriak antri
minyak tanah dan harga sembilan kebutuhan pokok melambung, kebanyakan para
wakil rakyat hanya diam.
Kedua: kegagalan pendidikan politik ideologis. Hal ini adalah akibat politik pragmatisme yang
menguasai kancah perpolitikan saat ini. Sikap pragmatis bukan menguntungkan
umat Islam dan partai Islam, justru merugikan. Pragmatisme akan mendegradasi
tujuan dan cita-cita perjuangan Islam. Siapapun tak dapat menyangkal, pragmatisme
berarti harus merelakan diri menyesuaikan diri dengan keadaan/fakta; artinya
melepaskan nilai-nilai dasar perjuangan dan ideologi partai yang telah
digariskan. Karakter dasar partai Islam akan luntur. Memang bisa saja berdalih,
itu semua masih dalam koridor Islam. Namun, dalih ini sebenarnya hanya pemanis
mulut, bukan arus utama.
Proses pendidikan politik masyarakat tidak berjalan. Apa yang dilihat oleh masyarakat hanyalah dagelan elit politik. Partai-partai hanya menyapa rakyat ketika akan Pemilu atau Pilkada. Kaderisasi, penanaman Islam sebagai way of life, dan pemikiran politik tidak tergarap. Sumberdaya hanya dikerahkan demi suara. Wajar belaka jika kesadaran politik rakyat tidak meningkat.
Ketiga: pembusukan citra partai Islam. Tidak dapat dipungkiri, ada upaya untuk mencitraburukkan
partai Islam. Hal sederhana, masalah poligami dipolitisasi sedemikian rupa
sehingga seakan-akan pelakunya berbuat kriminal. Belum lagi, isu kekerasan
terus dilekatkan pada gerakan/lembaga dan partai Islam. Untuk menghindari hal
tersebut, bergeraklah partai Islam untuk meninggalkan ideologi Islam, citra
Islam, bahkan simbol-simbol Islam. Alih-alih bersifar ofensif menawarkan Islam
sebagai solusi, justru sibuk cuci-tangan terhadap pelekatan Islam pada dirinya.
Sudah dapat ditebak, partai Islam pun tinggal sekadar nama.
Keempat: skandal politisi. Sudah menjadi rahasia umum citra politisi baik DPR maupun pejabat pemerintah, jeblok di mata masyarakat.DPR dilanda skandal seks sebagian anggotanya; kasus suap dan gratifikasi yang begitu telanjang dilakukan anggota DPR. Tingkat kesadaran anggota DPR melaporkan gratifikasi hanya 1,9%. Main-mata dalam setiap pembuatan undang-undang bukan rahasia lagi. Semua ini bukan hanya melibatkan partai sekular. Partai yang menamakan dirinya Islam sekalipun ada yang terlibat di dalamnya. Lembaga Survei Indonesia menyebutkan kepuasan publik terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir turun, dan kepercayaan rakyat terhadap DPR
pun di bawah 50%.

Partai Islam dan Sikap Masyarakat
Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai nasionalis. Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR. Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tetapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya, yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam. Lantas, bagaimana publik Indonesia memaknai partai Islam? Apa definisi partai Islam menurut publik Indonesia?
Survei Indo Barometer mengajukan pertanyaan terbuka kepada publik Indonesia tentang pengertian dari partai Islam. Ternyata jawaban tertinggi adalah partai yang berasaskan Islam (28,3%); partai yang mayoritas pemilihnya Islam (24,2%), partai yang didirikan ormas Islam (15,8%), dan partai yang pengurusnya seluruhnya orang Islam (5,8%).
Masalahnya, dari hasil survey Indo Barometer, ternyata persepsi masyarakat terhadap partai Islam tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis, baik dalam hal partai maupun perilaku elit/pengurusnya. Tidak kalah menarik adalah tingkat penerimaan publik umum Indonesia yang hampir sama terhadap partai manapun yang menang Pemilu, lepas dari latar belakang atau labelnya, baik partai Islam maupun nasionalis.
Secara umum menjelang penyelenggaraan Pemilu ketiga 2009, wajah partai politik, termasuk berlabel Islam, belum juga menampilkan pembaruan berarti. Sembilan tahun lepas dari hegemoni negara tampaknya belum menjadi tempo yang cukup bagi parpol untuk berbenah. Setelah dua kali masa Pemilu (Pemilu 1999 dan 2004) ada kecenderungan kian terkikisnya pandangan positif publik terhadap parpol. Bahkan kini muncul sikap pragmatis masyarakat terhadap parpol.
Meski bermunculan parpol baru, masyarakat menganggap parpol, baik yang baru maupun yang sudah mapan, belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat. Masyarakat yang berharap usai Pemilu keadaan akan berubah harus kecewa berat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye ternyata tinggal janji.
Kondisi tersebut terungkap dalam survei Indo Barometer. Jangan kaget, publik justru menganggap peran parpol paling menonjol adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai itu sendiri (18,3%); disusul memperebutkan kekuasaan di pemerintahan (18,3%).
Adapun peran positif seperti pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan persentasenya hanya secuil; masing-masing 7,5% dan 2,6%. “Mereka yang tidak puas menilai parpol tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat, kerja parpol tidak dirasakan rakyat, dan parpol tidak bermanfaat,” ujar M. Qodari.
Di sisi lain, kiprah parpol sebagai entitas politik lebih mencitrakan sebagai sebuah satuan politik untuk mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada sebagai saluran kehendak umum. Bahkan seiring era Pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antarparpol yang berseberangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di daerah, menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan.
Lebih menyedihkan lagi, peran parpol sejak tahap pengorganisasian internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat, sampai dengan kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan Pemerintah sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi, parpol malah menjadi pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Lebih parah lagi, beberapa parpol justru menjadi kaki tangan kepentingan asing dengan menngesahkan UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU Parpol.
Akibat semua itu sangat wajar jika kini semakin banyak masyarakat yang lebih senang berdiam di rumah atau mengerjakan hal lain ketimbang datang ke tempat pemungutan suara. Fenomena ini bisa menjadi bukti telah terjadi krisis kepercayaan di dalam diri masyarakat terhadap parpol.

Positioning Partai Politik Islam Ideologis dalam Menggarap Masyarakat
Masyarakat mulai apatis. Partai-partai yang ada sulit dijadikan harapan. Ada satu yang harus dilakukan, yakni bagaimana menggarap massa seperti itu hingga benar-benar menjadi pendukung dan benteng perjuangan Islam.
Ada beberapa hal yang segera harus dilakukan. Pertama: memperkuat partai ideologis. Partai ideologis (hizb[un] mabda’i) merupakan partai yang berbasis akidah islamiyah dan memperjuangkan syariah Islam sebagai konsekuensi dari akidah tersebut, sebagai perwujudan dari QS Ali ’Imran ayat
104. Ideologinya Islam. Jalan yang ditempuhnya jalan Rasulullah saw. dan para
Sahabat. Arah perjuangannya menegakkan hukum Allah Swt. (syariah Islam).
Tujuannya adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf hayât al-islâmiyyah).
Metode pelaksanaannya memerlukan sistem kehidupan yang utuh dan menyatu
sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw. dan diwariskan oleh para Sahabat, yakni
sistem Khilafah, tempat bersatunya kaum Muslim. Partai seperti ini merupakan
entitas yang bergerak dan berjuang di tengah-tengah masyarakat dan bersama-sama
dengan mereka.
Kedua: memperkuat konsistensi metode (tharîqah) perjuangan yang ditempuh. Tharîqah bersifat tetap. Jika melihat sirah Rasulullah Muhammad saw., jelas bahwa tharîqah yang ditempuhnya diawali dengan kaderisasi/pembinaan umat (tatsqîf al-ummah). Ada dua pembinaan
yang beliau lakukan, kaderisasi dan pembinaan umum di bukit Shafa, undangan
makan, di kebun-kebun kurma, dll. Hasilnya: munculnya kader-kader pejuang
sekaligus terbentuknya opini umum di tengah masyarakat, yang memiliki kesadaran
umum tentang pentingnya penegakkan Islam sebagai pengganti sistem buruk yang
selama ini menzalimi rakyat. Perjuangan Islam haruslah berbasis kesadaran umat
akan kewajiban memperjuangkan Islam, bukan kerelaan memberikan suara saat
Pemilu.
Ketiga: berjuang untuk kepentingan umat. Partai dibuat untuk membela kepentingan rakyat. Tanpa pembelaan terhadap kepentingan mereka seperti dalam persoalan BBM, harga sembako, pendidikan, pupuk petani, nelayan, dll; berarti partai telah kehilangan ruhnya.
Keempat: membangun nafsiyah aktivis partai. Partai Islam ideologis merupakan partai yang ditopang oleh para aktivis yang takut kepada Allah, tidak terdorong melakukan kemaksiatan, rajin ibadahnya, besar pengorbanannya, mendudukkan partai bukan untuk cari makan tetapi tempat
memperjuangkan Islam, selalu terikat dengan hukum syariah, dll hingga benar-benar menjadi suri teladan.
Kelima: memperkuat edukasi politik kepada umat tentang syariah dan Khilafah. Rakyat sudah apatis. Saatnya mendidik mereka dengan akidah dan syariah dari Allah Swt. Pembinaan syariah dan penyatuan umat ke dalam Khilafah menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, disitulah solusinya.
Setiap komponen umat penting melakukan penyadaran Islam. Massa mengambang harus berubah menjadi massa pendukung Islam. Insya Allah.

Penulis : Danial Darwis
(Mahasiswa FISIP UNHAS, Program Studi Ilmu Politik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar